Mohon tunggu...
Rustian Al Ansori
Rustian Al Ansori Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah bekerja sebagai Jurnalis Radio, Humas Pemerintah, Pustakawan dan sekarang menulis di Kompasiana

Pernah bekerja di lembaga penyiaran, berdomisili di Sungailiat (Bangka Belitung)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Membuat Sarung Ketupat Mulai Hilang dalam Keluarga

22 Mei 2020   22:10 Diperbarui: 22 Mei 2020   22:08 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak lagi melihat keluarga-keluarga di tempat saya tinggal di Sungailiat, kabupaten Bangka menjelang Idul Fitri disibukkan dengan menganyam sarung ketupat.

Tahun dibawah 2000 an saya masih melihat kesibukan keluarga-keluarga menganyam sarung ketupat. Para orang tua telah menyiapkan daun kelapa yang muda buat dianyam. Ayah dan ibu mengajarkan anak-anaknya menganyam sarung ketupat. 

Saya dan adik-adik masih duduk di sekolah dasar sudah diajarkan ayah menganyam sarung ketupat. Masih ada waktu bagi orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya. Dua hari menjelang lebaran mengisi waktu ngabuburit maupun selesai salat tarawih kita satu keluarga turut menganyam sarung ketupat.

Mengisi sarung ketupat dengan beras (dokpri)
Mengisi sarung ketupat dengan beras (dokpri)
Sedangkan Emak mengajarkan adik-adik yang perempuan mengencangkan anyaman sarung ketupat (bahasa daerah kami disebut nyingsot) sebelum di masukkan beras. Emak rajin menularkan ketrampilan yang dimiliki kepada anak-anaknya.

Setiap kali lebaran baik Idul Fitri maupun Idul Adha keluarga kami selalu membuat ketupat, bagi yang tekun mengikutinya akan lekas trampil menganyam ketupat. Ketrampilan dari orang tua itu semoga ditularkan juga kepada anak-anak mereka.

Dpkpri
Dpkpri
Untuk menularkan tradisi ini kepada anak-abak bukanlah perkejaan gampang. Meskipun telah diajak dengan menyediakan bahan serta menunjukkan kemahiran kita dihadapan anak-anak. Harus ada keinginan yang kuat dari orang tua untuk menularkan ketrampilan ini.

Menganyam sarung ketupak adalah budaya yang harus dilestarikan, bila tidak dilestarikan ketupat akan hilang dengan sendirinya karena semakin sedikit orang yang trampil menganyam ketupat. 

Selain itu ada kebiasaan yang kurang baik yakni sifat tidak mau repot. Dari pada membuat sendiri bikin repot, maka sarung ketupat dibeli saja karena banyak di jual di pasar. Di pasar Betuah dekat dari rumah saya tinggal menjelang Idul Fitri ini sarung ketupat dijual Rp 1000 per sarung.

Membeli sarung ketupat yang sudah jadi harganya murah dan tinggal mengisi beras di dalamnya. Memang praktis tapi tidak ada nilai edukasi untuk melestarikan ketrampilan menganyam sarung ketupat kepada anak-anak sebagai generasi penerus.

Memasak ketupat debgan kayu bakar mengingat kembali jaman dulu (dokpri)
Memasak ketupat debgan kayu bakar mengingat kembali jaman dulu (dokpri)
Lebaran tahun ini saya memulai kembali tradisi ini. Menganyam sarung ketupat dan mengambil daun kelapa muda dari pohonnya dilakukan sendiri lebih aman di tengah pandemi Covid-19. 

Mengajarkan anak agar mengetahui tradisi leluhurnya. Semua daerah di Tanah Air memiliki tradisi ini yakni menganyam sarung ketupan dan merebusnya hingga matang.

Jangan sampai memodifikasi sepetti makanan khas lebaran hampir serupa dengan ketupat yakni lontong dengan menggunakan pembungkus bukan dari daun tapi menggunakan plastik. Bisa jadi dikemudian hari ada sarung ketupat dari plastik. Semoga jangan sampai terjadi karena hal ini tidak menyehatkan.

Pertahankan tradisi sesuai dengan aslinya. Ketupat adalah karya seni budaya ysng layak dilestarikan generasi milenial. Untuk menghentikan sejenak berselancar di dunia maya dengan gawai dan komputernya. Meluang waktu sedikit untuk belajar menganyam sarung ketupat.

Rendang menunggu matang (dokpri)
Rendang menunggu matang (dokpri)
Saya seperti biasa melakukan hal serupa seperti yang dilakukan orang tua dulu. Merebus ketupat dengan menggunakan tungku dan kayu bakar. Dua hari sebelum lebaran ketupat kami sudah matang. Berbuka puasa hari ke 29 dengan menu ketupat dan lauk rendang serta sambal asam buatan istri.

Saya sedang menghidupkan tradisi menjelang Idul Fitri kepada anak-anak. Semoga mereka mengerti dan ingin terus melestarikan tradisi ini. Tradisi yang diwariskan leluhur bisa hilang dalam keluarga karena tidak dibiasakan. Pepatah mengatakan, ala bisa karena biasa.

Salam dari pulau Bangka.

Rustian Al'Ansori

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun