Saya ingat ketika masa SMA di tahun 1980 an masih sebagai pengelola majalah dinding sekolah. Setiap kali terbit majalah dinding selalu ditunggu teman-teman yang ingin membaca puisi, cerpen, opini, editorial dan melihat karikatur.
Lingkungan sekolah bisa "memaksakan" siswa melupakan gawainya sejenak untuk aktif di majalah dinding. Mereka bisa sebagai pengelola (redaktur), penulis lepas dan pembaca.
Disamping itu, siswa juga belajar berorganisasi bagaimana mengelola media massa. Bagainana sistim kerja redaksi, dengan manajemen yang dimulai dari perencanaan hingga evaluasi.
Untuk menghidupkan kembali majalah dinding di sekolah perlu ada dorongan dari internal sekolah yakni para guru. Selain itu dari luar sekolah, seperti yang dilakukan Perpusda kabupaten Bangka dengan menggelar lomba majalah dinding antar sekolah.
Majalah dinding memang produk jadul. Tapi mengedukasi melatih anak menulis indah, menulis kata-kata dan kalimat, mendorong minat baca serta menulis dan berorganisasi.
Menghidupkan majalah dinding di sekolah, setelah mematikan gawai sejenak. Memulai membangun literasi dari sekolah, juga melestarikan produk jadul literasi yakni majalah dinding.
Salam dari pulau Bangka.
Rustian Al'Ansori
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H