Saya tidak lagi melihat keluarga-keluarga di tempat saya tinggal di Sungailiat, kabupaten Bangka menjelang Idul Fitri disibukkan dengan menganyam sarung ketupat.
Tahun dibawah 2000 an saya masih melihat kesibukan keluarga-keluarga menganyam sarung ketupat. Para orang tua telah menyiapkan daun kelapa yang muda buat dianyam. Ayah dan ibu mengajarkan anak-anaknya menganyam sarung ketupat.Â
Saya dan adik-adik masih duduk di sekolah dasar sudah diajarkan ayah menganyam sarung ketupat. Masih ada waktu bagi orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya. Dua hari menjelang lebaran mengisi waktu ngabuburit maupun selesai salat tarawih kita satu keluarga turut menganyam sarung ketupat.
Setiap kali lebaran baik Idul Fitri maupun Idul Adha keluarga kami selalu membuat ketupat, bagi yang tekun mengikutinya akan lekas trampil menganyam ketupat. Ketrampilan dari orang tua itu semoga ditularkan juga kepada anak-anak mereka.
Menganyam sarung ketupak adalah budaya yang harus dilestarikan, bila tidak dilestarikan ketupat akan hilang dengan sendirinya karena semakin sedikit orang yang trampil menganyam ketupat.Â
Selain itu ada kebiasaan yang kurang baik yakni sifat tidak mau repot. Dari pada membuat sendiri bikin repot, maka sarung ketupat dibeli saja karena banyak di jual di pasar. Di pasar Betuah dekat dari rumah saya tinggal menjelang Idul Fitri ini sarung ketupat dijual Rp 1000 per sarung.
Membeli sarung ketupat yang sudah jadi harganya murah dan tinggal mengisi beras di dalamnya. Memang praktis tapi tidak ada nilai edukasi untuk melestarikan ketrampilan menganyam sarung ketupat kepada anak-anak sebagai generasi penerus.
Mengajarkan anak agar mengetahui tradisi leluhurnya. Semua daerah di Tanah Air memiliki tradisi ini yakni menganyam sarung ketupan dan merebusnya hingga matang.