Di bawah atap bumi yang biru kelabu, kami duduk lesehan di atas terpal biru hasil pinjam ke tetangga sebelah, mendengarkan bapak tua yang mengaku sebagai tokoh sejarah. Dia bilang, masa mudanya habis di dalam tahanan. Kurang lebih selama empat belas tahun, ia dilarang pulang ke rumah. Diajak jalan-jalan dari lapas yang satu ke lapas yang lain, sampai akhirnya lapas itulah yang menjadi rumah sekaligus sekolah untuk bapak tua tersebut.
"Dulu, mana ada manusia yang bisa memanusiakan manusia? Apalagi kalau kamu dianggap berbahaya. Bah, kalau tidak tahan, ya habis. Beruntung masih ada cinta dan niat untuk hidup. Makan bubur tanah pun jadi," tuturnya.
Manusia makan tanah? Kami bergidik ngeri membayangkan butiran-butiran tanah yang diaduk sedemikian rupa, lalu diberi nama bubur dan dimakan. Meskipun ada kata 'bubur' di depannya, tetap saja itu tanah. Mana bisa dimakan!
"Tentu bisa. Logikanya, manusia kan berasal dari tanah. Kalau begitu, tidak akan jadi masalah kalau manusia makan tanah."
Aster, salah satu dari kami yang duduk lesehan, merasa dejavu. Ia jadi teringat dengan Dewi Ayu dalam novel Cantik itu Luka yang nekat memakan apa pun yang terdapat di sekitar tahanan demi kelangsungan hidup.Â
"Barangkali memang betul, sejarah kita mayoritas tidak berperikemanusiaan." Aster mengeluarkan argumennya atas apa yang ia dengar sekarang dan ia baca bulan kemarin.
Lalu, ketika hari beranjak siang sedikit, bapak tua itu meneruskan ceritanya di masa kelam. Hal yang paling diinginkan olehnya ketika masih di tahanan adalah pulang dan makan malam bersama ibu. Namun, ketika empat belas tahun itu selesai dilewati, ia tidak lagi menemukan pulang ke rumah yang sebenarnya.
Bapak tua itu pulang ke rumah dalam keadaan ibu sudah berpulang ke rumah yang lain.
Keinginannya untuk makan malam bersama ibu tidak akan pernah terwujud. Kalau boleh mengamuk, mungkin orang yang pertama kali mendapat amukannya adalah mereka yang menangkapnya tanpa kesalahan yang pernah diperbuat. Atau barangkali kepada mereka yang mengurung dirinya di bawah atap lapas.Â
Di atas bapak tua yang sedang bercerita soal kerinduan untuk bertemu, seekor burung bangau terbang melintasi kerumunan orang berbaju putih cokelat susu--- kami.
Burung bangau itu tertangkap mata Aster. Perempuan penggemar fiksi ini tiba-tiba merenung. Kepalanya mulai berisik.
Di bawah atap bumi, kami membicarakan soal rindu dan kepulangan yang tak sempat menemui temu. Padahal rindu sudah disiapkan di dalam tas ransel biru muda. Rencana membuka lipatan rindu di rumah harus ditahan dalam waktu yang tidak ditentukan, sebab orang yang seharusnya menerima paket rindu sudah pulang ke rumah yang lain. Ke rumah yang sebetulnya rumah. Rindu ini kami biarkan mendekam di tas ransel.Â
Tiba-tiba saja, di atas teras bumi, burung berbulu putih izin lewat dengan sayap yang sengaja direntangkan. Ah, burung kan kalau terbang, sayapnya direntangkan. Betapa bodohnya orang yang sedang dilanda kerinduan. "Wajar, aku menahan rindu ini selama empat belas tahun, sedangkan dia hanya butuh satu hari untuk pergi yang lama."
Menurut kami, kamu anak laki-laki yang manis. Sebagai anak laki-laki yang  manis, kamu tidak boleh menangis. Nanti kadar kemanisanmu berkurang. Usap air matamu dulu. Simpan baik-baik rindu yang sudah dikemas dalam tas, tapi belum berhasil disampaikan kepada penerima rindu.
Lihat, burung itu terbang di atas kita. Bukankah mungkin di kedua sayapnya yang merentang lebar ada kepingan-kepingan rindumu yang utuh. Barangkali, penerima paket rindu itu maunya dikirim melalui perantara burung sebab ia lebih dekat dengan langit.
"Rumah dia sekarang di langit?"
Kami sepakat mengiyakan. Dia, ibumu, kini memiliki rumah di langit.
"Baiklah," katamu sambil berjalan ke depan rumah yang jalannya masih berupa tanah. Kamu mengambil satu kotak biru beludru di tasmu, kemudian mengacungkan ke langit dengan tangan kananmu, sementara tangan kiri ditekuk dan didekatkan ke mulut. "Burung, titip rindu buat ibuku, ya!" katamu di bawah langit.
Soal rindu sudah selesai bersamaan dengan hari yang selesai dihangatkan matahari. Malam harinya, ketika bulan malu-malu untuk tampil di atas panggung bersama grup band kesayangan kami, orang-orang menari di antara dua pohon kihujan yang sedang berbunga. Sementara satu orang laki-laki yang duduk di bawah lampu pertunjukan, sibuk menumpahkan isi tinta di kertas.
Di saat yang lain berjoget ria, dia berpusing-pusing ria mencari sederet jawab yang belum ditemukan keberadaannya. Laki-laki itu kelihatan pusing tujuh keliling. Untuk meredakan pusingnya, Aster berinisiatif membelikan sebotol teh pucuk untuk laki-laki tersebut.
Mata laki-laki itu mendongak ketika mendapati ada sebotol teh pucuk di samping tumpukan kertas.
"Untuk meredakan pusingmu yang ria," tutur Aster kemudian bergabung dengan kumpulan orang joget.
Malam itu, ada terima kasih yang terucap tetapi tidak sampai ke telinga penerima, ada pesta kecil-kecilan untuk merayakan 'dia' yang sudah diakui negara, ada hati kecil yang patah karena tidak diizinkan menonton sesuatu yang amat ditunggu, ada permintaan maaf atas kerja keras yang belum sepenuhnya terwujud, ada kesal yang dibungkus keringat.
Dan, sepertinya kami melupakan satu hal yang juga terjadi di malam itu, tetapi samar-samar di mata kami.
Malam itu, ada satu teman kami yang diserang perasaan was-was. Dan baru dapati kebenarannya esok hari, melalui pesan dari seorang teman. Kabar itu kami dapatkan pagi hari, tetapi air mata, perasaan-perasaan aneh, dan lain sebagainya kami dapati ketika matahari sedang jingga-jingganya.
Kami terlalu banyak mendapatkan hal-hal yang tak terpikirkan akan bertamu pada kami, dan tahu-tahu besok April sudah mau pamit. Rupanya kemarin malam dia sudah merapikan semua barang-barangnya.
Selamat jalan April dan segala kabutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H