Apakah teman-teman memperhatikan semakin maraknya berita tentang kekerasan terhadap perempuan belakangan ini? Setidaknya satu pekan sekali, mengemuka berita dengan profil tinggi tentang kekerasan terhadap perempuan.Â
Ada yang dilakukan suami kepada istri, ayah kepada anak perempuan, dilakukan oleh pacar atau teman, dan lain-lain. Kasus-kasus yang muncul ke permukaan ini cenderung keji dan tragis, sehingga membuat kita yang membacanya seolah-olah sulit untuk percaya bahwa kejahatan ini benar-benar terjadi di sekitar kita -- dan dilakukan oleh orang-orang terdekat korban pula.
Yang mengkhawatirkan, pola ini cenderung berulang dan mengalami ekskalasi. Jika sebelumnya hanya muncul satu bulan sekali, sekarang sudah hampir setiap pekan muncul berita yang luar biasa tentang kekerasan terhadap perempuan.Â
Jika tidak ada langkah serius yang dilakukan, kelak mungkin bisa setiap hari. Padahal, kasus luar biasa kekerasan terhadap perempuan yang muncul ke khalayak hanya puncak dari gunung es.Â
Di bawahnya mungkin tidak terhitung jumlah kekerasan terhadap perempuan yang tidak terdokumentasikan atau bahkan tidak dilaporkan. Tidak salah jika kita menyebut bahwa Indonesia saat ini perlahan memasuki fase darurat kekerasan terhadap perempuan.
Masalahnya lagi, belum banyak perhatian yang diberikan oleh pihak-pihak berwenang untuk mengatasi kondisi darurat ini. Belum ada langkah khusus yang dilakukan oleh pengambil kebijakan untuk mengurangi atau sekedar mencegah terus terjadinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.Â
Di tahun 2023 ini, isu tentang perempuan dan kesetaraan gender masih termarginalkan, tenggelam oleh isu politik, ekonomi, atau gosip artis dan penyanyi. Bahkan, media-media di Indonesia seperti lebih senang memberi perhatian terhadap tingkah laku anak-anak selebriti ketimbang isu kekerasan terhadap perempuan.
Walaupun masih dominan, namun kasus kekerasan terhadap perempuan tidak seluruhnya adalah kekerasan seksual. Ada pula kasus penganiayaan yang tidak disertai kekerasan seksual, mulai dari kasus penganiayaan ringan, berat, termasuk yang berujung pada kematian.Â
Dalam kasus-kasus domestik kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga, motifnya lebih banyak karena crime of passion, yakni kejahatan yang didorong oleh letupan emosi dari pihak laki-laki, dan perempuan sering menjadi sasarannya semata karena ia adalah pihak yang lebih lemah secara fisik.
Kenyataannya, kebanyakan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi adalah kekerasan domestik, bukan tindak kriminal bermotif ekonomi seperti pencurian atau perampokan. Kekerasan terhadap perempuan malah banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat seperti suami, ayah, kakek, saudara laki-laki, paman, pacar, sampai teman.Â
Pola ini sangat sering terjadi dari generasi ke generasi, sehingga yang lebih aneh adalah reaksi kebanyakan dari kita yang masih saja terkejut atau seolah tidak percaya ketika kekerasan itu dilakukan oleh orang-orang terdekat. Mungkin nurani masyarakat masih belum bisa menerima kenyataan bahwa yang paling utama perempuan harus dilindung terlebih dahulu dari orang-orang yang seharusnya melindungi mereka.
Cara berpikir yang kurang tepat juga adalah mendefinisikan suatu tindakan di dalam rumah tangga baru dikategorikan sebagai sebuah kekerasan apabila sudah terjadi kekerasan fisik.Â
Kenyataannya, perlakuan yang termasuk dalam kategori abuse mulai dari kekerasan verbal sampai perundungan terhadap anggota keluarga perempuan dalam rumah tangga sudah bisa dikategorikan sebagai kekerasan terhadap perempuan, karena perlakuan-perlakuan tersebut pada akhirnya hanya akan mengarah pada kekerasan fisik dan penganiayaan.
Suka atau tidak suka, perlu diakui bahwa implementasi serampangan dari budaya timur yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang lebih dominan dalam rumah tangga juga ikut andil memberi ruang bagi ekskalasi kekerasan terhadap perempuan.Â
Dalam konteks ini, terjadi atau tidak terjadinya kekerasan terhadap perempuan lebih banyak ditentukan sepihak oleh bagaimana sikap laki-laki dalam rumah tangga. Sejumlah faktor khusus seperti tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi juga memainkan peranan dalam menentukan hal ini. Sayangnya, keduanya adalah faktor yang kurang mendukung dalam lebih banyak rumah tangga di Indonesia.
Karena faktor budaya dan sifatnya yang personal, banyak korban kekerasan terhadap perempuan menganggap kekerasan yang menimpanya sebagai hal yang biasa dan bahkan cenderung memberikan toleransi terhadap aksi kekerasan tersebut.Â
Hal ini juga membuat mereka cenderung enggan untuk menyikapi atau mengadukan kekerasan yang terjadi kepada mereka karena adanya rasa malu, takut, atau ketergantungan terhadap pelaku kekerasan. Yang lebih mengkhawatirkan, sikap yang menormalkan kekerasan domestik ini sering pula diambil oleh tetangga atau kerabat yang mengetahui terjadinya kekerasan. Pada gilirannya, fungsi jejaring sosial dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan tidak cukup hanya dengan slogan. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk memutus mata rantai kekerasan ini adalah dengan mengubah cara pandang masyarakat terhadap masalah.Â
Kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan kriminal yang berbahaya, tidak peduli siapapun pelakunya -- termasuk dan terutama jika dilakukan oleh orang-orang terdekat.Â
Cara pandang ini perlu terlebih dahulu diadopsi dan disepakati oleh masyarakat, utamanya korban kekerasan terhadap perempuan maupun oleh orang-orang di sekitar yang berpotensi mengetahui adanya kejadian tersebut.
Dibutuhkan kerja keras yang sistematis dan tidak sebentar dari pemerintah untuk melakukan perubahan nyata. Namun, hal ini adalah sebuah keharusan dan kebutuhan yang semakin hari semakin mendesak.Â
Apalagi, pemerintah Indonesia memiliki departemen khusus yang didedikasikan untuk isu-isu perempuan. Ketimbang banyak berkutat pada hal-hal yang bersifat seremonial, agenda penanggulangan kekerasan terhadap perempuan memiliki urgensi dan kegunaan praktis yang benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh perempuan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H