Di zaman serba internet, informasi tentu akan terus menyebar dan dapat diakses kapanpun, di manapun, dan oleh siapapun. Tidak terbatasnya ruang dan waktu ini juga membuat siapapun dapat menjadi sumber informasi, penerima, maupun yang menyebarkan informasi agar lebih luas lagi. Dalam hal ini, penulisan menjadi kunci penting dalam menyebarkan informasi. Orang-orang diharapkan memiliki skill dasar untuk menulis. Namun, perihal penulisan ini masih menjadi kendala dan permasalahan yang cukup besar bagi sebagian orang.
Peran penting guru dan sekolah untuk mengajarkan tentang skill kepenulisan ini memang sangat dibutuhkan. Komputer atau teknologi lainnya sekalipun tidak mampu menggantikan posisi guru dalam mengajarkan tentang kepenulisan. Dikutip dari DeVoss, Aadahl, dan Hicks (2010, h. 2), digital writing matters memiliki kontribusi pada tujuan terkait kepenulisan, bahwasanya menulis digital itu penting. Bahkan dalam bukunya yang berjudul “Because Digital Writing Matters”, DeVoss juga menjelaskan bahwa penulisan digital merupakan sebuah perubahan dramatis dalam ekologi penulisan dan komunikasi yang mengupas arti menulis (membuat, mengarang, serta membagi).
Pada dasarnya, ketika seorang penulis akan menuliskan sesuatu, baik itu dalam bentuk novel, surat, iklan, dan lain sebagainya. Semua itu memiliki prinsip yang sama yaitu untuk mengkomunikasikan segala ide dan konsep yang ada dalam pikiran. Namun, media yang berbeda acapkali membebani penulis dengan tanggung jawab yang berbeda-beda (Carroll, 2010, h. 3). Mempelajari teknik kepenulisan dengan baik tentu mampu membentuk pola pikir kita agar dapat dengan mudah menuangkan segala sesuatu yang ada di pikiran ke dalam sebuah tulisan, khususnya dalam bentuk digital.
Menilik dari sejarah dunia kepenulisan, tentu tidak akan terlepas dari manusia yang menulis di batu, artefak, dan lain sebagainya. Hingga memasuki era modern dimana manusia mulai menggunakan komputer untuk menulis. Semakin lama, komputer pun mulai tergeser dengan hadirnya laptop, gadget, ipad, dan masih banyak lagi. Jika pada masa itu mesin cetak sangat berperan penting untuk mendistribusikan teks yang sama ke banyak orang, maka di zaman sekarang orang bisa dengan mudahnya menyebarkan teks baik lewat email, media sosial, dan masih banyak lagi.
Carroll (2010, h. 7) menjelaskan bahwa prinsip penulisan yang baik justru tidak boleh sewenang-wenang dalam mengatakan sesuatu. Prinsip itu justru menyadarkan kita bahwa proses menulis tidaklah mudah, mulai dari proses pra-menulis, menulis, mengedit, merevisi, sampai ke proses evaluasi. Penguasaan akan beragam kosakata dapat membantu penulis untuk menemukan diksi yang tepat guna mengungkapan sebuah gagasan. Bahkan penggunaan metafora sekalipun akan menjadi indah jika dikemas dengan baik dan tepat sasaran. Hal ini dikarenakan metafora dapat menimbulkan perbedaan persepsi juga.
Tidak hanya menguasai tentang teknik kepenulisan saja. Penulis juga harus mengerti serta memahami beberapa kendala yang harus dihindari saat menulis. Carroll (2010, h. 12) menyebutkan kendala tersebut diantaranya adalah plagiarisme (sengaja maupun tidak sengaja), stereotip terhadap sesuatu hal, menggeneralisasi, melompat langsung pada kesimpulan, kesalahan logika atau circular arguments, serta terlalu sering menggunakan kata ganti dan artikel.
Menulis bukanlah sebuah proses yang mudah. Diperlukan banyak latihan, konsisten, dan tidak menyerah. Banyak proses yang harus dilewati oleh para penulis untuk menghasilkan karya tulisan yang berkualitas. Orwell (Carroll, 2010, h. 13) selalu menanyakan empat hal dalam kalimat-kalimat yang ia tulis yang diantaranya:
1. Apa yang ingin saya katakan?
2. Kata-kata apa yang akan mengungkapkannya?
3. Apa gambaran/idiom yang membuatnya lebih jelas?