Kondisi itu tidak bisa disalahkan kepada yang sedang berkuasa, namun sebagai konsekwensi untuk PNS yang telah mempertaruhkan dirinya dalam pertarungan poltik. Isu menduduki jabatan harus membayar sejumlah uang juga sempat mencuat dikalangan PNS. Benar-benar PNS telah direndahkan.
Bila penempatan pejabat masih mempertibangkan karena pertimbangan suka ataupun tidak suka, bukan karena pertimbangan profesionalisme sulit akan terwujudnya ASN yang profesional. Termasuk dalam pelaksanaan pemerintahan, seperti dalam mendelegasikan tugas dan penempatan jabatan kepada bawahan bila masih ada pertimbangan suka maupun tidak suka akan melahirkan friksi-friksi.Â
Pengkotak-kotakan yang terbentuk dikalangan birokrat akan bermuara kepada perpecahan. Dendam poltik tidak akan pernah berkesudahan. PNS tetap akan menjadi korban.
Menempatkan PNS sebagai seorang profesional adalah cara yang terbaik untuk mecegah PNS tidak terlibat politik praktis. Aturan ASN bila benar-benar ditegakkan dan PNS kembali kepada fungsinya sebagai pelayan publik akan terhindar dari dendam politik. Demikian pula para pejabat politik yang menang dalam Pilkada untuk tidak mengajak PNS berpolitik praktis dengan mengiming-imingkan jabatan.
Para calon Bupati dan Wakil Bupati seperti daerah saya di Bangka Belitung yang akan mengikutki Pilkada setelah pandemi, memeliki peran untuk tidak mengajak dan menolak PNS berpolitik praktis. Termasuk mencegah fenomena berpindahnya PNS ke suatu daerah karena kubu yang didukungnya menang.Â
Begitu pula sebaliknya. Ada baiknya aturan penerapan lelang jabatan seperti yang diatur dalam UU tentang ASN, dilakukan dengan seleksi yang transparant bukan hanya sekedar simbolis saja untuk memenuhi atruran akan terjaring pejabat tinggi yang profesional dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik dan apartur yang bersih.
Fenomena yang terjadi saat beberapa Pilkada sebelumnya, PNS ikut-ikutan memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon, kendati secara diam-diam. Namun ada pula yang mengambil posisi berada disemua calon atau disebut dengan menggunakan istilah politik dua kaki. Jadi siapa pun yang menang ia akan selamat, kalau tidak ketahuan.
Sedangkan untuk PNS yang menempatkan dirinya sebagai profesional, dalam posisi netral akan menunggu dalam ketidakpastian akan dipakai atau tidak penguasa yang memenangkan Pilkada.
Pilkada usai. Bupati dan wakil bupati sudah diketahui siapa yang menang dari hasil penghitungan suara. Masihkah aksi dukung-mendukung itu terjadi? Ini bisa dilihat ketika calon Bupati dan Wakil Bupati yang menang Pilkada dulu pernah berkuasa di suatu kabupaten, sejumlah PNS yang menduduki jabatan tinggi pergi meninggalkan daerahnya namun setelah mengetahui calon yang dulu pernah didukung 5 tahun lalu menang tidak menutup kemungkinan akan kembali PNS yang dimaksud pulang kampung.Â
Semoga saja para Bupati dan Wakil Bupati yang terpilih dalam dapat menerapkan aturan UU ASN dalam menetapkan pejabat tinggi, untuk dapat menjaring PNS yang profesional kompeten dibidangnya, bukan karena hubungan politis.
Regulasi ASN, bila ditegakkan akan menjadikan PNS yang profesional sesuai dengan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, perekat dan pemersatu bangsa. Saatnya PNS memasuki era terbebas dari dendam politik. Tinggal sekarang ASN bersikap dan menempatkan posisi dalam jebakan ataukah dijebak, bagaikan posisi serba salah "maju kena mundur kena."Â