Mohon tunggu...
rwp siska
rwp siska Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat perspektif yang terselip

Mari Mengencani Perspektif Saya

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Wanita Mandiri Rentan Toxic Relationship (?)

24 Januari 2023   14:44 Diperbarui: 24 Januari 2023   15:43 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Binus University 

Masa pacaran merupakan tahap untuk mengenal seseorang lebih intim dan personal sehingga mengetahui karakter asli seseorang. Fase ini juga sering kali diidentikkan dengan kehidupan penuh kisah romantisme. Sayangnya, banyak orang, terutama wanita yang malah mengalami manipulasi dan terjebak dalam hubungan yang toxic.

Fenomena toxic relationship ini tentu saja melibatkan perilaku abusive oleh pasangan. Baik abusive secara fisik, maupun verbal. Ironisnya, seringkali wanita tetap memilih bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan tersebut. Salah satu penyebabnya  adalah Stockholm Syndrome yang dialami korban.

Saya pernah mengalami fenomena relasi yang toxic dengan domininasi manipulasi emosional dari lawan jenis. Saat awal-awal pertemuan, dia berlaku sangat manis dan berusaha menjadi solusi atas banyak hal. Hujanan pujian dan perjuangan dihadirkannya, yang baru saya pahami bahwa hal tersebut merupakan bagian dari love bombing.

Sebagai wanita yang sangat senang diperjuangkan dan dihargai tentu saja saya mulai luluh atas banyak hal yang dilakukannya. Sayangnya ditengah perjalanan, dia mulai menunjukan mixed signal, kehadirannya on dan off.

Akan tetapi, mengingat di awal dia hadir dengan banyak solusi saya pun mencoba mengingatkan diri bahwa dia pribadi yang baik. Seringkali jadinya saya merasa bersalah, dan merasa gelisah serta mempertanyakan diriku setiap kali dia “off komunikasi”.

Banyak ketidakkonsistenan dalam perlakuannya, berbeda dari awal. Misalnya ketika diawal kita menyepakati jika ada salah seorang dari kita yang menelepon di saat kita tidak bisa merespon, maka harus menelepon balik atau minimal meninggalkan pesan. Namun, hal itu sudah  tidak dilakukannya lagi. Dia mulai susah dihubungi, suka bad mood, dan membuat orang merasa bersalah.

Selain itu, dia mulai melakukan hal yang buatku merasa tidak nyaman.  Tiap kali aku mengungkapkan ketidaknyamananku dengan perlakuannya, dia akan marah, mengatakan aku keras kepala, suka drama. Belum lagi, ketika aku berbagi tentang pencapaian kerjaku dia tidak mengapresiasi bahkan cenderung meremehkan  usaha yang kulakukan.

Diawal pertemuan, saya memang menceritakan kepadanya bahwa saya sedang dalam pemulihan kondisi mental, efek daddy issue yang saya miliki ke psikiater, dengan maksud jika dia tidak berniat denganku bisa  memilih pergi. Saya juga memberitahu bahwa saya sangat insecure dengan bentuk tubuhku karena memiliki pengalaman buruk tentang tubuhku. Kedua hal ini malah dikunci olehnya sebagai alat untuk melemahkan dan memojokkanku.

Ada suatu moment dia terpojokkan karena berbohong dan berhasil terpojok dengan argumenku yang tidak bisa dibantahnya lagi. Dia merespon dengan marah besar (yang mana hal ini yang aku takuti sebagai bagian trauma masa kecilku) dan malah memojokkanku dengan mengatakan badanku gendut kayak ibu-ibu. Hal ini otomatis membuatku terdiam dan merasa insecure.

Di banyak kesempatan dia sering menyebutkan hal-hal yang membuat ku insecure dan terdiam namun di waktu yang sama dia berusaha memberi kenyamanan serta menanamkan bahwa tidak ada orang di luar sana yang  akan  bisa menerima diriku seperti dirinya karena saya memiliki banyak kekurangan.

Hal ini membuat saya susah lepas darinya karena mulai tertanam dibenakku bahwa aku beruntung bersamanya, dia memakiku untuk kebaikanku. Mulai mentolerir banyak kebohongannya dan sering kali mulai mempertanyakan diriku sendiri. Rasanya seperti berdiri diatas pecahan kaca es. Tiap kali akan bertemu, saya sudah mulai gelisah bertanya-tanya apakah dia akan marah nantinya, meskipun tidak ada kesalahan atau konflik yang terjadi.

Seringkali juga saya mencoba bertahan dengan harapan dia akan kembali ke perlakuan awalnya, mungkin saja dia berlaku seperti  itu karena beban pikirannya atau hal lain dari pekerjaan. Banyak hari yang kulalui.

Anehnya, seringkali saya diperlakukan berbeda di depan teman-temannya. Jika saya sedang berada diantara teman-temannya, seringkali diperlakukan dengan sangat baik, memuji banyak pencapaian saya. Tetapi ketika hanya berdua dengannya, saya sering direndahkan, pencapaian yg saya peroleh baginya hanyalah hal biasa.

Puncak aku memutuskan untuk pergi meski sangat sulit adalah ketika saya mulai overthinking, mulai muncul anxiety, gelisah menebak-nebak kapan dia akan marah, merasa bersalah untuk banyak hal,dan  tidak bisa menunjukkan emosi saya. 

Secara umum, hal yang saya alami ini merupakan bagian dari fenomena Stockholm Syndrome. Stockholm Syndrome adalah suatu kondisi paradox psikologis dimana timbul ikatan yang kuat antara korban terhadap pelaku kekerasan, ikatan ini meliputi rasa cinta korban terhadap pelaku, melindungi pelaku yang telah menganiayanya,menyalahkan  diri  sendiri  sebagai  penyebab  kekerasan,  menyangkal atau meminimalisir kekerasan yang terjadi disebut dengan (Graham, 1995).

Terdapat tiga kondisi dominan yang menunjukkan adanya Stockholm Syndrome dalam hubungan yang penuh kekerasan yaitu ancaman untuk tidak meninggalkan pelaku, isolasi dari orang terdekat, dan kebaikan yang ditunjukkan pelaku.

Ada juga masa saya tidak ingin sharing dengan teman yang memiliki pemahaman baik akan hubungan sehat karena di satu sisi saya masih ingin lanjut dan saya juga tahu bahwa teman saya akan menyuruh pergi, secara tidak langsung saya membenarkan perlakuannya. Misalnya saat bercerita dengan teman dia merespon,”kok dia memperlakukan kamu gitu sih?”. Saya akan merasa tidak senang dan mencoba membelanya di depan teman-teman saya.

Sama seperti banyak perempuan lainnya, alasan saya bertahan dalam hubungan yang penuh dengan kekerasan ini adalah keinginan untuk memperbaiki perilaku pasangan, Pernah di suatu masa saya mencoba untuk mendiskusikan hal ini dengan ibuku dan mengungkapkan ketidaknyamananku. Sayangnya, respon yang diberikan malah memojokkanku, asumsi bahwa seorang wanita harus memahami pria apapun yang dilakukannya dan men cap ku sebagai wanita yang tidak sabaran.

Mungkin banyak perempuan diluar sana juga yang mengalami hal yang sama dan mencoba mencari pertolongan dari orang terdekat, ironisnya di respon berbeda. Hal ini bisa saya pahami karena value berpasangan di zaman ibuku berbeda dengan sekarang yang mempertimbangkan aspek kesehatan mental, dalam hal ini respek dari pasangan.

Bahkan berdasarkan data dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan (2011), ada 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan, 1.405 diantaranya adalah kekerasan dalam  pacaran,  dan  rentang  usia  perempuan yang paling rentan mengalami kekerasan adalah usia 25-40 tahun.

Dampak negatif kekerasan bagi kesehatan mental korbannya, meliputi berbagai gejala dan jenis seperti depresi, kecemasan, psikosomatis. Meskipun membawa dampak negatif bagi kondisi korban, sebagian korban kekerasan dalam pacaran justru memilih untuk bertahan atau bahkan kembali kepada pasangannya.Sebanyak 40% sampai  70% wanita yang  menjadi  korban kekerasan dalam pacaran mempertahankan atau kembali ke dalam hubungan tersebut selama kurun waktu tertentu (Ben-Porat & Itzhaky, 2008; Davanhana-Maselesele, dkk., 2009; Horwitz & Skiff, 2007  dalam Duley, 2012).

Ketika memutuskan untuk keluar dari hubungan tersebut, seringkali saya berpikir untuk kembali karena kepercayaan diri saya saat itu sangat rendah, karena perlakuan dan sugestinya yang membuatku merasa tidak akan ada orang yang menginginkanku sebagai pasangannya lagi yang disebutkannya berulang kali.

Perempuan yang memutuskan untuk bertahan dalam hubungan seperti ini juga karena merasa tidak perlu khawatir akan mendapatkan teror ketika ia meninggalkan pasangannya. Dengan kehadiran  pasangannya ia memiliki tempat untuk bergantung dan merasakan adanya cinta serta harapan bahwa kekerasan tersebut dapat berakhir (Herbert, dkk, 1991 dalam Duley, 2012).

Gashlighting yang dilakukan olehnya juga menyebabkan terciptanya ikatan yang kuat antara saya dengannya karena saya sering kali berakhir menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekerasan dan mengamini perlakuannya.Bahkan semakin sering hal ini terjadi semakin kuat rasa cinta saya kepadanya.

Keputusan untuk pergi saat itu adalah keputusan yang sangat berat yang saya lakukan karena tidak ada yang mengetahui dampak secara detail yang saya alami selama hal ini terjadi, mulai dari keraguan atas diri sendiri, fokus saya mulai terbagi dari ingin mengembangkan diri menjadi menyalahkan diri sendiri. Untuk meyakinkan diri sendiri, saya pun melakukan assessment atas apa yang sedang saya alami, termasuk kerugian apa yang saya alami jika pergi? Dan akhirnya saya menemukan kesimpulan “setidaknya saya masih bisa hidup kalaupun pergi dari hubungan ini”.

Kesimpulan ini saya ambil atas dasar pertimbangan bahwa secara finansial saya tidak bergantung dengannya, saya bisa dan terbiasa melakukan banyak hal sendiri, ada pekerjaan yang saya miliki yang  potensial untuk ditekuni dengan kemampuan yang saya miliki, meski akan merasa kehilangan tetapi saya masih akan tetap bisa melanjutkan hidup.

Selain meminta dukungan dari teman-teman yang berpikiran sehat untuk tetap melangkah kuat dari hubungan ini, saya juga melakukan konseling ke psikolog yang membantu pengobatan trauma masa kecilku. Setiap kali saya akan mencoba menghubungi atau kembali ke orang tersebut, teman-teman saya akan mengingatkan dan berperan sebagai alarm bahwa saya akan baik-baik saja, ini hanya masalah waktu.

Psikolog juga mengapresiasi keputusan saya untuk pergi karena itu hal yang sangat sulit karena secara emosional hidup saya sudah terperangkap bersamanya.Terutama, psikolog mengapresiasi tiap aksi pembelaan diri yang saya lakukan didepan laki-laki tersebut tiap kali kepercayaan diri saya diserang dan direndahkan. Dikuatkan juga bahwa orang tersebut mungkin dulunya adalah korban hal yang sama dan menjadi pelaku saat ini. Saya harus segera pulih, kembali ke kehidupan awal saya dan tidak menjadi pelaku ke  orang lain.

Selepas dari hubungan ini, saya merasa sangat lega dan merasakan banyak dampak positif. Dari yang awalnya suka insecure, saya semakin percaya diri dan mengasihi diri, beda dengan sebelumnya yang sering sekali mengasihani diri sendiri dan takut akan banyak hal. Langkah saya semakin kuat dan semakin menekuni banyak hal yang menguatkan diri saya sendiri. Semoga teman-teman lainnya juga bisa memutuskan untuk pergi dari hubungan toxic seperti ini.  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun