Ada lagi yang mati tenggelam di pantai Matras.
"Itulah kalau tidak bisa berenang, berani-beraninya mandi hingga ke tengah. Coba di pinggir saJa. Itu sama saja dengan mengantar nyawa."
"Yang tenggelam itu bisa berenang kok."
"Kalau dia bisa berenang tidak mungkin tenggelam."
" Tapi ,kata orang pantai Matras itu angker ."
"Siapa yang bilang?"
" Ya , banyak orang."
"itu tahayul namanya, jangan percaya dengan hal begituan."
  "Memang begitulah kenyataannya."
"Apanya yang nyata? Yang Pasti orang itu tenggelam dan ajalnya memang begitu adanya."
" Terserah kalau tidak percaya. "
" Mana Aku bisa percaya."
                  ***
Aku mendengar cerita pro dan kontra tentang penyebab kejadian korban -korban yang tenggelam di pantai itu. Mereka yang tidak percaya dengan hal-hal yang berbau mistik. Korban yang tenggelam dipantai itu hingga saat ini, entah sudah berapa banyak jiwa ditelannya ? Memang tidak ada catatan resmi tentang hal itu.
Kadang korban yang tenggelam, berjam-jam dan bahkan berhari-hari baru dapat ditemukan hingga jasadnya sudah membusuk. Para petugas pencari juga melibatkan para nelayan, sampai putus asa karena usaha pencarian yang dilakukan tidak membuahkan hasil. Kembali upaya yang berbau mistik dipergunakan. Orang pintar diturunkan, untuk menemukan korban yang tenggelam dipantai itu.Â
Mantera menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebagai media untuk melakukan perundingan dengan mereka yang berada di alam gaib. Entah dialog perundingan semacam apa yang dilakukan? Itu urusan orang pintar dengan penghuni pantai itu . Terima, tidak terima itulah kenyataan yang ada.
                 *** Â
Mendung masih menggantung di awan. Sesekali terdengar bunyi halilintar. Dalam cuaca seperti ini orang-orang enggan keluar. Aku tidak peduli dengan cuaca. Aku tidak ingin beranjak dengan kailku jika tangkapan belum memuaskan untuk dibawa pulang. Tampaknya ikan tidak doyan dengan umpan pancing, paling hanya ikan kecil. Sementara langit pantai Matras semakin berat aku masih di atas batu granit yang tangguh sepanjang waktu menahan lajunya ombak. Hempasan ombak yang kencang kadang air laut yang membentur dinding granit terpercik hinggah ke wajah. Lidah iseng merasakan asin.
Tar!
Halilintar cukup keras menyambar. Tidak tampak benda yang disambarnya. Tiba- tiba terdengar benda berat yang jatuh. Aku menoleh ternyata sebuah pohon kelapa yang menjulang tinggi sehinggah memutuskan atas pohon dengan seluruh bagian daun serta buah kelapa terjerembab ke bumi. Aku tetap tidak bergeming dari atas batu granit.
Cuaca semakin tidak bersahabat. Tekad ingin mendapat ikan lebih besar tidak membuatku goyah hanya karena cuaca . Sesekali kembali terpecik air laut ke wajahku. Tiba-tiba pancing merasa ditarik cukup keras. Tampaknya cukup besar tangkapan hari ini. Perlahan kutarik. Aku bertambah yakin tangkapan kali ini besar sekali.
Bismilah.
Pancing kutarik. Mulai terlihat lekat ikan di mata pancingku. Warna hitam kecoklat-coklatan. Kukumpulkan segala tenanga untuk mengangkatnya kepermukaan.
Hup!
Tarikan cukup kuat untuk mengangkat seekor ikan Pari yang telah menempel di dinding batu granit. Ikan itu tidak meronta, perlahan kutarik ke atas batu tempat ku berada.
Aduh!
Senarnya putus. Dasar jauh dari rezeki senar pancingnya yang kutarik bergesek dengan dinding granit seningga membuat terputus. Gagal lagi, gagal lagi untuk makan besar. Aku simpan kecewa. Untung tidak ada orang lain disekitarku, sehingga tidak ada yang mengetahui raut wajah kecewaku. Beberapa pemancing lainnya berada jauh dari tempatku. Para pemancing itu lebih menyukai memancing sambil berendam di air laut.
Tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke rumah. Persedian pancing sudah tidak ada lagi. Â Lumayanlah masih ada ikan-ikan yang lain untuk dibawa pulang . Aku menuruni batu granit.
Angin pantai Matras cukup kencang. Seakan-akan membuat pohon-pohon kelapa yang tersisa hampir-hampir tumbang, menyusul pohon kelapa lain yang sudah duluan tumbang akibat abrasi.
               *** Â
Saat aku masih menuruni dinding granit yang menjulang itu. Langkahku mendadak kuhentikan. Melihat pemandangan yang membuat kutergugah untuk mengetahuinya. Aku langsung berlindung di balik granit yang lain dan mataku tertuju ke aliran air sungai yang berhuibungan dengan air laut. Orang-orang menyebutnya air tawar, biasanya dipergunakan untuk bilasan setelah mandi air laut.
Jelas sekali aku melihatnya.
Tujuh orang wanita sedang mandi di air sungai itu tanpa busana satu helaipun. Mimpi apa aku dapat melihat pemandangan yang serupa ini. Pikiran kotorku tiba tiba menggelitik perasaanku. Mengapa mereka berbugil ria dalam suasana cuaca mendung dan dingin seperti ini? Meraka terus membersihkan dirinya, tanpa ada canda tawa. Aku ingat kisah-kisah legenda tentang putri-putri yang mandi seperti itu. Apa mereka Bidadari? Mukin juga mereka para turis?
Sementara para pemancing yang tidak jauh dari sungai itu sepertinya tidak melihat apa-apa. Apa para pemancing itu tidak tergiur melihat tubuh tubuh elok tanpa busana mandi di alam terbuka?
Wajah tujuh wanita itu kaku, terkesan dingin. Tiba-tiba bulu kuduk ku merinding. Bukan dikarenakan dingin. Melainkan setelah tatapan mata mereka berwarna biru bercahaya.
Aku berusaha menghibur diri dengan menghilakan pikiran tentang setan, iblis dan segala macam mahkluk-mahkluk gaib itu. Tujuh putri itu terus mandi membersihkan tubuh mereka dengan menggosok seluruh bagian tubuh mereka dengan tangan, tanpa sabun. Lekukan tubuh wanita itu cukup bagus, dengan kulit yang putih bersih.
Rasa takutku tiba-tiba muncul.
Salah seorang menatap ke arah tempatku bersembunyi.
Wanita yang menyorotkan pandangan kearahku itu keluar dari air sungai, ia mengambil kain panjang berwarna putih lalu menutupnya hingga setengah dada. Matanya terus tertuju ke tempatku bersembunyi l, agar mereka tidak mengetahuinya.Â
Hantu!
Gawat aku bisa mati dicekiknya wanita itu melangkah kearahku, sementara yang lainnya masih berada di air sungai. Â Pandangan kuarahkan kebagian bawah kakinya. Apakah ia menapak tanah atau tidak. Kata orang tua bila kakinya tidak sampai ke tanah itu adalah hantu. Tapi wanita yang melangkah perlahan kearahku kakinya tetap menyentuh pasir pantai matras.
Manusia biasa.
Aku terus menghibur diriku yang memang sedang ketakutan. Wanita itu terus mendekat kearahku. Semakin aku menatap matanya, semakin aku terpana. Seperti ada magnit yang melekatkan pandanganku.
Benar-benar wanita itu menuju ke tempatku mengintip mereka mandi.
Tubuhnya yang tinggi semampai dengan rambutnya terurai panjang namun tidak basah. Semakin membuatku bertanya-tanya dalam batin, dengan apa ia mengeringkan rambutnya? Baru saja berendam di air sungai itu. Harum tubuhnya semakin terasa, entah sabun mandi apa ia pergunakan? Setahuku tadi mereka mandi tidak menggunakan sabun.
Sementara enam wanita lainnya masih berendamdi sungai.
Hi! Tengkuk terasa mengembang, Seluruh bulu roma berdiri, Setelah dekat dengan wajah kaku membuatku benar-benar tegang antara takut dan tidak berdaya. Aku dibuatnya terpana, ia benar-benar cantik.
"Hei! Yan sedang apa kamu disini.''Â
Mulutku seperti terkunci. Matanya yang biru bersinar menyorot ke mataku tajam. Heran, akubelum pernah bertemu dan kenal pun tidak, ia tahu nama panggilanku.
Aku ingin bicara, tapi tidak mampu menggerakkan lidah. Benar-benar dibuatnya seperti patung hidup. Sebenarnya aku ingin kenalan.
"Kamu telah melanggar perjanjian," tudingnya.
Sembarangan. Kapan-kapan aku pernah membuat perjanjian. Kurang ajar! Bisa-bisanya ia bicara seperti itu. Kenal tidak, famili juga bukan. Aku ingin protes dan bila perlu balik menuding. Tapi apa daya mulutku terkunci.
"Apa yang kau cari Yan?" seraya ia memegang pundakku.
Sakit sekali pundakku ditekannya. Hingga membuat pandanganku gelap.
Siraman air membuat pandangan kembali terang tanpa disadari aku sudah berada di dalam sungai. Terdengar jelas suara sorak-sorai. Siraman air berasal dari wanita-wanita yang sedang mandi tadi. Mataku masih terhalangi dengan siraman air bertubi-tubi, namun aku tidak mampu menangkisnya. Mereka berhenti menyiramku, jelas sekali terlihat tujuh wanita berwajah kaku tadi mengelilingiku. Temyata mereka bisa juga senyum. Kembali aku bungkam. Mulutku terkunci. Sekarang jelas aku melihat lekuk tubuh mereka tanpa selembar kainpun. Aku jadi malu.Â
Astaga!
Tenyata aku juga tanpa pakaian. Sama seperti mereka. Aku tidak mampu berontak. Kapan aku'membuka pakaian? Ini pasti perbuatan mereka. Beberapa orang yang sedang memancing tak jauh dari tempat kami berendam, tidak mengetahui di sungai ini ada delapan orang tanpa busana. Bagaimana kalau sampai mereka tahu? Alangkah malunya aku.
"Ikan yang kau tangkap tadi, sengaja aku lepaskan karena sudah menjadi perjanjian kita. Ikan itu adalah hak kami, kalian tidak boleh mengambilnya
dari lingkungan sini," kata wanita yang mengetahui tempat persembunyianku tadi.
"Bila ikan tadi sampai tertangkap, kami juga akan menangkap siapa saja yang sedarah denganmu," tambahnya.
Perjanjian apa yang pernah aku buat dengan mereka? Bagaimana aku dapat membela diri kalau mulutku seperti terkunci, tanpa dapat berkata apa-apa.
Jangankan bicara, menggerakkan anggota tubuh saja tidak mamnpu kulakukan.
"Kau kenal Ahmad Soleh?" tanya dia lagi.
Tampaknya wanita in pemimpin mereka.
Kalau Ahmad Soleh itu nama kakekku yang sudah meninggal, Darimana dia kenal kakekku?
"Dia kakekmu, bukan? Kami telah membuat perjanjian sejak ia mengawini aku, bahwa ia tidak akan menangkap, apa lagi memakan Ikan Pari. Ternyata ia melanggar perjanjian yang telah kami sepakati, kakekmu menangkap Ikan Pari untuk memenuhi keinginan nenekmu yang sedang ngidam saat kehamilan bapakmu dan dia menerima ganjarannya berupa hukuman seumur hidup."'
Seumur hidup?
Sempat-sempatnya kakek mengawini salah satu di antara mereka. Sepengatahuanku, hingga saat ini jasad kakek tidak tahu rimbanya. Menurut bapak, kakek tenggelam di pantai ini saat memancing. Baru aku sadar saat itu sedang menghadapi penghuni pantai ini. Aku semakin ketakutan, karena benar-benar yang sedang kuhadapi mahluk-mahluk halus.Tujuh wanita itu telah memasungku. Aku benar-benar tidak berdaya dibuatnya. Namun aku selalu ingat dimana saat itu aku berada. Batinku terus berusaha melawanya.
Tiba-tiba mereka meninggalkan aku begitu saja. Aku berteriak sekeras-kerasnya meyakinkan aku masih bisa bicara. Para pemancing menoleh ke arahku. Mereka tampak heran, kemudian tersenyum dan geleng- geleng kepala. Baru aku sadar aku sedang telanjang . Cepat-cepat kupungut pakaian di tepi sungai dan langsung kukenakan.
Hujan rintik rintik jatuh.
Aku merasa baru saja bermimpi. Segera kutinggalkan pantai Matras dengan ketakutan yang semakain mencekam.
                ***
Kembali tidak ada yang percaya.
Jasad kakek tenggelam di Pantai Matras, hingga kini tidak ditemukan karena ulah tujuh putri itu.
"Waktu itu sulit dilakukan pencarian karena cuaca sangat buruk," ujar bapak.
"Sudahlah, kenapa sih begitu percaya dengan tahayul," timpal ibu.
Aku tidak mampu meyakinkan mereka.
Hujan lebat membasahi bumi. Keheningan dicekam suara halilintar bersahutan. Debur ombak semakin keras membentur dinding pulau ini, yang menyimpan berjuta misteri.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H