Teori ekologi media berasumsi bahwa media komunikasi bukan sebagai media yang bebas nilai dalam menyampaikan informasi, setiap media memiliki karakteristik nya masing -- masing yang dapat merubah sebuah pesan diterima oleh penggunanya.Â
Dalam hal ini, media sosial sebagai media komunikasi yang memiliki fitur algoritma menciptakan karakteristik yaitu ruang gema (echo chamber) sehingga pesan yang diterima pengguna berbeda -- beda berdasarkan algoritma nya. Untuk itu, benar apa yang dikatakan teori ini bahwa penguasaan pengguna terhadap karakteristik setiap media komunikasi menjadi hal yang wajib agar pengguna tidak terlena dengan sistem.
Generasi Z sebagai digital native perlu menguasai karakteristik media sosial terutama pengetahuan akan fitur bubble (algoritma). Generasi Z harus paham bahwa adanya algoritma akan menciptakan echo chamber dalam dirinya yang akan menjauhkan dirinya dengan informasi yang tak sesuai rekam jejak kata kunci miliknya. Situasi ini dapat menimbulkan sebuah konfirmasi bias dan fanatisme.Â
Apabila kita kaji dalam teori psikologi, konfirmasi bias adalah kondisi dimana pengguna menemukan informasi yang memperkuat keyakinan dan sikap mereka sebelumnya.
Korban konfirmasi bias akan cenderung lebih mencari dan mengutamakan bukti/opini yang sesuai dengan nya daripada yang menentang dengan nya. Pemikiran ini akan menimbulkan sikap untuk berinteraksi dengan kelompok -- kelompok tertentu ( in group). Dalam konteks fitur bubble dam media sosial menurut Modgli (2024) platform ini memfasilitasi konfirmasi bias dan semakin mudah untuk memberdayakan kelompok -- kelompok yang terpolarisasi.
Tantangan generasi Z dalam menjalin interaksi di media sosial cukuplah besar terutama ketika media sosial dapat menjadi wadah terjadi nya polarisasi masyarakat digital. Generasi Z sebagai pengguna media sosial terbanyak dan rentan akan berita hoax akan menjadi sasaran empuk sebagai korban polarisasi.Â
Ditambah lagi, fitur algoritma dalam media sosial memperkuat polarisasi di media sosial. Algoritma yang secara sistematis mengatur konten/pesan media agar sesuai dengan keinginan pengguna dapat menciptakan ruang gema yang akhirnya menggerogoti logika kritis pengguna.
Pengguna yang terlanjur tak kritis dan termakan bias informasi akhirnya menciptakan konfirmasi bias dan akhirnya terjadi polarisasi. Konfirmasi bias pengguna akan menutup idealis media sosial sebagai ruang publik, dimana media sosial harus menjadi ruang netral dan menjunjung tinggi hak ekspresi para pengguna.Â
Adanya konfirmasi bias nampaknya mengurung hak berekspresi secara setara kerena pengguna sendiri enggan mendengarkan atau berinteraksi dengan orang lain ketika mereka berbeda pendapat. Akhirnya, interaksi media sosial akan terbentuk berdasarkan kubu -- kubu dan ujung nya akan terpolarisasi. Antar kubu tidak akan mendapatkan konsesus karena kubu tersebut terbentuk dari konfirmasi bias.
Selain itu, berita hoax juga menjadi tantangan yang harus diwaspadai generasi Z dalam berintekasi di media sosial. Hal ini karena, akar dari polarisasi bisa berasal dari ruang gema berita hoax yang akhirnya marak dan membentuk sebuah kelompok percaya berita hoax.
 Jangan sampai, generasi Z termakan ruang gema berita hoax tersebut. Generasi Z harus selalu kritis dan meningkatkan kemahiran dalam menggunakan media sosial agar dapat hidup berdampingan dengan media.