Mohon tunggu...
Rusti Dian
Rusti Dian Mohon Tunggu... Freelancer - Currently work as a journalist and writer

Banyak bicara tentang isu perempuan. Suka menonton film, jalan-jalan, dan menuangkan semuanya dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Harga Diri Sang Penari

14 Oktober 2020   18:00 Diperbarui: 14 Oktober 2020   17:59 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Srintil yang menangis di pangkuan Nyai Kartareja

Diawali dengan penggambaran suasana desa pada tahun 1960-an di salah satu daerah di Jawa Tengah. Tabuh gendang dan alunan musik gamelan lain juga turut membawa penonton masuk ke dalam imajinasi kehidupan kala itu. "Sang Penari" (2011), itulah judul filmnya. Menceritakan tentang kehidupan sang penari Ronggeng di Banyumas, Jawa Tengah.

Disutradarai oleh Ifa Isfansyah, film "Sang Penari" diadaptasi dari novel trilogi berjudul "Ronggeng Dukuh Paruk" yang ditulis oleh Ahmad Tohari pada tahun 1982. Film tersebut menceritakan tentang kisah asmara seorang penari Ronggeng bernama Srintil (Prisia Nasution) dengan Rasus (Oka Antara), seorang pemuda desa yang menjadi tentara.

Pasca tragedi tempe bongkrek beracun yang terjadi di Dukuh Paruk, dusun tersebut menjadi seperti dusun yang mati. Tak ada lagi pertunjukan Tari Ronggeng. Sawah yang seharusnya bisa menghasilkan beras, justru mati dan membuat warga Dukuh Paruk terpaksa harus mengonsumsi singkong untuk bertahan hidup. Kelaparan dan kemiskinan, menghantui warga Dukuh Paruk selama 10 tahun.

Menjadi Penari, Artinya Mempertaruhkan Harga Diri

Rasus yang sangat mencintai Srintil justru merasa tidak senang dan tidak nyaman ketika melihat Srintil menjadi penari Ronggeng. Pasalnya, menjadi penari Ronggeng, artinya harus mau melayani banyak lelaki di ranjang setelah menari.

Sebelum sampai ke sana, Srintil harus menjalani ritual "bukak klambu" yang berarti menyerahkan keperawanannya pada lelaki dengan tawaran harga tertinggi. Namun, Srintil justru memberikan keperawanannya pada Rasus, sebelum akhirnya ia harus melayani dua lelaki yang menawarnya dengan harga tinggi.

Srintil yang menangis di pangkuan Nyai Kartareja
Srintil yang menangis di pangkuan Nyai Kartareja

"Tenang waelah, cah ayu. Ronggeng kui pancen kudu bisa karo wong lanang,"kata Nyai Kartareja sambil mengelus-elus rambut Srintil. Dalam scene tersebut, bisa dilihat bahwa Srintil sangat ketakutan untuk menjalankan tradisi bukak klambu. Ia menangis di pangkuan Nyai Kartareja. Srintil mulai ragu untuk menjadi penari Ronggeng. Namun, itu harus tetap dilakukannya untuk membayar dosa kedua orang tuanya di masa lalu.

Kekerasan dan Ketidakadilan yang Dialami Penari Ronggeng

Pada tahun 1960-an, perempuan masih menduduki kelas dua yang hanya menjadi objek pemuas nafsu lelaki. Ketidakadilan dan penindasan digambarkan baik secara tersirat maupun tersurat dalam film "Sang Penari" tersebut. Terlebih situasi politik pada zaman itu yang secara tidak langsung juga memengaruhi budaya.

(Sumber: https://bersatoe.com/2017/04/02/sang-penari-kisah-cinta-seorang-ronggeng/)
(Sumber: https://bersatoe.com/2017/04/02/sang-penari-kisah-cinta-seorang-ronggeng/)

Darno Kartawi menjelaskan beberapa hal tentang Tari Ronggeng yang kemudian ditulis oleh Tiara Pudyadhita. Di sela-sela pertunjukan, penonton yang ketiban sampur dari penari Ronggeng harus ikut menari dan boleh mengajak penari tersebut untuk tidur bersama. Apalagi gerakan dalam Tari Ronggeng cukup sensual dan mampu menarik perhatian lelaki.

Seorang perempuan akan berhenti menjadi penari Ronggeng jika ia hamil. Oleh karena itu, Nyai Kartareja memberi sebuah solusi pada Srintil agar ia dapat menjadi penari Ronggeng lebih lama. Sambil mengoleskan lulur, Nyai Kartareja juga mengurut bagian perut Srintil yang membuatnya mengaduh kesakitan.

"Mematikan peranakan juga bagian dari laku serat Ronggeng,"jelas Nyai Kartareja.

Sontak Srintil pun mendorong Nyai Kartareja. Ia menangis, menunjukkan bahwa Srintil pun mengalami ketakutan dalam hal menggugurkan kandungan, jika memang Srintil terbukti hamil. Bahkan, ketika Srintil memutuskan untuk berhenti menari Ronggeng, ia justru mendapat ancaman dari keluarga Kartareja yang mana adalah dukun Ronggeng di Dukuh Paruk.

Pergerakan Kaum Laki-Laki, Penindasan Kaum Perempuan

(Sumber: https://www.kineforum.org/post/1903-sang-penari)
(Sumber: https://www.kineforum.org/post/1903-sang-penari)

"Sang Penari" juga menceritakan tentang kondisi politik pada tahun 1965. Masifnya pergerakan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menguasai Dukuh Paruk. Tentara Indonesia sendiri menandai tempat yang sudah dikuasai oleh PKI dengan sebutan "merah".

Rasus yang pada saat itu sudah menjadi tentara, diberi kesempatan untuk pulang ke Dukuh Paruk.  Ia melihat didirikannya gapura dari bambu yang bertuliskan "tanah oentoek rakjat". Tentu hal tersebut menimbulkan perasaan curiga dalam dirinya, mengingat bahwa warga Dukuh Paruk tidak ada yang bisa membaca dan menulis.

Lama kelamaan, pergerakan di Dukuh Paruk semakin menjadi-jadi. Basis komunisme di daerah tersebut semakin menguat. Ditambah lagi dengan memanfaatkan warganya yang tidak mampu baca dan tulis, serta isu kemiskinan yang terus dimainkan. Iming-iming tradisi Ronggeng yang akan dikembangkan lagi di luar Dukuh Paruk juga menjadi salah satunya.

Pada akhirnya, pergerakan hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Mulai dari orasi membakar semangat warga untuk melawan penindasan negara, pendataan warga, dan lain sebagainya. Perempuan hanya ikut meramaikan saja dengan cara menjadi penari Ronggeng. Ketika laki-laki diajarkan membaca, perempuan justru diabaikan.

Tak jarang pula perempuan mengalami tindak kekerasan di sana. Terlebih saat para tentara mengevakuasi warga yang tercatat menjadi bagian dari PKI di Dukuh Paruk. Tak segan-segan para tentara tersebut menarik, mendorong, dan mengintimidasi kaum perempuan. Seolah itu menjadi hal yang lumrah terjadi. 

Film "Sang Penari" ini berhasil mengungkap sejarah kelam betapa rendahnya perempuan, terlebih jika ia memilih untuk menjadi seorang penari. Alih-alih mendapat apresiasi karena mempertahankan kesenian, para perempuan tersebut justru selalu menjadi objek pemuas nafsu laki-laki, baik secara visual (hanya dipandang), hingga diajak untuk berhubungan badan. Padahal, gebrakan kaum perempuan untuk tak lagi menduduki kelas subordinat terus dilakukan. Perjuangan perempuan untuk mendobrak stigma negatif tidak akan pernah berhenti, sampai mereka benar-benar mendapatkan keadilan.

Daftar Pustaka:

Pudyadhita, Tiara. (2012). Representasi Perempuan Penari dalam Kesenian Rakyat Ronggeng (Studi Semiotika pada Film Sang Penari). Diakses pada 14 Oktober 2020, jurnal.untirta.ac.id/index.php/JPKS/article/view/2530/1973

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun