Siang itu (21/7), saya bersama teman-teman setia berhijrah ke salah satu Mall yang cukup besar di Surabaya. Rasa rindu terhadap tempat ini langsung terobati, sebab sudah lebih dari 4 tahun lamanya saya tidak kesana. Ternyata banyak perubahannya ya. Eits, tapi tujuan kami kesana bukan untuk menanyakan kabar dan mengukur seberapa sesaknya gedung itu sekarang.Â
Kami datang untuk melihat dan memahami kisah seorang Rudy Habibie yang katanya bisa diambil banyak pelajaran darinya untuk berkarir. Sinopsis tersingkat yang pernah saya ketahui itu akhirnya menggairahkan rasa penasaran saya, meski pada saat itu sedang sakit. Ya, biasalah, flu-batuk-panas... Tapi semangat saya untuk belajar dari Rudy begitu membara sehingga sakit ini tiada berarti yang besar!Â
Bagaimana denganmu? Apakah kamu juga sudah tertarik untuk menonton filmnya?Â
Setelah saya menonton, ternyata film ini pantas untuk diberi tepuk tangan dan sorakan: "Wow, such a very good film! Still better than Twillight!". Ya, artinya, bagi saya ini begitu bernilai top. Penilaian saya didasarkan kepada perbandingan film ini dengan film-film Indonesia yang lainnya yang khas dengan sekedar cinta-cintaan, kegalauan, cinta mati atau kalau tidak begitu ya humor-sensual dan horor-sensual. Saya sampai muak dengan film-film yang demikian itu.Â
Tapi, film ini berbeda. Sekali lagi, FILM INI BERBEDA. Apakah yang membuatnya berbeda?
Pertama, film ini tidak di dominasi dengan percintaan. Justru, percintaan disini dijadikan sebagai salah satu bukti betapa semangatnya perjuangan seorang Rudy untuk mencapai cita-citanya. Kedua, film ini membawa gagasan "unik" yang mencoba untuk megkritisi pemikiran saya dan orang lain, kiranya. Bagi saya sendiri, gagasan ini adalah paradoks. Berikut saya uraikan keduanya.
Semangat Perjuangan Dalam Meraih Cita-citaÂ
Rudy Habibie adalah seorang yang jenius dan tegas untuk memilah antara yang benar dan yang salah. Cara berkomunikasinya yang khas itu membuat saya semakin mengagumi sosoknya. Akan tetapi, dibalik sosok yang demikian bagus itu, dia memiliki kekurangan. Dia tidak mudah mengendalikan emosinya. Wajar saja, tekanannya dalam meraih cita-cita memang besar. Namun bukan berarti tidak ada pelajaran yang bisa mengingatkan dan menambah wawasan saya di dalamnya. Justru banyak pelajaran yang bisa saya dapatkan darisana! Khususnya masalah usaha meraih cita-cita.
Pelajaran yang pertama yang bisa di dapat dari sini berasal dari dosen dan Rudy. Seorang dosen yang megajar Rudy ketika dikelas bertanya, "apakah yang terpenting dari aerodinamika?". Bagi rudy, yang terpenting adalah kalkulasi. Tapi bagi dosen, itu salah besar! Yang terpenting adalah bagaimana ilmu kita bisa memecahkan masalah yang ada. Masalah yang real ada di masyarakat saat itu.Â
Jadi, ilmu bukan untuk bekerja mencari uang, bukan juga untuk sekedar keilmuan. Justru, ilmu itu hadir untuk perubahan. Untuk masyarakat. Untuk mengadakan pembangunan. Jadi, jika pencarian kompetensi ditujukan untuk meraih karir, maka karir yang kita hendak wujudkan harusnya memberikan efek yang nyata bagi peradaban manusia. Khususnya, bangsa kita sendiri. Jika karirnya tidak ditujukan untuk membawa perubahan, maka sebenarnya dia sudah mengingkari ilmu, bangsa, dan bahkan Tuhan. Jadilah dia buah simalakama.
Tujuannya apa? membuang hal-hal yang tidak dibutuhkan dalam meraih cita-cita.
Tapi dia sadar jika ingin meraih cita-cita di dalam peradaban manusia, maka dia tidak bisa bekerja sendiri. Maka dia membutuhkan teman-teman yang se-visi dengannya. Bermodalkan prinsip dari Ayahnya: "Jadilah mata air. Kalau kamu baik, di sekelilingmu akan baik. Tapi kalau kamu tak baik, di sekitarmu pasti kotor." maka Rudy menjalin pertemanannya dengan baik. Dia meyakinkan teman-temannya bahwa visi yang dia miliki memang pantas untuk dijadikan visi organisasi PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) saat itu.
Pelajaran ketiga, hambatan akan selalu ada dalam setiap perjuangan dan kita perlu konsisten untuk meraih cita-cita. Untuk itu, maka motivasi kita harus kuat dan mengakar. Dalam film ini ada dua yang menjadi hambatan, yaitu orang lain yang bertolak belakang pahamnya, dan seorang gadis yang dicintai dan mencintai Rudy. Ketika Rudy menggagaskan visinya di hadapan anggota PPI, banyak anggotanya yang menolak dan meninggalkannya dengan cara yang tidak sopan. Menganggap Rudy terlalu serius, tidak have fun. Menganggap Rudy terlalu mementingkan diri sendiri. Tapi sebenarnya kalau opini saya, gagasan Rudy bagus untuk membangun nasib Indonesia di masa mendatang. Dan Hey, belajar dan berorganisasi itu bukan untuk bersenang-senang! Kecuali, visi organisasi adalah bersenang-senang.
Namun Rudy tetap PeDe dengan gagasannya dan melanjutkan visinya bersama teman-temannya yang mau berjuang. Meskipun bantuannya hanya sedikit, tapi kualitas perjuangan mereka sangat baik!
Lebih dari itu, beberapa orang yang bertolak paham dengannya justru menyerang Rudy secara psikis dan fisik. Bukannya malah bersikap secara intelektual, mereka justru menjadi anak-anak labil yang baru saja meneguk cukrik. Berkali-kali Rudy diserang, bahkan diancam dengan pistol. Tetapi Rudy membalas mereka dengan argumentasi perjuangan, perwujudan konkret dari jalan-jalan karirnya, dan semangatnya untuk terus konsisten dijalan perjuangan itu. Akhirnya, perlawanan itu berhasil ditekan juga.
Akan tetapi nampaknya yang menyebabkannya hingga menangis dan dilema dalam jalan perjuangan adalah gadis yang dicintainya. Mungkin ini menjadi salah satu masalah yang cukup pelik ya, apalagi salah satu fitrah dasar kita adalah mencintai seseorang. Bukanlah tidak mungkin bagi kita untuk lepas dari jalan meraih cita-cita hanya karena cinta! Jika saja motivasi Rudy tidak begitu mengakar dan kuat, maka mudah saja bagi Rudy untuk melupakan agama, dan cita-citanya! Â
Namanya juga berjuang dalam meraih tujuan, pasti ada hambatannya. Seperti kata Ibu Rudy: "Jadi mata air itu susah. Air keruh kalau diaduk-aduk malah makin keruh. Makanya, kamu harus sabar menjalani (cobaan) hidup."
Paradoks "Menyamakan Perbedaan" dan Stigma Perbedaan
Dalam bagian tertentu ketika Rudy selesai shalat, dia di datangi oleh Romo. Ya, Romo, status yang sama dengan pendeta (menurut informasi Romo dalam film itu). Mereka berdua berbincang dengan kesimpulan, bahwa andaikata semua orang punya pikiran yang sama dengan Rudy Habibie, maka sebenarnya tempat peribadahan yang berbeda-beda tidaklah lagi diperlukan. Artinya, ya, sebenarnya umat-umat yang berbeda agama boleh beribadah di satu tempat yang sama.Â
Nah, inilah yang sebut sebagai Paradoks "Menyamakan Perbedaan", dimana yang sebenarnya benar-benar berbeda justru disama-samakan. Membedakan tempat peribadahan sebenarnya merupakan "Perilaku dan Hasil", bukan? Dan seperti tulisan saya sebelumnya, bahwa setiap "Perilaku dan Hasil" memiliki dasar tertentu. Maka, perbedaan tempat beribadah juga memiliki dasar-dasar tertentu yang benar-benar berbeda. Tak bisa dikatakan dan dilaksanakan dengan sama. (Pemahaman ini saya kutip dari "Sumber I")
Seperti ketika kamu melakukan peribadahan, maka jelas teknisnya berbeda. Dan jelas, maknanya berbeda. Efek psikologis masing-masing pelaksanaan keagamaan juga berbeda. Antara shalat dengan bertapa jelas berbeda. Dari ciri khas saja sudah berbeda. Maka janganlah disama-samakan. Yang berbeda, ya berbeda!Â
Jangan anti dengan perbedaan! Perbedaan bukan berarti menjadi asal mula perpecahan. Asal mula perpecahan adalah ketika seseorang terlalu berambisi dengan keinginan serta emosinya, sehingga dia lupa mana yang benar dan yang salah. Akhirnya, yang menjadi dasar pergerakannya bukanlah kebenaran. Jika sudah begitu, dia akan menjadi bebal dengan kebenaran dan bahkan bisa menjadi seorang yang berada di garis keras. Nah, inilah yang masalah. Inilah awal mula perpecahan.
Perpecahan bukan terjadi karena perbedaan, sebab perbedaan masih bisa dibimbing dan diluruskan. Perpecahan terjadi karena kebebalan terhadap ide-ide lain. Sehingga, ketika menemukan ide yang berbeda, responnya bukan berdiskusi dan mengambil pelajaran, melainkan pertengkaran, tidak hormat, dan fitnah! Seperti di film tadi. Hina coy...
Menjadi seorang yang fundamental dan fanatik itu tidak menjadi masalah, sebenarnya. Selama yang menjadi "fokus" fundamental dan fanatiknya adalah kebenaran. Artinya, jika ada gagasan yang lebih benar, maka bisa direvisi atau berubah pandangan. Jadi, silahkan kamu jadi seorang yang sangat agamis, selama kamu bersedia untuk terbuka dengan pemahaman lain. Ini bukan berarti ajaran agama yang dirubah-rubah. Ajaran agama, ya akan tetap sampai kapanpun akan sesuai dengan yang ada di teks keagamaannya. Justru usaha kita memahami teks keagamaan itulah yang perlu dibuka dan direvisi jika memang salah. (Pemahaman ini dikutip dari "Sumber II")Â
Masalah kita adalah "metode memahami teks ajaran agama" dan "hasil memahami teks ajaran agama".
Kesimpulan
(1) Film ini memberikan tiga pelajaran besar bagi saya sebagai pengejar cita-cita. Pertama, bahwa ilmu yang saya miliki itu untuk membawa perubahan dimasyarakat. Kedua, bahwa dalam meraih cita-cita, maka saya perlu membuat jalannya setepat mungkin sehingga konkret mengantarkan saya mencapai cita-cita. Bahkan saya perlu membedakan mana yang menjadi kebutuhan saya untuk berkarir dan yang bukan. Ketiga, bahwa dalam perjuangan menggapai cita-cita kita akan menemukan berbagai macam hambatan yang menjadi cobaan dan kita harus tetap konsisten agar bisa mencapai cita-cita. Cara agar konsisten adalah menekankan sekali motivasi dalam akal dan emosi.
(2) Perbedaan adalah perbedaan. Tidak pernah bisa disamakan. Namun perbedaan bukanlah sumber perpecahan. Sumber perpecahan adalah diri yang tidak menghiraukan kebenaran dan bebal. Jadi, jangan pernah menganggap semua agama adalah sama secara inti ajaran dan lainnya.
Begitu kiranya informasi-informasi yang dominan berada di kepala saya, setelah menonton film ini. Kalau kamu bagaimana? :)
(Rusyd Al-Falasifah)
Sumber Pemikiran:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H