Mohon tunggu...
Rusti Lisnawati
Rusti Lisnawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia yang senang dengan sesuatu yang berbau fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Er

31 Mei 2024   22:24 Diperbarui: 31 Mei 2024   23:15 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah hitungan yang kesekian, akhirnya tiba pada hitungan terakhir. Senang sekali karena sekarang dia sudah dalam hitungan jam. Ini bukan tentang apa-apa yang perlu dikhawatirkan, ini hanya kilas balik bulan Mei yang terasa berjalan sangat lambat melebihi siput. Padahal, sebelum bertandang ke bulan kelima dalam tahun Masehi, bulan April, berjalan ibarat angin ribut. Cepat tak terkendali.

Kata seorang psikolog, bulan Mei terasa lambat usai lantaran pada bulan ini Anda tidak punya uang. Bagaimana mau punya uang, kalau pengeluaran di bulan ini bejibun sedangkan pemasukan hanya berasal dari satu lubang dan gaji tidak naik. Adapun honor, selalu datang terlambat.

Omong-omong soal pemasukan dan pengeluaran, tiba-tiba saya jadi teringat sama Er. Anak perempuan yang saya temui di kedai Ah Kong sebelas tahun yang lalu. Waktu itu, dengan suaranya yang cempreng, Er berteriak penuh percaya diri membeli setengah liter telur.

Pelanggan Ah Kong sontak tertawa mendengar kepolosan Er. Beberapa pelanggan diam termenung menatap Er, yang pada itu cengar-cengir karena ia berhasil mengingat pesanan ibu.

"Setengah liter telur?" Ah Kong memastikan kalau telinganya tidak salah dengar. Anggukan kecil dari kepala Er menjawab keraguan yang semula mengerubungi Ah Kong.

Mata Ah Kong menatap pelanggan yang berdiri tidak jauh darinya. Seakan-akan, melalui interaksi mata, ia berkata seumur-umur berjualan di sini, baru kali ini ada pembeli yang membeli setengah liter telur.

"Ah Kong," Er memanggil pria tua keturunan Singapura dan Indonesia. Memperingatinya untuk segera bergerak mengambil setengah liter telur pesanan ibu. Er mau cepat. Tapi, Ah Kong masih bingung di tempat. Ia mencari cara membuat setengah liter telur dari setengah kilogram telur yang biasa dia jual.

Ah mungkin maksudnya setengah kilogram. Coba, biar kutanya dulu pada anak kecil, kata Ah Kong dalam hati.

"Mungkin maksudnya Er disuruh beli setengah kilogram telur sama ibu ya?"

Ah Kong berharap Er menjawab iya, maaf aku lupa apa yang dikatakan oleh ibu tadi sebelum pergi ke sini. Tetapi Er malah menjawab sebaliknya. Tetap setengah liter telur!

Ah Kong kebingungan setengah mati. Jangan sampai ia mati dalam keadaan bingung hanya perkara setengah liter telur. Di tengah-tengah kebingungannya, cucu Ah Kong muncul dari dalam kedai membawa sebungkus plastik hitam yang kemudian diberikan pada Er. Itu adalah saya ketika berusia delapan tahun.

Dengan tenang, oh tidak, maksudnya sedikit tambahan rasa kesal saya berkata pada Er, "Ini telur setengah litermu."

Er menerima dengan girang. Saya lihat Ah Kong yang pada saat itu juga melihat ke saya. Lewat lirikan matanya saya tahu kalau ayah dari bapak saya ini bertanya bagaimana bisa saya menciptakan setengah liter telur. Lalu bagaimana dengan harga jualnya.

Lewat lirikan mata pula saya jawab, gampang. Tinggal kita kurangi setengah harga dari setengah kilogram telur, Kong. Lalu, seolah punya sambungan telepati yang kuat, Ah Kong mengelus rambut cokelat saya sambil diiringi pujian, kamu cucu Ah Kong yang paling pintar.

Er tidak memeriksa bungkusan plastik yang saya beri. Dia percaya saja yang saya kasih adalah telur. Kemudian dia merogoh saku rok hitamnya dan menodongkan sejumlah uang. "Bayar telur," katanya.

"Oke. Uangmu tiga puluh enam ribu rupiah. Harga setengah kilogram telur delapan belas ribu rupiah. Nah delapan belas dibagi setengah jadi sembilan ribu rupiah. Tiga puluh enam dikurang sembilan sama dengan dua puluh tujuh." Kemudian saya mengembalikan dua puluh tujuh rupiahnya pada Er.

Mata dia membesar dengan mulut membentuk huruf o. Dia terkejut, saya tersenyum bangga. "Itu kembalian dari setengah liter telur yang kamu beli."

"Kata ibu, dari sisa beli telur aku cuma dapat uang jajan sedikit. Kok bisa banyak?"

"Karena telurnya murah. Bilang saja begitu pada ibumu," Ah Kong menimpali dengan menyisipi senyuman paling manisnya. Er dan sebagian pelanggan jadi tahu, kalau gigi Ah Kong ada yang hilang dua.

"Wah, kalau gitu aku bakal suruh ibu buat beli setengah liter telur saja. Lebih murah." Er yang kelewat senang karena percaya hari itu dia bisa dapat banyak uang jajan dari sisa beli telur. Dia langsung melipir begitu saja tanpa bilang terima kasih atau bertanya apakah setengah liter telur itu masih ada besok dan besoknya lagi.

"Namanya juga anak kecil. Kadang suka lupa kadang suka inget terus. Kadang lucu kadang nyebelin, sih. Kaya kamu misalnya," papar Ah Kong ketika saya bertanya kenapa Er dibiarkan pergi begitu saja, padahal bisa saja Ah Kong tahan dan bilang kalau telur setengah liter hanya ada hari ini.

Gara-gara pertanyaan spontan saya, Ah Kong jadi balik bertanya soal bagaimana bisa saya menciptakan setengah liter telur. Saya jawab dengan runtut, sesuai dengan apa yang saya lakukan.

Pertama-tama saya pecahkan beberapa telur. Isi telur saya masukkan ke literan. Kulitnya sudah barang pasti ke tong sampah. Lalu setelah dirasa cukup, saya perhatikan tinggi isi telur yang sudah dipecahkan. Apakah sudah sampai batas garis setengah liter. Dan ternyata sudah sampai. Biar lebih mudah dibawa oleh pembeli, saya sengaja memasukkan telur-telur yang dipecahkan itu ke kantung plastik hitam. Lalu diberi tambahan plastik. Jaga-jaga takut plastik pertama bocor di tengah jalan. Dan jadilah setengah liter telur.

"Kenapa dia mau ya beli setengah liter telur. Ah Kong tebak dia pasti lupa pas di tengah jalan."

Saya duduk di kursi kebanggaan Ah Kong. Mengambil beberapa cokelat koin yang dibungkus emas. Saya kupas satu persatu lalu memakannya satu persatu.

"Ah Kong nanya loh," ujar pria tua menyebalkan yang buruknya adalah kakek saya. Tapi tak apalah, walau menyebalkan Ah Kong baik banget. Tua-tua begitu Ah Kong sering ngasih saya uang jajan lebih, cokelat, dan baju baru. Kadang kalau lagi dalam suasana baik, saya dibelikan baju baru oleh Ah Kong.

Yasudah deh saya jawab berdasarkan analisa anak usia delapan tahun ini. "Dia dan keluarganya tidak makan kulit telur. Makanya dia cuma beli apa yang jadi haknya. Yaitu telur."

"Sama saja dong Cu kalau dia lupa. Sama kaya kamu yang disuruh beli sebungkus mie ayam kamu malah beli tiga siung ayam."

Aduh pria tua ini, "Namanya juga anak-anak, Kong. Suka lupa," kata saya sebelum mengangkat pantat dari permukaan kursi kebanggaan Ah Kong.

Itu kejadian lama. Sudah lama sekali. Tapi, kalau saya mampir ke kedai Ah Kong yang sekarang dikelola oleh Bibi, rasanya seperti baru saja terjadi. Saya dan Er sempat berteman baik sampai bangku sekolah menengah pertama. Ketika mau daftar ke sekolah menengah atas, Er dan keluarganya pindah rumah ke Bandung.

Kemarin, ketika seorang teman lama mengajak nongkrong di tempat biasa, saya dikasih informasi terbaru terkait Er. Katanya, seorang laki-laki bukan warga asli negara sini melamar Er. Dengar-dengar, mereka akan menikah dalam waktu yang dekat.

Jauh sebelum mendapat kabar buruk ini, saya berencana pergi ke Bandung; mencari cinta pertama saya. Er!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun