Hal ini membuat saya susah lepas darinya karena mulai tertanam dibenakku bahwa aku beruntung bersamanya, dia memakiku untuk kebaikanku. Mulai mentolerir banyak kebohongannya dan sering kali mulai mempertanyakan diriku sendiri. Rasanya seperti berdiri diatas pecahan kaca es. Tiap kali akan bertemu, saya sudah mulai gelisah bertanya-tanya apakah dia akan marah nantinya, meskipun tidak ada kesalahan atau konflik yang terjadi.
Seringkali juga saya mencoba bertahan dengan harapan dia akan kembali ke perlakuan awalnya, mungkin saja dia berlaku seperti itu karena beban pikirannya atau hal lain dari pekerjaan. Banyak hari yang kulalui.
Anehnya, seringkali saya diperlakukan berbeda di depan teman-temannya. Jika saya sedang berada diantara teman-temannya, seringkali diperlakukan dengan sangat baik, memuji banyak pencapaian saya. Tetapi ketika hanya berdua dengannya, saya sering direndahkan, pencapaian yg saya peroleh baginya hanyalah hal biasa.
Puncak aku memutuskan untuk pergi meski sangat sulit adalah ketika saya mulai overthinking, mulai muncul anxiety, gelisah menebak-nebak kapan dia akan marah, merasa bersalah untuk banyak hal,dan tidak bisa menunjukkan emosi saya.
Secara umum, hal yang saya alami ini merupakan bagian dari fenomena Stockholm Syndrome. Stockholm Syndrome adalah suatu kondisi paradox psikologis dimana timbul ikatan yang kuat antara korban terhadap pelaku kekerasan, ikatan ini meliputi rasa cinta korban terhadap pelaku, melindungi pelaku yang telah menganiayanya,menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekerasan, menyangkal atau meminimalisir kekerasan yang terjadi disebut dengan (Graham, 1995).
Terdapat tiga kondisi dominan yang menunjukkan adanya Stockholm Syndrome dalam hubungan yang penuh kekerasan yaitu ancaman untuk tidak meninggalkan pelaku, isolasi dari orang terdekat, dan kebaikan yang ditunjukkan pelaku.
Ada juga masa saya tidak ingin sharing dengan teman yang memiliki pemahaman baik akan hubungan sehat karena di satu sisi saya masih ingin lanjut dan saya juga tahu bahwa teman saya akan menyuruh pergi, secara tidak langsung saya membenarkan perlakuannya. Misalnya saat bercerita dengan teman dia merespon,”kok dia memperlakukan kamu gitu sih?”. Saya akan merasa tidak senang dan mencoba membelanya di depan teman-teman saya.
Sama seperti banyak perempuan lainnya, alasan saya bertahan dalam hubungan yang penuh dengan kekerasan ini adalah keinginan untuk memperbaiki perilaku pasangan, Pernah di suatu masa saya mencoba untuk mendiskusikan hal ini dengan ibuku dan mengungkapkan ketidaknyamananku. Sayangnya, respon yang diberikan malah memojokkanku, asumsi bahwa seorang wanita harus memahami pria apapun yang dilakukannya dan men cap ku sebagai wanita yang tidak sabaran.
Mungkin banyak perempuan diluar sana juga yang mengalami hal yang sama dan mencoba mencari pertolongan dari orang terdekat, ironisnya di respon berbeda. Hal ini bisa saya pahami karena value berpasangan di zaman ibuku berbeda dengan sekarang yang mempertimbangkan aspek kesehatan mental, dalam hal ini respek dari pasangan.
Bahkan berdasarkan data dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan (2011), ada 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan, 1.405 diantaranya adalah kekerasan dalam pacaran, dan rentang usia perempuan yang paling rentan mengalami kekerasan adalah usia 25-40 tahun.
Dampak negatif kekerasan bagi kesehatan mental korbannya, meliputi berbagai gejala dan jenis seperti depresi, kecemasan, psikosomatis. Meskipun membawa dampak negatif bagi kondisi korban, sebagian korban kekerasan dalam pacaran justru memilih untuk bertahan atau bahkan kembali kepada pasangannya.Sebanyak 40% sampai 70% wanita yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran mempertahankan atau kembali ke dalam hubungan tersebut selama kurun waktu tertentu (Ben-Porat & Itzhaky, 2008; Davanhana-Maselesele, dkk., 2009; Horwitz & Skiff, 2007 dalam Duley, 2012).