Mohon tunggu...
Ruth Margaretha
Ruth Margaretha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia

Saya adalah seorang mahasiswa Ilmu Politik yang memiliki ketertarikan mendalam dalam diskusi dan analisis isu-isu terkini. Selain fokus pada studi, saya juga menyukai seni. Melalui karya-karya saya, saya berharap dapat menginspirasi dan memberikan perspektif baru kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ekosistem Sebagai Warisan : Menyelamatkan Nafas Terakhir Puspa dan Satwa dengan Inovasi sebagai Modal Pembangunan Berkelanjutan Demi Masa Depan Bangsa

5 Januari 2025   17:13 Diperbarui: 5 Januari 2025   17:13 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di pagi yang basah di hutan Leuser, gemerisik daun menyertai langkah perlahan seekor Harimau Sumatera. Raja rimba itu berjalan menyusuri jalur yang kian sempit, dikepung suara gergaji mesin di kejauhan. Nun jauh di Kalimantan, Pesut Mahakam melintas di permukaan sungai, menghela napas panjang sebelum kembali menyelam dalam sunyi. Mereka adalah wajah-wajah puspa dan satwa Indonesia yang kian tersingkir dari panggung alam.

Indonesia, negeri di mana hutan menjadi nafas dan laut menjadi nadi, menyimpan mahakarya alam yang tak ternilai. Dari puncak pegunungan Papua hingga perairan Raja Ampat yang berkilau, tanah ini adalah rumah bagi kehidupan yang melimpah. Sebagai negara megabiodiverse terbesar kedua setelah Brasil, Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 17% spesies burung dunia, 12% mamalia, dan 16% reptil. Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki 21 tipe ekosistem alami dan 75 tipe vegetasi yang menjadikannya pusat kehidupan yang luar biasa kaya.

Namun, di balik keindahan ini, bayang-bayang kehilangan terus membayangi. Organisai Burung Indonesia melaporkan bahwa hampir separuh dari 1.826 spesies burung di Indonesia adalah endemik, begitu juga dengan 270 spesies mamalia dan 328 spesies reptil. Ironisnya, lebih dari 150.000 spesies flora dan fauna kini berstatus terancam punah dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Sebanyak 46.337 di antaranya berada di ujung kepunahan.

Dalam Forum Bumi yang diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia menunjukkan bahwa perubahan iklim, deforestasi, dan perburuan liar adalah faktor utama yang mempercepat penurunan keanekaragaman hayati. Dalam forum tersebut, Prof. Satyawan Pudyatmoko, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, menyatakan bahwa "Hilangnya keanekaragaman hayati dapat mengancam kesehatan manusia dan jasa ekosistem. Saat ini, sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan menghadapi ancaman kepunahan".

Hilangnya hutan Indonesia bagaikan kehilangan jantung yang memompa kehidupan. Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia kehilangan sekitar 104 ribu hektar hutan pada periode 2021-2022, sementara pada periode 2020-2021 kehilangan hutan mencapai 113,5 ribu hektar. Kehilangan ini setara dengan hampir dua kali luas Pulau Samosir. Setiap hektar yang hilang berarti rumah-rumah satwa yang hancur, pohon-pohon yang tumbang, dan emisi karbon yang terus meningkat.

Di Kalimantan, Pesut Mahakam kini hanya tersisa sekitar 80 ekor, berenang di sungai yang semakin tercemar. Sementara itu, Harimau Sumatera, simbol kegagahan hutan tropis, kehilangan hampir separuh populasinya dalam dua dekade terakhir. Jika ini terus berlanjut, Harimau Sumatera akan menyusul Harimau Jawa dan Harimau Bali yang kini hanya tinggal dalam catatan sejarah.

Lautan Indonesia pun merintih. Terumbu karang Raja Ampat yang disebut sebagai surga bawah laut mulai kehilangan warnanya. Pemutihan terumbu karang akibat naiknya suhu laut mengancam ekosistem yang menjadi rumah bagi ribuan spesies ikan. Ketika populasi ikan menurun hingga 40%, kehidupan nelayan pun ikut terguncang. Jika karang-karang ini terus rusak, akankah anak cucu kita hanya mengenal keajaiban laut Indonesia lewat foto usang?

Hilangnya keanekaragaman hayati tidak hanya menjadi masalah ekologis, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi dan sosial. Menurut laporan World Bank, kerusakan ekosistem yang terus berlangsung dapat mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hingga 2% setiap tahunnya.

Sektor pariwisata berbasis alam seperti di Raja Ampat, Taman Nasional Komodo, dan Danau Toba berpotensi kehilangan jutaan wisatawan jika ekosistem ini rusak. Kehilangan ini bukan hanya soal keindahan alam, tetapi juga berimbas langsung pada pendapatan masyarakat lokal dan lapangan pekerjaan di sektor pariwisata dan perikanan.

Komunitas adat dan masyarakat yang hidup bergantung pada hutan dan laut juga menghadapi risiko besar. Ketika hutan menghilang, ancaman banjir, kekeringan, dan tanah longsor semakin tinggi. Sementara itu, nelayan tradisional mengalami penurunan hasil tangkapan karena rusaknya ekosistem laut yang menjadi rumah ikan.

Solusi Dalam Konservasi

  • Sensor AI dan eDNA

Di jantung hutan hujan yang sunyi, sensor otomatis bertenaga surya beroperasi tanpa henti, bagaikan mata-mata alam yang tak pernah terlelap. Teknologi eDNA berbasis kecerdasan buatan (AI) ini mampu mendeteksi jejak DNA satwa dari air, tanah, dan udara, membuka tabir rahasia kehidupan liar yang selama ini sulit dijangkau manusia. Sensor ini tidak hanya merekam keberadaan spesies, tetapi juga melacak pergerakan mereka secara real-time, mengirimkan data langsung ke pusat analisis. Dalam hitungan detik, spesies yang mungkin terancam punah terdeteksi tanpa perlu interaksi langsung, sehingga risiko gangguan ekosistem dapat ditekan. Inilah revolusi pemantauan biodiversitas, di mana teknologi berperan sebagai penjaga senyap keanekaragaman hayati.

Lebih dari sekadar alat pemantauan, teknologi ini adalah peramal ekosistem masa depan. Algoritma canggih membaca pola migrasi dan perubahan habitat, memungkinkan konservasionis bertindak sebelum ancaman nyata terjadi. Di perairan tropis Indonesia, teknologi ini berhasil mendeteksi spesies invasif seperti ikan lionfish, sehingga nelayan dapat bertindak cepat untuk mencegah kerusakan terumbu karang. Pada 2022, proyek serupa di Amazon meningkatkan deteksi spesies langka hingga 40% hanya dalam enam bulan. Inisiatif ini membuktikan bahwa prediksi berbasis data mampu mencegah bencana ekologis dan menjaga keseimbangan alam.

Lebih menarik lagi, teknologi ini merangkul komunitas lokal sebagai bagian dari solusi. Di desa-desa sekitar Taman Nasional Ujung Kulon, siswa sekolah dasar mengikuti program "Mengenal Satwa Lewat Data," memantau pergerakan badak Jawa melalui aplikasi yang terhubung dengan sensor eDNA. Edukasi ini bukan sekadar teori, melainkan pengalaman langsung yang membentuk kesadaran generasi muda akan pentingnya menjaga alam. Teknologi menjadi jembatan yang menghubungkan sains dengan masyarakat, memperkuat ikatan manusia dan alam.

Pada akhirnya, sensor ini bukan sekadar perangkat keras, melainkan simbol harapan bagi masa depan planet. Setiap data yang dikirimkan adalah panggilan diam untuk bertindak, mengingatkan kita bahwa ekosistem bisa runtuh kapan saja jika tidak dijaga dengan serius. Di tengah perubahan iklim yang kian tak terduga, kolaborasi antara teknologi, komunitas lokal, dan ilmuwan menjadi kunci menyelamatkan spesies yang berada di ambang kepunahan. Inovasi ini adalah bukti bahwa sains dan teknologi memiliki kekuatan untuk membangun masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan, sebagai warisan untuk generasi mendatang.

  • Biorock Terbang

Biorock terbang, inovasi yang menggabungkan drone laut dan elektro-mineralisasi, kini menjadi harapan baru dalam menyelamatkan terumbu karang yang terancam. Teknologi ini memungkinkan drone bawah laut menyebarkan arus listrik ringan, mempercepat pertumbuhan karang hingga lima kali lebih cepat dibandingkan cara alami. Drone ini dirancang untuk bergerak mandiri menggunakan tenaga ombak, menjangkau area terumbu yang sulit diakses manusia. Uji coba di perairan Bali menunjukkan hasil luar biasa---ketahanan karang terhadap bleaching meningkat hingga 50%. Keberhasilan ini membawa secercah harapan bagi konservasi terumbu karang di Indonesia dan dunia dengan cara yang minim intervensi langsung dan berkelanjutan.

Lebih dari sekadar inovasi teknologi, biorock terbang adalah simbol kolaborasi antara manusia dan alam. Tim ilmuwan kelautan dan insinyur robotik memanfaatkan arus listrik untuk memicu presipitasi mineral, menciptakan fondasi kuat bagi tumbuhnya karang baru. Dalam satu tahun, karang dapat tumbuh hingga 5 cm---lompatan besar dibandingkan pertumbuhan alami sekitar 1 cm. Proyek serupa di Maladewa sukses membangun "hutan karang" mini dalam dua tahun, menciptakan habitat baru bagi ratusan spesies ikan. Dampaknya tidak hanya terlihat pada ekosistem, tetapi juga membuka peluang pariwisata bahari dan ekonomi pesisir.

Namun, implementasi skala besar masih menghadapi tantangan. Biaya produksi drone dan material ramah lingkungan menjadi hambatan utama. Untuk mengatasinya, para peneliti mengembangkan drone berbasis bio-plastik dan logam daur ulang yang terurai secara alami jika rusak di laut. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengalokasikan dana untuk pilot project di Kepulauan Seribu, dengan target merehabilitasi 30% terumbu karang rusak dalam lima tahun. Jika proyek ini berhasil, Indonesia berpotensi menjadi pionir teknologi restorasi terumbu karang global.

Biorock terbang bukan sekadar solusi teknis, melainkan harapan bagi ekosistem laut masa depan. Di tengah ancaman perubahan iklim, inovasi ini membuktikan bahwa teknologi bisa menjadi sekutu alam. Seperti drone yang menari di bawah laut, manusia harus beradaptasi dan menghadapi tantangan lingkungan dengan kreativitas dan keteguhan. Karang yang tumbuh kembali adalah bukti bahwa upaya kecil, bila dilakukan secara konsisten dan inovatif, mampu melahirkan perubahan besar.

  • Blockchain Ekosistem

Di bawah rimbunnya hutan Kalimantan, blockchain menjadi perisai digital yang melindungi alam. Teknologi ini, yang sering dikaitkan dengan kripto, kini bertransformasi menjadi alat pelestarian hutan dan satwa. Setiap hektar hutan dan spesies langka di Indonesia dapat diwakili dalam bentuk token digital, membuka pintu bagi investor global yang ingin berkontribusi langsung pada upaya konservasi.

Tokenisasi ini menciptakan model konservasi yang inklusif dan berkelanjutan. Masyarakat lokal, yang selama ini menjadi garda terdepan dalam menjaga hutan, menerima bagian langsung dari keberhasilan program ini. Ketika nilai token meningkat seiring suksesnya konservasi, mereka mendapatkan insentif finansial yang dapat digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pengembangan komunitas. Ini bukan sekadar proyek teknologi, melainkan jalan baru yang memberdayakan masyarakat yang dekat dengan alam.

Blockchain juga membawa harapan baru dalam memerangi pembalakan liar dan perburuan satwa. Setiap aktivitas konservasi tercatat dan tidak dapat diubah, memastikan transparansi dan akuntabilitas tinggi. Dengan sistem ini, masyarakat melihat bahwa menjaga hutan lebih menguntungkan daripada menebangnya, mengubah paradigma perlindungan alam. Ekonomi sirkular ini menciptakan rantai nilai yang saling menguntungkan antara manusia dan lingkungan.

Konservasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau ilmuwan, tetapi tanggung jawab kita semua. Forum Bumi menegaskan bahwa kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia. Akademisi, pemerintah, komunitas lokal, dan sektor swasta perlu berjalan beriringan.

Program seperti "Mengenal Satwa Lewat Data" di Taman Nasional Ujung Kulon, yang melibatkan siswa sekolah dasar dalam memantau badak Jawa, membuktikan bahwa edukasi sejak dini adalah langkah strategis dalam membangun generasi yang peduli terhadap lingkungan.

Tulisan ini bukan sekadar narasi kepunahan, tetapi panggilan untuk bertindak. Seperti yang disampaikan dalam Forum Bumi oleh Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, hilangnya spesies dan ekosistem adalah krisis global yang membutuhkan respons cepat.

Kita masih memiliki waktu untuk mencegah kepunahan, tetapi tindakan harus dimulai sekarang. Dengan teknologi, kolaborasi, dan kesadaran bersama, kita dapat menjaga keanekaragaman hayati Indonesia sebagai warisan berharga untuk generasi mendatang.

Jika bukan kita yang menjaga alam ini, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?

Daftar Pustaka

Balai Kliring Keanekaragaman Hayati. (2023). Keanekaragaman Hayati Indonesia. Retrieved from Balai Kliring Keanekaragaman Hayati Indonesia: https://balaikliringkehati.menlhk.go.id/ikhtisar-kehati-2024/#:~:text=Fauna%20endemis%20Indonesia%20berjumlah%20masing,amphibia%2C%20dan%20280%20jenis%20ikan.

forestation.fkt. (2022, Mei 8). Ancaman Kepunahan Burung Di Indonesia. Retrieved from Forestation FKT UGM: https://forestation.fkt.ugm.ac.id/2022/05/08/ancaman-kepunahan-burung-di-indonesia/

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2023, Juni 26). Laju Deforestasi Indonesia Tahun 2021-2022 Turun 84%. Retrieved from Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK): https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/7243/laju-deforestasi-indonesia-tahun-2021-2022-turun-84

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2023, Desember 28). Keanekaragaman Hayati dan Potensi Pengembangan Bioprospeksi di Indonesia. Retrieved from Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan: https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/7567/keanekaragaman-hayati-dan-potensi-pengembangan-bioprospeksi-di-indonesia

Litha, Y. (2023, Juni 10). Indonesia Jadi Negara dengan Spesies Burung Endemis Terbanyak di Dunia. Retrieved from VOA Indonesia: https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-jadi-negara-dengan-spesies-burung-endemis-terbanyak-di-dunia/7131406.html

Setiawan, A. (2022). Keanekaragaman Hayati Indonesia: Masalah dan Upaya Konservasinya. Indonesian Journal of Conservation.

Wicaksono, R. A. (2024, November 6). 4 dari Tiap 10 Jenis Pohon di Dunia Terancam Punah: IUCN. Retrieved from BETAHITA: https://betahita.id/news/lipsus/10678/4-dari-tiap-10-jenis-pohon-di-dunia-terancam-punah-iucn.html?v=1730870122#:~:text=Penulis%20:%20Raden%20Ariyo%20Wicaksono,ada%20pohon%20dalam%20daftar%20merah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun