Suatu hari nanti, Senin di pekan terakhir bulan April akan diingat Aster sebagai hari yang paling konyol di kehidupannya yang baru berjalan sembilan belas tahun. Bisa-bisanya, ketika matahari berada di pucuk pepohonan, ia mengejar bola api tersebut. Lalu, kepada seorang teman yang berjalan di sebelah kanannya, dengan percaya diri ia berkata "aku akan pulang duluan, sebelum matahari itu terbenam di peraduan."
"Konyol." Mana ada manusia yang dapat mengejar waktu. Justru sebaliknya, waktu yang mengejar manusia dengan brutal.
Tetapi, pada dasarnya Aster adalah anak perempuan remaja yang keras kepalanya minta ampun. Kalau dibandingkan dengan batu, kepala Aster dua kali empat lipat kerasnya. Kadang, ia suka berpikir, mungkin ini salah satu alasan mengapa cinta pertamanya pergi meninggalkan dia. Alasannya sederhana sekali; keras kepala Aster ganggu.
Tidak, tidak. Aster menangkal semua pikiran buruk itu. Ia menggelengkan kepalanya yang keras kuat-kuat, berharap semua pikiran buruk itu berjatuhan ke tanah. Dan mungkin akan lebih baik, jika kepingan-kepingan negatif itu hanyut terbawa arus kali.
"Kita lihat saja, jarak dari sini ke rumah sekitar sepuluh menit, sementara aku masih punya waktu empat puluh menit untuk mendahului matahari pulang," kata Aster dengan percaya diri yang masih melekat di saku kemeja.
Meskipun meremehkan, teman Aster mengiyakan apa yang dikatakan perempuan yang buruknya adalah teman baiknya sendiri. "Untung dia cuma keras kepala, bukan gila. Eh, atau belum, ya?" gumam teman Aster.
Mereka berjalan beriringan. Diam membisu, memperhatikan bayangan diri yang menjulang di atas aspal kota. Keduanya tidak lagi memperdebatkan soal waktu dan keinginan Aster untuk mendahului matahari pulang. Di pertigaan jalan, mereka berpisah. Teman Aster ke kiri dan dia ke kanan. Ke arah Warung Pojok.
Ketika hendak memberhentikan angkutan umum, matanya mengenali sosok laki-laki yang sedang menggunting kertas di tempat foto copy. Aster membalikkan badannya, membelokkan tujuan, dan dibiarkannya angkutan umum itu pergi membawa sumpah serapah pengemudi yang gagal mengangkut penumpang.
"Halo!"
"Oh!" Laki-laki itu terkejut setengah mati. Beberapa kertas yang sudah selesai digunting, jatuh berserakan ke lantai. Beruntung tidak mengenai genangan air bekas ia minum tadi. Sedangkan pelaku peristiwa itu tersenyum manis sekali seolah-olah yang barusan terjadi adalah perilaku terpuji.
"Astaga, ASTER."
"Iya, aku di sini," jawabnya dengan polos.
"Gemas sekali kamu ini. Saking gemasnya aku jadi kepengen nyubit usus besar kamu tau!" Laki-laki itu memungut kertas yang jatuh. Membersihkannya dari pelukan debu lantai.
Dengan gaya khasnya, Aster duduk di kursi tempat laki-laki tersebut. "Boleh, siapa tahu dengan begitu kotoran aku bisa keluar. Sudah tiga hari aku tidak buang hajat."
"Ck, anak ini," gerutunya. Ia memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh Aster. Kemeja lengan panjang berwarna hitam, celana bahan dengan warna senada, sepatu--- warna hitam juga. Kemudian ia melirik layar monitor. Melihat hari apakah ini. Hari Senin. Jadwalnya Aster kuliah, tetapi perempuan itu mengenakan pakaian duka.
"Kamu lagi berkabung?"
Ditanya seperti itu, dengan pertanyaan aneh, ketika kamu sedang berselancar di internet, apa yang kamu rasakan selain bingung.
Bingung mau jawab apa.
Bingung, kenapa dikasih pertanyaan seperti itu.
"Enggak, aku lagi capek," tukasnya.
Seketika, Aster tersadar ketika ia mendapati langit biru kehitam-hitaman disertai beduk Magrib yang menandakan waktu sudah beralih. Matahari sudah sampai di peraduan, sementara Aster masih di sini. Di bawah naungan foto copy.
"Astaga! Aku telat pulang!" Ia tergesa-gesa mengambil sepatu di samping pintu masuk. Mengabaikan tatapan tanya dari laki-laki yang menjadi penyebab ia lupa pulang.
"Aster,"
"Apa?!"
"Uwak juga sudah pulang," cicit laki-laki itu.
"Tempat kerja Uwak kan dekat dengan rumah. Wajar dia pulang duluan."
Aster tidak memahami maksud perkataannya. Ia mendekati saudara perempuannya yang sudah dua tahun hidup di tanah orang dengan dirinya.
"Bukan begitu maksudku."
"Terus apa?" tanya Aster yang masih sibuk dengan sepatunya.
"Uwak pulang ke rumah yang sebenarnya." Kepala laki-laki itu menunduk. Sepasang matanya berkaca-kaca. Ia tak pernah semuram ini ketika membicarakan kepulangan Uwak. Hal ini seharusnya tidak akan pernah terjadi seandainya kepulangan Uwak tidak mengandung makna lain.
Jantung Aster berhenti berdetak. Ia membalikkan badan. Melihat laki-laki di depannya menunduk dengan mata berair. Di posisi seperti ini, ia bersyukur karena tinggi badannya tidak setinggi badan laki-laki tersebut, sehingga ia masih bisa melihat mata dengan sorot yang suram.
"Maksudnya?"
Menarik nafas dalam-dalam, dan memberanikan menatap saudara perempuan yang menjadi alasannya di sini, laki-laki itu terpaksa mengatakan dua kata yang tak ingin didengar oleh mereka yang dekat dengan Uwak.
"Uwak mati."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H