Mohon tunggu...
rwp siska
rwp siska Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat perspektif yang terselip

Mari Mengencani Perspektif Saya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pulang Kampung Saat Corona, Kebutuhan Emosional Vs Evaluasi Rasional

6 April 2020   10:37 Diperbarui: 7 April 2020   15:57 2521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemudik yang menggunakan KM Dobonsolo tiba di Pelabuhan Penumpang Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (9/6/2019). KM Dobonsolo mengangkut 1.542 orang peserta mudik balik gratis sepeda motor yang berangkat dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. (ANTARA FOTO/DHEMAS REVIYANTO)

Awal bulan Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan ada dua warga negara Indonesia yang positif terinfeksi virus Corona. Pengumuman ini sekaligus menjadi bentuk "resmi" pandemi global Corona masuk ke Indonesia. Masyarakat merespons hal ini dengan banyak bentuk, salah satunya dengan pulang kampung.

Para perantau (terutama yang bekerja di Jakarta) berbondong-bondong mudik ke kampung halaman. Imbauan physical distancing yang digaungkan pemerintah sebagai upaya memutus rantai penyebaran virus corona, terkesan "diabaikan".

Kebijakan perusahaan untuk meliburkan karyawan karena Corona malah dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk "bersilaturahmi" dengan keluarga di kampung halaman. Sebagai respons atas "panik massal", mereka mendamba rasa aman yang didapatkan jika berkumpul bersama keluarga di kampung halaman.

Mau tidak mau, kondisi ini menyebabkan pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan untuk melarang para perantau, terutama yang berasal dari Jakarta untuk tidak pulang kampung sementara waktu. 

Hal ini disebabkan Jakarta menjadi sumber pandemi Corona (sumber), sekaligus kota yang memiliki banyak pendatang/perantau yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. 

Ditemukan, semenjak para perantau mudik, terjadi peningkatan jumlah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan Orang Dalam Pemantauan (ODP) di berbagai daerah di Indonesia.

Gunung Kidul (salah satu wilayah yang memilki warga perantau cukup banyak) mengalami peningkatan jumlah ODP dan PDP dengan wilayah persebaran dari 13 kecamatan menjadi 15 kecamatan. 

Jumlah ODP di daerah ini secara signifikan naik dalam beberapa hari dari 50 orang menjadi 69 orang kemudian 116 orang dan kini menjadi 162 orang dengan PDP sebanyak 6 orang (sumber).

Di Jawa Barat, Gubernur Ridwan Kamil mengimbau warga Jawa Barat yang menjadi perantau di Jakarta untuk tidak mudik sementara waktu hingga rapid test dilakukan di provinsi ini. Jika pulang sebelum rapid test maka warga akan berpotensi menjadi ODP.

Kebijakan Ridwan Kamil tersebut belajar dari kasus di Kabupaten Sumedang. Awalnya, jumlah ODP hanya 2 orang, tetapi saat ini sudah lebih dari 300 orang. Para ODP adalah mereka yang tinggal bekerja di Jakarta dan mudik. 

Kebijakan-kebijakan ini perlahan diikuti oleh pejabat daerah lainnya, seperti Pemprov Sumatera Barat yang menyarankan penutupan bandara untuk membatasi mobilitas warga. Demikian juga halnya dengan Pemprov Aceh yang melarang warganya mudik untuk sementara waktu.

Lebih global, pemerintah ingin kita belajar dari Italia. Meskipun pemerintah meliburkan warganya, mereka tetap pulang kampung yang menyebabkan virus menyebar ke seluruh wilayah. Kondisi tersebut mengakibatkan ribuan orang meninggal dunia (sumber).

Sama halnya dengan PM India Narendra Modi juga berulang kali mengimbau warga India untuk tidak pulang ke kampung halaman yang disuarakan melalui tweet-nya (sumber).

"Khawatir dengan Corona, banyak saudara saya meninggalkan kota tempat mereka bekerja dan kembali ke daerah asalnya. Bepergian dalam kemacetan meningkatkan risiko penyebaran Corona. Ke mana pun Anda pergi juga akan membahayakan orang lain. Kembali ke daerah asal juga akan menambah kesulitan keluarga dan daerah asal Anda."

Narendra Modi menekankan bahwa masyarakat India sebaiknya mengisolasi diri di rumah sendiri untuk mengurangi risiko penularan Corona. Uniknya, ditemukan di India bahwa peningkatan jumlah warga yang terinfeksi virus Corona, terjadi pada hari Sabtu. 

Hal ini dipicu oleh banyaknya warga yang kembali ke desa atau kota asal dengan menggunakan kereta api dan bus di hari Sabtu, sehingga ada peningkatan jumlah yang terinfeksi virus ini di hari yang sama.

Perantau yang mudik karena Corona terjadi di berbagai negara di dunia ini. Secara emosional mereka mencari sendiri rasa aman dengan berkumpul bersama keluarga di kampung halaman.

Orangtua dan keluarga di kampung pun tak kalah bersikerasnya mendukung mereka untuk pulang. Di satu sisi, mereka mendamba rasa aman yang didapatkan jika bersama keluarga. 

Namun di sisi lain merasa cemas jika berkumpul bersama keluarga akan menyebabkan peredaran virus yang menjadikan itu sebagai menit-menit pertemuan terakhir.

Apakah pulang kampung dan berkumpul bersama keluarga menjadi solusi yang tepat? Atau malah akan menjadi reuni terakhir? Bagaimana menjelaskan kepada keluarga betapa bahayanya pertemuan berkelompok selama pandemi ini? 

Tidak adanya jaminan bahwa Corona akan segera berakhir menyebabkan rasa takut muncul, sehingga keinginan bersama keluarga menjadi sangat kuat. Sebagai perantau, sebagian besar dari diri kita hanya ingin bersama keluarga selama pandemi ini.

Tidak jarang juga perdebatan di lingkup keluarga hadir dalam bencana ini yang menyebabkan terciptanya kondisi yang emosional. Misalnya, perdebatan antarsaudara untuk bepergian dan berkumpul dengan orang tua dari dari Pantai Barat yang penuh Corona ke Pennsylvania. Perdebatan yang emosional tidak terelakkan dan berakhir membuat perasaan semakin buruk di situasi yang buruk (sumber).

Hal ini menjadi dilema yang berkepanjangan dan sulit untuk diputuskan. Mencari rasa aman dengan menghabiskan waktu dengan orangtua adalah hal yang menyenangkan sekaligus membahayakan. 

Usia orangtua kita (kondisi kesehatan yang juga sudah tak sama) adalah usia yang rentan terhadap Corona. Naluri seorang anak membuat kita ingin berada di dekatnya untuk merawat mereka.

Demikian juga halnya orangtua kita, setua apa pun mereka, keinginan untuk tetap melindungi masih tetap ada. Fungsi keluarga sebagai pelindung bagi para anggota keluarganya dari gangguan, ancaman, atau kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan semakin terasa pada bencana ini (sumber).

Bencana seperti ini tidak familiar di Indonesia sehingga psikologi masyarakat juga tidak familiar dalam merespons kondisi ini. Jika bencana alam terjadi di Indonesia, masyarakat masih bisa berkumpul dengan keluarga untuk saling menguatkan (bahkan  tim SAR akan membantu mencari anggota keluarga yang terpisah dan mempertemukan mereka). 

Sementara, wabah Corona menyebabkan tidak adanya  pembedaan antara keluarga dan bukan keluarga. Semua dianggap sebagai individu yang berdiri sendiri dan berpotensi menyebabkan penyebaran virus jika berinteraksi dengan individu lainnya. 

Padahal dalam semua kondisi bencana, kita mendambakan rasa aman. Tidak bisa dipungkiri, kebutuhan berkumpul bersama keluarga adalah seruan dari dalam diri kita yang sangat kuat.

Sayangnya jika bepergian atau berkumpul bersama mereka, kita berisiko membawa virus yang kadang berhari-hari tidak kita ketahui. Kondisi ini menghadapkan kita pada kebutuhan emosional versus evaluasi risiko yang rasional.

Pada saat seperti ini, penting bagi kita untuk bersikap rasional untuk "mengamini" imbauan physical distancing dengan tetap tinggal di rumah, tidak bepergian, apalagi pulang ke kampung halaman.

Pilihan rasional ini bukan hanya untuk kebaikan orangtua kita yang sudah lanjut usia atau keluarga, tetapi juga untuk semua orang yang kita temui, kita harus melakukan  physical distancing. 

Imbauan physical distancing memang terdengar menakutkan dan tidak nyaman, tetapi harus dijalankan untuk menghindari jutaan kematian yang dapat dicegah. Kita harus tetap melihat ke depan, pandemi Corona pasti akan berakhir. Mungkin butuh beberapa bulan, tetapi kita semua bisa saling menguatkan satu sama lain, sembari membayangkan hal bahagia apa yang akan dilakukan ketika semua ini berakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun