Tahun pertama saya tinggal di Solo, diwarnai dengan warna-warna lampion khas Imlek di seputaran kawasan Balai kota Surakarta dan Pasar Gede. Ribuan Lampion dan pernak-pernik khas Imlek itu sangat indah, dipadu dengan jajanan dan ragam atraksi kebudayaan. Terus terang itu merupakan pemandangan baru dalam hidup saya.
Demi mencerna rasa penasaran, saya pun bertanya kepada sopir BST yang sedang saya tumpangi. “Ia Mas, di sini lagi ada perayaan tahunan, namanya Festival Lampion dan Grebeg Sudiro.”
“Grebeg Sudiro itu apa?” tanya saya makin penasaran.
“ Perayaan tahunan menyongsong Imlek Mas,” lanjutnya.
“Kok ada ya masyarakat Jawa melakukan itu?” Saya pun membatin.
...
Dalam pandangan saya, Indonesia sedang tidak baik-baik saja dalam toleransi sejak hari-hari penistaan agama oleh Ahok. Belum lagi media yang suka dengan isu intoleransi dan konsep politik identitas yang masih saja menciptakan kecanggungan dalam hubungan bermasyarakat.
Makna politik identitas hanya di bawa masuk dalam ruang tunggu pemilihan kepala negara atau daerah, sementara hal-hal buruk, norma, nilai yang diyakini baik untuk kemaslahatan hidup malah ditanggalkan begitu saja di luar. Identitas kesukuan dan agama tidak dipakai untuk mengatasi segala kejahatan, maka korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap saja tumbuh bebas tanpa halangan.
Lihat saja bagaimana para aktor politik berdebat tentang politik agama, konsep agama dalam hubungan politik di kanal-kanal media akhir-akhir ini.
Intoleransi masih saja menjadi isu panas dan sensitif. Mulai dari penolakan bantuan dengan label gereja pada gempa Cianjur, jebakan fanatisme dan keyakinan kelompok tertentu, yang diedarkan terus -menerus menjadi post truth di dalam masyarakat, terutama masyarakat di daerah-daerah.