Mohon tunggu...
Syamsuriadi Syam
Syamsuriadi Syam Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Berbagi melaui kata dan menulislah untuk bermanfaat!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketika Banyak Uang Bisa Berbahaya

13 Mei 2020   09:08 Diperbarui: 13 Mei 2020   13:19 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

(Ikut nimbrung di polemik cetak uang)

Kerap muncul pertanyaan sederhana seperti ini. Mengapa pemerintah tidak cetak uang saja banyak-banyak, lantas dibagikan kepada masyarakat agar tidak ada yang miskin?

Bahkan sekarang ini di tengah darurat Covid-19.  Justeru pihak DPR RI yang mengusulkan ke pemerintah untuk cetak uang demi atasi masalah ekonomi negara kita. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung yang diusulkan, 400-600 triliun.

Namun pemerintah tidak juga langsung setuju bahkan terkesan menghindari opsi cetak uang sebagai solusi mengatasi masalah.

Saya juga waktu masih kanak-kanak kadang berpikir sesederhana itu. Sebelum belajar sedikit tentang teori inflasi dan teori kuantitas uangnya Irving Fisher dan David Ricardo, saat kuliah.

Tentang cetak uang ini, mengapa tidak sederhana dan terjadi pro kontra? Tidak lain karena kekhawatiran terhadap efeknya, terutama terjadinya inflasi.

Bagaimana prosesnya sehingga cetak uang baru atau menambah uang yang beredar di masyarakat, menimbulkan inflasi?

Kita ilustrasikan saja secara sederhana, berikut ini: Pada sebuah kampung yang kebetulan warganya tidak berpenghasilan karena kebijakan PSBB.
Warga kemudian dibagikan uang tunai sebagi solusi memenuhi kebutuhannya.
Tentunya, setelah menerima uang itu. Mereka betul-betul akan membeli berbagai kebutuhannya, terutama kebutuhan dasarnya.
Bahkan mungkin memborong lebih banyak dari biasanya, sekedar persiapan atau jaga-jaga.

Kira-kira 2 minggu kemudian,  persediaan mulai menipis sehingga saatnya harus beli lagi. Ternyata barang yang tersedia di penjual mulai berkurang, bahkan ada yang sudah habis.

Minyak goreng misalnya tinggal beberapa liter padahal semua warga butuh.
Berlakulah mekanisme pasar disini. Yang istilahnya dalam teori ekonomi "impossible hand".
Ada kekuatan tangan ajaib tidak terlihat yang menarik harga itu agar naik sebagai efek permintaan (demand) lebih banyak dari penawaran (supply).

Minyak goreng yang harga normalnya hanya Rp. 15.000 per liter, naik terus beberapa kali lipat dan bisa saja menjadi Rp. 150.000 per liter.
Sehingga kalau sebelumya,  mengantongi uang Rp. 150.000, masih dapat membeli beberapa kebutuhan lainnya. Sekarang hanya bawa pulang 1 liter minyak goreng.

Beberapa waktu kemudian harga-harga lain juga ikut naik.
Baik yang terkait langsung dengan minyak goreng, semisal pisang goreng, maupun yang tidak terkait.

Bukankah penjual di kampung itu bisa membeli barang di penjual besar untuk dijual kembali agar modalnya berputar? Atau warga di situ yang membeli di kampung lain yang harganya normal?

Iya, bisa memang kalau barangnya masih tersedia. Tetapi kalau sudah tidak ada, bahkan dicari di pabriknya juga sudah tidak ada.

Sebab disini ada anomali, ada permintaan tiba-tiba yang melebihi jumlah dari biasanya. Sebagai efek dari stimulan uang tiba-tiba juga. Sedangkan produksi tidak sejumlah itu karena tidak bisa ikut tiba-tiba.

Kecenderungan naiknya harga secara bersamaan dalam suatu waktu inilah yang disebut inflasi. Yang sedapat mungkin dihindari dan sangat ditakuti oleh negara-negara di dunia.

Jadi begitulah memang sifatnya uang, nilainya bisa berubah-ubah. Angka yang tertera pada uang hanyalah nilai nominal. Nilai sebetulnya atau nilai riilnya adalah seberapa besar nilai barang atau jasa yang dapat dipertukarkan dengan uang itu.

Inilah juga yang dapat menjelaskan kepada anak-anak sekarang. Yang kerap merasa lucu ketika dengar cerita orang-orang tua tentang harga-harga zaman dulu.
Seolah tidak percaya kalau dulu harga emas hanya Rp. 500 per gram. Harga Sepeda motor hanya Rp. 150.000.

Inflasi "terhebat" yang terbaru pernah terjadi di negara kita adalah pada tahun 1998. Bagaimana hebatnya, coba kita ukur melalui harga mi instan. Produk ini dijadikan contoh karena eksistensinya relatif stabil di masyarakat. Kebetulan juga jejak harganya terlacak dengan baik karena pernah jadi salah satu penikmatnya.

Pada awal tahun 1980-an, harga mi instan yang paling mahal adalah Rp. 100. Harga itu kemudian bergerak pelan sekali sampai pertengahan tahun 1990-an menjadi Rp. 200. Jadi selama sekitar 15 tahun, kenaikannya hanya 100 persen atau rata-rata sekitar 6 persen pertahun.

Namun pada tahun 1998 itu, harga mi instan tiba-tiba naik menjadi Rp. 1.000. Atau kenaikannya sampai 80 persen.

Termasuk paling merasakan perubahan harga sangat drastis saat itu adalah anak-anak mahasiswa yang masih kost. Yang bukan rahasia umum lagi kalau mi instan, kadang jadi makanan pokok.
Kemarinnya masih menikmati harga mi instan harga Rp. 200, tiba-tiba bangun besok pagi untuk sarapan pagi. Ehh.. harga mi instan sudah Rp. 1.000.

Jadilah begitulah inflasi, bisa sangat kejam. Bisa tiba-tiba "mencuri" isi dompet tidak terasa.

Di dunia ini, salah satu negara yang kerap dijadikan rujukan tentang efek besar inflasi karena cetak uang tidak terkontrol adalah Zimbawe. Sebuah negara di belahan benua Afrika sana.

Inflasi terparah di Zimbawe terjadi pada tahun 2008-2009.  Prosentase inflasinya luar biasa, mencapai milyar persen.
Digambarkan bahwa gara-gara inflasi yang tidak terkendali sehingga uang dijadikan mainan saja. Banyak sekali uang yang dimiliki semua orang, tetapi harga juga sangat tinggi. Untuk membeli sebutir telur saja harus membawa uang berkarung-karung.

Maka akhirnya ditempuh kebijakan di sana untuk memangkas nilai uang dengan mengurangi angka nolnya. Uang senilai 100 triliun, dipangkas menjadi hanya 1.000. Hanya untuk beli sebutir telur.

Apakah kira-kira di Indonesia akan terjadi inflasi parah juga apabila kebijakan cetak uang baru dilakukan?
Sebetulnya tulisan saya ini tidak mengarah lebih jauh ke efek  praktisnya kebijakan cetak uang. Hanya bermaksud mengemukakan teori normativnya saja.

Dengan kata lain kalau teorinya seperti itu berarti kemungkinannya juga ada.
Kalkulasi sederhanya saja bahwa menggiring potensi naiknya permintaan di saat sektor produksi justeru melemah karena pandemi. Berarti membuka jalan dan peluang terjadinya inflasi itu.
Semoga Tidak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun