Mohon tunggu...
Ahmad Muhtar Wiratama
Ahmad Muhtar Wiratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Masyarakat dan Penulis Amatir dari Rawamangun

Menulis untuk senang-senang... Instagram: @amw.1408

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Agar Menjadi Pelajaran, Kejahatan Luar Biasa Anak Harus Mendapatkan Perlakuan Luar Biasa Pula

6 September 2024   10:06 Diperbarui: 6 September 2024   11:25 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di mata hukum, orang dewasa yang dianggap bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri dimulai dari usia 18 tahun ke atas. Artinya, setelah seseorang menginjak usia 18 tahun, maka segala konsekuensi hukum pidana, perdata, dan lain-lain berlaku penuh baginya. 

Sistem peradilan memiliki akses untuk menjatuhkan hukuman kurungan, penjara, atau denda kepadanya. Tapi bukan berarti orang yang berusia antara 0 sampai 18 tahun semuanya disamaratakan sebagai anak-anak sehingga dapat terbebas dari jerat hukum sepenuhnya.

Orang yang berusia 18 tahun ke bawah masih dibagi menjadi dua kategori. Mereka yang berusia 12 tahun ke bawah dianggap sebagai anak-anak sepenuhnya. Dengan kata lain, mereka tidak bisa dikenakan pidana, dan kalaupun melakukan kesalahan atau kejahatan akan dikenakan hukuman bersifat restoratif atau dibina baik oleh lembaga khusus maupun dikembalikan kepada orang tua, bahkan jika kejahatannya tergolong berat. 

Contohnya, di tahun 2011, seorang anak berusia 9 tahun melakukan pembunuhan kepada temannya yang berusia 12 tahun lantaran berebut kelapa kering. Pembunuhannya pun dilakuan si anak secara sadar, yakni dengan sengaja menusukkan pisau ke leher temannya karena meniru adegan kekerasan di televisi. Setelah melalui pemrosesan, akhirnya si anak mendapatkan hukuman berupa pembinaan oleh orang tua di bawah pengawasan. 

Hukuman yang bagi orang awam mungkin tergolong ringan mengingat perbuatannya telah menghilangkan nyawa orang lain, namun sudah setimpal di mata hukum mengingat si pelaku masih anak-anak.

Kategori kedua adalah mereka yang berusia antara 12 sampai 18 tahun. Kategori ini bisa diancam dengan pidana, itupun dengan catatan jika kejahatannya tergolong berat dengan ancaman penjara tujuh tahun atau lebih. 

Mereka yang masuk ke dalam kategori ini disebut sebagai anak yang berkonflik dengan hukum, dan kalaupun terbukti bersalah hingga dimasukkan ke dalam penjara, mereka tidak dikumpulkan bersama orang-orang dewasa melainkan dimasukkan ke "penjara" untuk anak di bawah umur yakni Lembaga Pembinaan Khusus Anak atau LPKA. Salah satu contoh kasus berat yang ancaman penjaranya tujuh tahun atau lebih, lagi-lagi, adalah pembunuhan.

Perlakuan khusus ini tentu saja dirancang untuk melindungi anak-anak di bawah umur, walaupun mereka berstatus sebagai "pelaku" kejahatan. Anak-anak berusia 12 tahun ke bawah bisa dibilang hampir sepenuhnya dibebaskan dari tanggung jawab karena mereka belum memahami benar dan salah dari tindakan mereka, atau istilah agamanya, belum baligh. Anak-anak berusia antara 12 sampai 18 tahun, walaupun sudah baligh atau sadar akan benar dan salah, diberikan kelonggaran lebih di mata hukum, semata-mata karena usia mereka yang masih di bawah umur.

Yang agak mengkhawatirkan, belakangan ini di Indonesia, aturan yang seharusnya didesain untuk melindungi anak-anak di bawah umur ini malah menjadi seperti pisau bermata dua. Minimnya konsekuensi bagi anak-anak pelaku kejahatan selama ini, bukannya membuat anak-anak dan orang tua menjadi lebih berhati-hati, namun malah membuat angka kejahatan yang dilakukan anak-anak semakin marak dan cenderung semakin brutal, layaknya yang dilakukan oleh orang dewasa. Dalam hal ini, aturan malah seperti menjadi tameng bagi perlakuan kejahatan, alih-alih melindungi masyarakat.

Contoh kasus terakhir yang mengejutkan kita semua adalah pembunuhan yang disertai pemerkosaan yang dilakukan kepada seorang siswi SMP di Palembang yang berusia 13 tahun. Kejahatan keji ini dilakukan oleh empat orang kenalannya yang seluruhnya masih berusia di bawah umur, yakni 16, 13, 12, dan 12 tahun. Yang lebih miris, para pelaku ditengarai sudah merencanakan aksi pembunuhan dan pemerkosaan kepada korban, dan menunjukkan rasa puas setelah melakukan aksinya.

Jika mengikuti kaidah hukum, keempat pelaku memang bisa dikenakan pidana karena telah melewati usia 12 tahun. Namun kalaupun nantinya terbukti bersalah, maka sesuai aturan, hukuman maksimal yang bisa dikenakan kepada mereka hanya setengah dari hukuman bagi orang dewasa, yang akan dijalani di LPKA untuk anak di bawah umur. Jadi besar kemungkinan, empat anak ini akan bebas dan bisa melanjutkan pendidikan dasar mereka kembali sebelum usia 18 tahun. 

Masa depan mereka tidak terampas, dan hukum telah dijalankan sesuai peraturan yang berlaku. Namun, entah mengapa rasanya seperti keadilan tidak ditegakkan, terutama bagi orang tua korban yang dalam waktu beberapa tahun saja sudah akan melihat orang-orang yang melakukan kejahatan keji kepada anak perempuannya bebas berkeliaran.

Lantas, bagaimana solusinya? Apakah sebaiknya kejahatan-kejahatan luar biasa seperti ini yang dilakukan oleh anak di bawah umur mendapatkan hukuman yang sama berat seperti orang dewasa? Jawabannya tetap saja adalah tidak. Anak-anak tetaplah anak-anak, dan mereka berhak mendapatkan perlindungan dan kesempatan lebih untuk menebus kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan dan sejatinya belum terlalu mereka pahami.

Namun, intervensi tetap bisa dan wajib dilakukan walaupun di luar jalur hukum. Negara ini memiliki banyak instrumen untuk mendidik, membimbing, bahkan memberikan ganjaran bagi masyarakatnya yang masih di bawah umur. 

Kita memiliki Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang bisa dan memang didesain secara khusus untuk mendidik tidak hanya anak-anak, tapi juga orang tua, untuk secara spesifik menghindari terjadinya hal-hal buruk semacam ini. Selama ini, kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur terjadi karena buruknya pola asuh dan pembinaan orang tua. 

Di sinilah Kemendikbudristek dapat melakukan tindakan preventif dengan memberi pembinaan tidak hanya kepada anak, tapi lebih penting lagi kepada orang tua, terutama di wilayah-wilayah tertinggal yang penduduknya memiliki lebih sedikit pemahaman tentang bahaya paparan media terutama dari dunia daring yang menjadi sumber banyak masalah akhir-akhir ini.

Kita juga memiliki Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang selama ini seperti tidak pernah menjalankan fungsinya dalam melakukan pemberdayaan kepada kaum perempuan maupun memberikan perlindungan bagi anak-anak. 

Alih-alih, KemenPPPA seperti hanya fokus pada acara-acara bersifat seremonial dan tidak pernah memberikan dampak jangka panjang bagi kaum yang seharusnya mereka lindungi.

Pada akhirnya, penulis memperkirakan bahwa kasus ini akan berlalu begitu saja seperti kasus-kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur lainnya. Minimnya efek jera dan intervensi negara dalam peristiwa menyedihkan ini hanya membuka ruang bagi semakin marak terulangnya kejahatan-kejahatan semacam ini di masa depan. 

Jangan salah, kejahatan tetaplah sebuah kejahatan, walaupun dilakukan oleh anak di bawah umur. Jika negara tidak juga memberikan perhatian dan perlakuan luar biasa kepada kejahatan-kejahatan luar biasa ini, maka sejatinya negara telah gagal memberikan perlindungan bagi generasi mudanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun