Di bawah atap bumi, kami membicarakan soal rindu dan kepulangan yang tak sempat menemui temu. Padahal rindu sudah disiapkan di dalam tas ransel biru muda. Rencana membuka lipatan rindu di rumah harus ditahan dalam waktu yang tidak ditentukan, sebab orang yang seharusnya menerima paket rindu sudah pulang ke rumah yang lain. Ke rumah yang sebetulnya rumah. Rindu ini kami biarkan mendekam di tas ransel.Â
Tiba-tiba saja, di atas teras bumi, burung berbulu putih izin lewat dengan sayap yang sengaja direntangkan. Ah, burung kan kalau terbang, sayapnya direntangkan. Betapa bodohnya orang yang sedang dilanda kerinduan. "Wajar, aku menahan rindu ini selama empat belas tahun, sedangkan dia hanya butuh satu hari untuk pergi yang lama."
Menurut kami, kamu anak laki-laki yang manis. Sebagai anak laki-laki yang  manis, kamu tidak boleh menangis. Nanti kadar kemanisanmu berkurang. Usap air matamu dulu. Simpan baik-baik rindu yang sudah dikemas dalam tas, tapi belum berhasil disampaikan kepada penerima rindu.
Lihat, burung itu terbang di atas kita. Bukankah mungkin di kedua sayapnya yang merentang lebar ada kepingan-kepingan rindumu yang utuh. Barangkali, penerima paket rindu itu maunya dikirim melalui perantara burung sebab ia lebih dekat dengan langit.
"Rumah dia sekarang di langit?"
Kami sepakat mengiyakan. Dia, ibumu, kini memiliki rumah di langit.
"Baiklah," katamu sambil berjalan ke depan rumah yang jalannya masih berupa tanah. Kamu mengambil satu kotak biru beludru di tasmu, kemudian mengacungkan ke langit dengan tangan kananmu, sementara tangan kiri ditekuk dan didekatkan ke mulut. "Burung, titip rindu buat ibuku, ya!" katamu di bawah langit.
Soal rindu sudah selesai bersamaan dengan hari yang selesai dihangatkan matahari. Malam harinya, ketika bulan malu-malu untuk tampil di atas panggung bersama grup band kesayangan kami, orang-orang menari di antara dua pohon kihujan yang sedang berbunga. Sementara satu orang laki-laki yang duduk di bawah lampu pertunjukan, sibuk menumpahkan isi tinta di kertas.
Di saat yang lain berjoget ria, dia berpusing-pusing ria mencari sederet jawab yang belum ditemukan keberadaannya. Laki-laki itu kelihatan pusing tujuh keliling. Untuk meredakan pusingnya, Aster berinisiatif membelikan sebotol teh pucuk untuk laki-laki tersebut.
Mata laki-laki itu mendongak ketika mendapati ada sebotol teh pucuk di samping tumpukan kertas.
"Untuk meredakan pusingmu yang ria," tutur Aster kemudian bergabung dengan kumpulan orang joget.