Mohon tunggu...
Rianto
Rianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya

Calon S.Sos

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Melihat Dinamika Kesejahteraan Buruh Pasca UU Cipta Kerja Disahkan

19 Desember 2023   00:13 Diperbarui: 19 Desember 2023   00:43 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditulis oleh

1. Rianto, Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya

2. Aulia Rachman, Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya

Kesejahteraan buruh mampu tercipta dari bagaimana kondisi hubungan industrial yang saling menguntungkan dikonstruksi antara pekerja dan swasta. Dengan terjalinnya dialog terbuka dan adanya dukungan kebijakan perlindungan hak yang kuat, hubungan industrial dapat menjadi pilar yang membawa manfaat berkelanjutan bagi pekerja, termasuk pemberian upah yang adil, kondisi kerja yang aman maupun nyaman, serta jaminan sosial yang memadai. Tercapainya kesejahteraan buruh juga menjadi hal yang penting bagi pemberi kerja, dengan tercapainya hal tersebut maka perusahaan mengindikasikan adanya bentuk tanggung jawab taat perundang-undangan, lebih lanjut citra yang positif pada perusahaan juga mampu menunjang kepercayaan buruh dalam bekerja, sehingga moral dan produktivitas pekerja dapat lebih dimiliki.

Berlawanan dengan idealitas di atas, pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Indonesia justru menimbulkan kontroversi yang cukup signifikan, terutama dalam konteks perlindungan hak pekerja. Ketua Kongres Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos (Mashabi & Erdianto, 2021) memberikan penilaian tajam terhadap UU tersebut, dimana beliau menyatakan bahwa hal itu tidak sejalan dengan tujuan pemerintah terkait meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan lapangan kerja. Dalam pandangan Nining, UU Cipta Kerja justru memberikan dasar bagi perusahaan-perusahaan besar untuk mengurangi hak-hak pekerja, terutama dalam situasi sulit seperti pandemi Covid-19.

Pernyataan tersebut didukung oleh pengalaman Nining yang sering menerima pengaduan dari berbagai buruh. Pemangkasan hak oleh perusahaan, dengan alasan pandemi dan mengacu pada ketentuan UU Cipta Kerja, menjadi fenomena yang diakui sebagai bukti nyata dampak negatif undang-undang tersebut terhadap hak dan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, UU Cipta Kerja yang dianggap sebagai solusi bagi berbagai permasalahan terkait lapangan kerja, kesejahteraan, dan perlindungan, justru dinilai bertolak belakang menurut Nining Elitos.

Salah satu poin kritis dalam UU Cipta Kerja yang disoroti oleh kelompok tenaga kerja, termasuk KASBI, adalah perpanjangan batas waktu kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Sebelumnya, UU Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa PKWT maksimal dilakukan selama dua tahun dan dapat diperpanjang kembali untuk satu tahun. Dalam kebijakan baru yakni UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyebutkan bahwa jangka waktu atau selesainya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja (Agishintya, & Hoesin, 2022). Selain itu, pada kebijakan yang baru tersebut juga tidak mengatur secara tegas batasan jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan.

Efek ditetapkannya pengubahan aturan PKWT dalam UU Cipta Kerja

Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, terdapat beberapa perubahan aturan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan yang dinilai menguntungkan perusahaan secara sepihak hingga merugikan buruh. Perihal pertama yaitu mengenai dihapusnya jangka waktu pekerjaan buruh dalam PKWT yang jika menurut UU Ketenagakerjaan, kontrak kerja maksimal diperpanjang selama 2 tahun, dan hanya boleh diperpanjang 1 kali. Dimana, ketentuan tersebut dalam UU Cipta Kerja diganti menjadi "ditentukan berdasarkan perjanjian kerja" yang berarti tidak ada batasan berapa lama masa kerja yang akan "sebenarnya" dijalankan, padahal status pekerja masih dalam PKWT. 

Tentu menjadi hal yang dilematis mengingat terdapat buruh yang masih berstatus "pekerja PKWT" namun telah bekerja selama lebih dari 4 tahun, dan masih mendapatkan hak dalam bentuk upah yang angkanya masih disesuaikan melalui kontrak PKWT. Misal dengan perbandingan buruh tersebut dengan jangka waktu 4 tahun sudah dapat memasuki kelas middle-senior dengan kenaikan gaji yang signifikan, namun karena kebijakan berubah, perusahaan memiliki potensi untuk memberi  upah yang masih setara dengan karyawan PKWT, padahal masa kerja karyawan tersebut telah melewati kontrak PKWT. Sentimen oleh perusahaan ini diperkuat oleh UU Cipta Kerja yang berarti hilangnya jaminan pesangon maupun penghargaan bagi pekerja PKWT. Lebih lanjut, kebijakan alih daya oleh buruh PKWT dalam aturan UU Ketenagakerjaan hanya diperbolehkan jika terdapat kegiatan penunjang, kemudian berubah menjadi alih daya (outsourcing) oleh PKWT juga dapat dibebankan dalam kegiatan pokok perusahaan, dimana seharusnya ranah ini adalah kewajiban daripada buruh yang sudah berstatus PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu).

Resiko Ketidakpastian dan Potensi Eksploitasi Pekerja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun