Mohon tunggu...
Rusyd Al Falasifah
Rusyd Al Falasifah Mohon Tunggu... Belum Bekerja -

Pemerhati kekacauan pemahaman terhadap agama, filsafat, dan kegiatan keilmuan. Minat dibidang agama Islam, pendidikan, ilmu umum, filsafat, sosiologi, dan metodologi. Email: rusydalfalasifah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rudy Habibie: Semangat Bercita-cita dan Paradoks "Menyamakan Perbedaan"

22 Juli 2016   07:21 Diperbarui: 22 Juli 2016   07:40 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rudy memecahkan masalah kecelakaan pesawat. Sumber: Detik(dot)Com

Tapi dia sadar jika ingin meraih cita-cita di dalam peradaban manusia, maka dia tidak bisa bekerja sendiri. Maka dia membutuhkan teman-teman yang se-visi dengannya. Bermodalkan prinsip dari Ayahnya: "Jadilah mata air. Kalau kamu baik, di sekelilingmu akan baik. Tapi kalau kamu tak baik, di sekitarmu pasti kotor." maka Rudy menjalin pertemanannya dengan baik. Dia meyakinkan teman-temannya bahwa visi yang dia miliki memang pantas untuk dijadikan visi organisasi PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) saat itu.

Pelajaran ketiga, hambatan akan selalu ada dalam setiap perjuangan dan kita perlu konsisten untuk meraih cita-cita. Untuk itu, maka motivasi kita harus kuat dan mengakar. Dalam film ini ada dua yang menjadi hambatan, yaitu orang lain yang bertolak belakang pahamnya, dan seorang gadis yang dicintai dan mencintai Rudy. Ketika Rudy menggagaskan visinya di hadapan anggota PPI, banyak anggotanya yang menolak dan meninggalkannya dengan cara yang tidak sopan. Menganggap Rudy terlalu serius, tidak have fun. Menganggap Rudy terlalu mementingkan diri sendiri. Tapi sebenarnya kalau opini saya, gagasan Rudy bagus untuk membangun nasib Indonesia di masa mendatang. Dan Hey, belajar dan berorganisasi itu bukan untuk bersenang-senang! Kecuali, visi organisasi adalah bersenang-senang.

Namun Rudy tetap PeDe dengan gagasannya dan melanjutkan visinya bersama teman-temannya yang mau berjuang. Meskipun bantuannya hanya sedikit, tapi kualitas perjuangan mereka sangat baik!

Lebih dari itu, beberapa orang yang bertolak paham dengannya justru menyerang Rudy secara psikis dan fisik. Bukannya malah bersikap secara intelektual, mereka justru menjadi anak-anak labil yang baru saja meneguk cukrik. Berkali-kali Rudy diserang, bahkan diancam dengan pistol. Tetapi Rudy membalas mereka dengan argumentasi perjuangan, perwujudan konkret dari jalan-jalan karirnya, dan semangatnya untuk terus konsisten dijalan perjuangan itu. Akhirnya, perlawanan itu berhasil ditekan juga.

Akan tetapi nampaknya yang menyebabkannya hingga menangis dan dilema dalam jalan perjuangan adalah gadis yang dicintainya. Mungkin ini menjadi salah satu masalah yang cukup pelik ya, apalagi salah satu fitrah dasar kita adalah mencintai seseorang. Bukanlah tidak mungkin bagi kita untuk lepas dari jalan meraih cita-cita hanya karena cinta! Jika saja motivasi Rudy tidak begitu mengakar dan kuat, maka mudah saja bagi Rudy untuk melupakan agama, dan cita-citanya!  

Namanya juga berjuang dalam meraih tujuan, pasti ada hambatannya. Seperti kata Ibu Rudy: "Jadi mata air itu susah. Air keruh kalau diaduk-aduk malah makin keruh. Makanya, kamu harus sabar menjalani (cobaan) hidup."

Paradoks "Menyamakan Perbedaan" dan Stigma Perbedaan

Dalam bagian tertentu ketika Rudy selesai shalat, dia di datangi oleh Romo. Ya, Romo, status yang sama dengan pendeta (menurut informasi Romo dalam film itu). Mereka berdua berbincang dengan kesimpulan, bahwa andaikata semua orang punya pikiran yang sama dengan Rudy Habibie, maka sebenarnya tempat peribadahan yang berbeda-beda tidaklah lagi diperlukan. Artinya, ya, sebenarnya umat-umat yang berbeda agama boleh beribadah di satu tempat yang sama. 

Nah, inilah yang sebut sebagai Paradoks "Menyamakan Perbedaan", dimana yang sebenarnya benar-benar berbeda justru disama-samakan. Membedakan tempat peribadahan sebenarnya merupakan "Perilaku dan Hasil", bukan? Dan seperti tulisan saya sebelumnya, bahwa setiap "Perilaku dan Hasil" memiliki dasar tertentu. Maka, perbedaan tempat beribadah juga memiliki dasar-dasar tertentu yang benar-benar berbeda. Tak bisa dikatakan dan dilaksanakan dengan sama. (Pemahaman ini saya kutip dari "Sumber I")

Seperti ketika kamu melakukan peribadahan, maka jelas teknisnya berbeda. Dan jelas, maknanya berbeda. Efek psikologis masing-masing pelaksanaan keagamaan juga berbeda. Antara shalat dengan bertapa jelas berbeda. Dari ciri khas saja sudah berbeda. Maka janganlah disama-samakan. Yang berbeda, ya berbeda! 

Jangan anti dengan perbedaan! Perbedaan bukan berarti menjadi asal mula perpecahan. Asal mula perpecahan adalah ketika seseorang terlalu berambisi dengan keinginan serta emosinya, sehingga dia lupa mana yang benar dan yang salah. Akhirnya, yang menjadi dasar pergerakannya bukanlah kebenaran. Jika sudah begitu, dia akan menjadi bebal dengan kebenaran dan bahkan bisa menjadi seorang yang berada di garis keras. Nah, inilah yang masalah. Inilah awal mula perpecahan.

Perpecahan bukan terjadi karena perbedaan, sebab perbedaan masih bisa dibimbing dan diluruskan. Perpecahan terjadi karena kebebalan terhadap ide-ide lain. Sehingga, ketika menemukan ide yang berbeda, responnya bukan berdiskusi dan mengambil pelajaran, melainkan pertengkaran, tidak hormat, dan fitnah! Seperti di film tadi. Hina coy...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun