Mohon tunggu...
Rusyd Al Falasifah
Rusyd Al Falasifah Mohon Tunggu... Belum Bekerja -

Pemerhati kekacauan pemahaman terhadap agama, filsafat, dan kegiatan keilmuan. Minat dibidang agama Islam, pendidikan, ilmu umum, filsafat, sosiologi, dan metodologi. Email: rusydalfalasifah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Neo "The One", Rene Descartes dan Metode Berpikir Rasional

25 Juli 2016   10:17 Diperbarui: 25 Juli 2016   10:28 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Neo The One. (powerlisting.wikia.com)

Judul tulisan ini saya buat memang cukup unik. Tapi bukan tanpa alasan. Sebab memang ada sesuatu yang ingin saya hubungkan antara Neo dalam film The Matrix dengan perjuangan Rene Descartes. Tapi tujuan utama saya bukan menceritakan kesamaannya, melainkan memaparkan karya menarik yang jarang sekali dimiliki oleh banyak orang hingga kini secara menyeluruh dan rasional --mungkin ini juga menjadi alasan kenapa muncul kerancuan dan ketidakjelasan di masyarakat dalam merumuskan solusi. Karya itu saya istilahkan sebagai "Metode Berpikir Rasional". 

Bagi saya, metode berpikir ini memiliki banyak manfaat yang bisa memberikan kita penyelesaian masalah yang kualitatif tetapi mendekati benar atau bahkan benar. Layaknya metode dalam ilmu/sains. Satu hal yang perlu di ingat: judul ini nggak guyon! hehe... dan bahasanya saya ringankan.

Kesamaan Neo The One dan Rene Descartes

Siapa yang tidak tau film The Matrix? ya siapa saja yang belum nonton dan belum pernah dengar namanya hehe. Kalau kamu adalah salah satu orang yang tidak tau apa-apa soal film The Matrix, saya bisa gambarkan lebih singkat.

Jadi pada dasarnya dalam film itu, manusia digambarkan sebagai obyek yang hidupnya berada dibawah aturan super computer. Artinya, segala pengalaman yang dia rasakan, baik itu berkebun, menulis, melihat, menyapa kawan yang sedang berolah-raga dan lainnya adalah ilusi. Mereka tidak nyata. Mereka hanya sedemikian informasi yang di-setting oleh super computer. Akan tetapi, sederet pengalaman itu tentunya merangsang perasaan manusia dan memberikan gairah kepada perasaan mereka. Kebahagiaan. Kenikmatan. Haru. Duka. Sehingga nampak berwarna. Jadi, sekalipun mereka tau bahwa kehidupan yang mereka alami adalah ilusi, namun mereka tidak mau keluar dari sana. Sebab kebahagiaan yang mereka peroleh begitu terasa. 

Tapi Neo dan teman-temannya sadar akan itu. Dia mencoba untuk tidak dikendalikan dalam dunia ilusi tersebut untuk memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan; kebenaran bahwa ini hanyalah ilusi. Demikian pula halnya dengan Rene Descartes yang menganggap bahwa dunia ini adalah ilusi semata. Tak ada kenyataan selain fakta bahwa aku berpikir. Therefore, Cogito Ergo Sum! Saya berpikir, maka saya ada!

Ya, ada kesamaan antara gagasan inti milik The Matrix dengan Rene Descartes. Bedanya, keduanya memiliki pengaruh yang berbeda. Kalau The Matrix banyak mendapatkan apresiasi di jaman kita, sebaliknya, Rene mendapatkan komentar "Ngomong opo se, kon iku gak jelas" ("kamu ngomong apa sih, kok gak jelas")

Sebuah Gagasan Berproses Pelik!

Sebagian orang yang "berpegang-kepada-kebahagiaan-dunia" mencemooh gagasan Rene. Meskipun demikian, kadang bagi saya terdengar lucu haha. Memang lucu sih... Misalnya ini:

Rene menghilang. Via blogspot.com
Rene menghilang. Via blogspot.com
Tapi gagasan ini tidak tiba-tiba muncul sehingga Neo bisa ada dan mengemasnya lebih baik. Ada proses pelik di balik "eksisnya" gagasan "Cogito Ergo Sum" yang mempengaruhi Epistemologi dalam ilmu. Rasionalisme, maksud saya.

Crash Course Philosophy menggambarkan perenungan rene dengan cara yang lebih ringan. Dalam bagian "Flash Philosophy", perenungan Rene digambarkan sebagai sebuah sikap meragukan sekeranjang apel. Setiap apel mewakili kepercayaan Rene, dan keranjang mewakili kapasitas kepercayaan yang dipilihnya. Nah, melalui keragu-raguannya itu dia mengeluarkan kembali semua apelnya dan melakukan "inspeksi mendadak" terhadap mereka untuk memeriksa manakah yang benar-benar merupakan apel sehingga bisa dimasukkannya ke dalam keranjang.

Louis menceritakan ini lebih baik. Menurutnya, Descartes merasa tidak nyaman dengan kepercayaan yang sudah dia percayai semenjak kecil. Sebab ternyata, tidak semua yang dia percaya itu rasional, bahkan tidak semuanya berpendasaran!

Rumusan masalah yang dia hadapi adalah, bagaimana caranya agar dia bisa membedakan mana kepercayaan yang benar dan yang salah. Setelah banyak melakukan perenungan, ternyata dia menemukan bahwa satu-satunya hal yang benar, tidak bisa bisa diragukan dan pasti adalah fakta bahwa "saya berpikir". Sedangkan fakta ini adalah satu-satunya yang benar dan ada pada "diri saya" sehingga bisa dipercaya. Oleh sebab itu, satu-satunya fakta adalah "diri saya" sebagai "makhluk berpikir", sehingga "diri saya" yang sesungguhnya adalah "pikiran saya"; "saya berpikir maka saya ada".

Namun sekali lagi, gagasan ini tidak muncul tiba-tiba, seperti gagasan saintis yang menggemparkan jagad raya bahwa segala sesuatu ini muncul tanpa alasan. Ada metode berpikir unik yang patut kita contoh dalam memecahkan masalah dan memahami suatu hal secara komprehensif dan analitis. Meskipun, ada beberapa tambahan dari Louis, seorang yang analitis juga.

Metode Berpikir Rasional Ala Rene dan Louis

Langkah pertama adalah merumuskan masalah. Langkah ini sangatlah lazim di dengungkan, apalagi dalam masalah penelitian ilmiah yang biasanya di umumkan dipelajaran biologi kelas X SMA. Tetapi, apa fungsinya dalam memecahkan masalah? Dalam perenungannya, Rene menggunakan ini untuk membatasi diri dalam berpikir. Artinya, ketika dia mencoba memecahkan masalah, maka dia akan terfokus kepada makna masing-masing istilah dalam rumusan masalah dan menyatakannya dalam asumsi-asumsi atau data-data. Oleh sebab itu, ketika Rene sudah memahami betul apa masalahnya, maka dia mencari tau segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melakukan perenungan. Data-data, asumsi, dan lain sebagainya.

Penggunaan real-nya ada pada artikel saya tentang respon terhadap gagasan "Numbers Academy" tentang sejalannya agama atau tidak dengan sains. Saya biasa melakukannya dengan wujud mengajukan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang menjurus dan bersifat memastikan (bukan "kemungkinan" seperti analogi dan lainnya). Ini saya istilahkan sebagai menyusun kerangka berpikir.

Dari sana, maka dia berlanjut kepada langkah kedua, yaitu memproses masing-masing informasi yang perlu di dapatkannya secara rasional. Langkah kedua ini teknisnya di sesuaikan dengan masalah. Dalam perenungan Rene, teknisnya dilaksanakan dengan cara memahami ulang masing-masing kepercayaan. Lebih detilnya, dia tidak hanya memeriksa kepercayaan, melainkan juga memeriksa asumsi-asumsi yang terkait dengan masalah. Menurutnya, perenung (filsuf) tidak boleh tergelincir dalam asumsi-asumsi yang sudah melekat pada masalah. Sebaliknya, perenung harus lepas dari sana dan kembali memeriksa asumsi tersebut. Oleh sebab itu, prasangka dan tergesa-gesa adalah sikap yang sangat harus dihindari.

Hasil dari langkah kedua adalah kepercayaan yang tidak bisa dipercayai kembali. Namun namanya juga manusia, bisa saja ada data-data yang terlewat. Oleh sebab itu, langkah ketiga adalah membandingkan hasil langkah kedua yang kita miliki dengan orang lain. Rene mungkin tidak melakukan hal ini. Tapi menurut Louis, peran langkah ini cukup penting untuk menghindari kecacatan logika yang tanpa sadar dilakukan dan dasar-dasar yang masih kurang kuat yang mendasari hasil dari langkah kedua. Dalam langkah ini juga diperlukan bagi kita untuk memeriksa mana pendapat yang relevan dengan gagasan kita. Kadang, ada gagasan yang mencoba menyanggah atau menganggap kita salah, tapi sebenarnya irrelevant. 

Langkah keempat adalah mengajukan penyelesaian. Tentu, puncak dari perenungan rene adalah kepercayaan yang bisa dipercayainya sebab "yang-tidak-bisa-dipercaya" sudah dibahas. Louis lebih suka mengistilahkan langkah ini sebagai pengajuan hipotesis. Entah kenapa. 

Mengajukan penyelesaian itu seperti mengajukan solusi yang sudah terpikirkan. Artinya, Rene sudah tau apa yang bisa dia percayai; dia sudah berkesimpulan "cogito ergo sum". Hanya saja dalam penyampaiannya diperlukan untuk memperjelas alasannya kenapa hal tersebut bisa dipercaya. Maka dia memulainya dengan mendefisinikan makna dari "aku" atau "diri". Kemudian dia menunjukan apa bukti-bukti yang memperkuat penyelesaian tadi. Misalnya, jika dia mempertanyakan penyelasian tadi maka sejatinya dia sekaligus memperkuat penyelesaian tadi. Sebab mempertanyakan adalah kegiatan dari berpikir, dan yang dipertanyakan adalah apakah berpikir itu benar-benar bisa dipercaya. Sehingga, mempertanyakan atau meragukan sama saja dengan memperkuat kenyataan bahwa "saya berpikir".

Akhirnya dia mendeduksikan bahwa satu-satunya kenyataan yang bisa dipecaya adalah kenyataan bahwa saya berpikir. Sebab itu, saya berpikir maka saya ada.

Langkah berikutnya adalah menguji penyelesaian. Metode yang bisa digunakan dalam mengujinya adalah metode direct dan metode indirect, yang juga lazim digunakan dalam sains. Metode direct adalah pengujian yang dilakukan dengan cara observasi langsung. Sedangkan metode indirect adalah metode berasarkan hukum kontradiksi. Jika ada data yang benar yang kontradiksi dengan penyelesaian tadi, sedangkan data itu berkaitan erat juga dengan bagian rumusan masalah, maka penyelesaian tadi gagal uji.

Terakhir, melakukan penyimpulan. Sederhana. Kembali memahami masalah dan memberikan penyelasaian yang paling tepat berdasarkan tahap-tahap yang sudah dilewati. Penyimpulan ini akan lebih kuat dan teruji secara metode. Namun, jika dilihat dari keseluruhan, kebenaran penyimpulan dilihat dari teknis-teknis si pemakai dalam metodenya.

Akhir Kata

Dibalik gagasan yang kontroversial, ternyata ada sebuah karya tersembunyi yang tidak banyak diketahui orang lain. Karya ini merupakan susunan metode yang sangat sistematis dan baik untuk digunakan dalam memecahkan masalah kualitatif. Sama halnya dengan sains, persepsi "tergantung orangnya" atau "subyektif" kepada masalah kualitatif bisa terkikis, setidaknya pada masalah-masalah yang benar-benar bisa dipastikan.

Dengan metode inilah pikiran manusia, setidaknya bagi saya, akan bisa lebih lurus dalam mencapai kesimpulan. Namanya juga metode, hanya menyediakan peta. Berikut teknisnya kan bisa diserahkan kepada penggunanya. Kalau dalam teknisnya salah tetap saja akan bernilai salah. Seperti halnya metode-metode yang lainnya. Nature of method.

Inilah pendapat saya. Bagaimana denganmu? Mungkin kamu memiliki gagasan yang lebih menarik :) bisa dituliskan di komentar...

Sumber:

  1. Kattsoff, Louis O. 1992. Pengantar Filsafat. (Alih bahasa oleh Soejono Soemargo). Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.
  2. Numbers Academy: Sains vs Agama
  3. Crash Course Philosophy: Cartesian Sceptism - Neo meet Rene

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun