"Aster,"
"Apa?!"
"Uwak juga sudah pulang," cicit laki-laki itu.
"Tempat kerja Uwak kan dekat dengan rumah. Wajar dia pulang duluan."
Aster tidak memahami maksud perkataannya. Ia mendekati saudara perempuannya yang sudah dua tahun hidup di tanah orang dengan dirinya.
"Bukan begitu maksudku."
"Terus apa?" tanya Aster yang masih sibuk dengan sepatunya.
"Uwak pulang ke rumah yang sebenarnya." Kepala laki-laki itu menunduk. Sepasang matanya berkaca-kaca. Ia tak pernah semuram ini ketika membicarakan kepulangan Uwak. Hal ini seharusnya tidak akan pernah terjadi seandainya kepulangan Uwak tidak mengandung makna lain.
Jantung Aster berhenti berdetak. Ia membalikkan badan. Melihat laki-laki di depannya menunduk dengan mata berair. Di posisi seperti ini, ia bersyukur karena tinggi badannya tidak setinggi badan laki-laki tersebut, sehingga ia masih bisa melihat mata dengan sorot yang suram.
"Maksudnya?"
Menarik nafas dalam-dalam, dan memberanikan menatap saudara perempuan yang menjadi alasannya di sini, laki-laki itu terpaksa mengatakan dua kata yang tak ingin didengar oleh mereka yang dekat dengan Uwak.