Setiap kali peringatan Hari Guru Nasional 25 November, saya kembali ingat guru - guru yang telah membuat saya berilmu. Diantaranya guru di SD, ibu Zubaidah yang mengajar saya menulis dikelas 1 hingga bisa menulis. Di SMA ada ibu Sembiring yang mengajarkan bahasa Indonesia, ia sudah meninggal dunia. Saya ingat pesan ibu bahwa, agar saya menekuni sastra karena ia melihat puisi saya sering muncul di majalah dinding sekolah. Hanya tertimakasi dan doa saya selalu ucapkan untuk para guru. Tapi Minggu pagi (25/11) saya mendengarkan curhatan seorang ibu yang putranya tercatat sebagai siswa di salah satu SD Negeri di wilayah kecamatan Pemali, kabupaten Bangka.
Ibu ini mengungkapkan para orang tua siswa  tempat anaknya bersekolah dikumpulkan pihak sekolah dalam suatu pertemuan, namun saat pertemuan itu berlagsung tidak banyak yang hadir. Biasanya dalam pertemuan seperti itu, pihak SD Negeri itu selalu meminta kesediaan orang tua siswa memberikan sumbangan untuk kegiatan tertentu. Kepala Sekolah dalam pertemuan itu kembali seperti biasa meminta agar orang tua siswa memberikan sumbang kepada sekolah karena akan membangun taman. Sekolah tersebut memiliki program sekolah hijau.
Yang jadi pertanya si ibu siwa itu, sumbangan yang diajukan pihak sekolah dengan jumlah tertentu yakni ditetapkan Rp 100 ribu per siswa.Â
" Kalau sumbangan, kan sukarela sesuai dengan kemampuan," kata si ibu.
Saya balik bertanya," kalau keberatan mengapa waktu pertemuan itu tidak menolak."
Si ibu takut bila menolak dengan  menyampaikan keberatan dalam pertemuan itu, hawatir berdampak kepada putranya akan menjadi sasaran pihak sekolah karena tidak menyukai sikap penolakannya.Â
Pihak sekolah juga menambahkan, setelah sumbangan Rp 100 ribu untuk setiap siswa, akan dilanjutkan dengan sumbangan berikutnya karena pihak sekolah akan membangun musholah. Untuk tawaran kali ini, ada orang tua siswa yang protes, karena menilai  tidak perlu membangun musholah mengingat sekolah itu terletak berdampingan hanya dibatasi pagar dengan masjid yang paling besar di desa itu.
Kepala sekoah berkelit, ia mengatakan bila siswa sholat di masjid besar itu akan mengotori masjid. Masih kata si ibu tadi.Â
Banyak siasat sekolah untuk menarik uang dari para orang tua siswa, dengan bersembunyi dalam kata - kata sumbangan. Memungkinkan masyarakat memberikan bantuan untuk pendidikan, karena itu tertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Bila sumbangan tidak ditetapkan tarifnya, kalau ada tarif berarti  paksaan sama saja namanya dengan  pungutan liar (pungli).  Jadi pihak sekolah untuk berhati - hati, bila tidak akan terjerat kasus pungli. Apa lagi saat ini saber pungli di tingkat pusat hingga daerah terus memantau. Jangan sampai jadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) Saber Pungli.
Sebenarnya pungli itu rawan terjadi di lembaga pendidikan, khususnya sekolah negeri. Sempat di daerah saya  juga terjadi ketika tahun lalu ketika urusan SMA diserahkan kepada Pemda Provinsi. Sejumlah sekolah kualahan harus membayar guru honor dan tenaga honor lainnya, karena pihak Pemprov tidak memfasilitasi itu. Munculah gagasan pihak sekolah untuk meminta iuran dari orang tua siswa, namun tidak dapat dilaksanakan karena aparat penegak hukum yang diajak dalam pertemuan itu menyatakan, tindakan itu pungutan liar ( pungli ).
Banyak yang saya temukan terjadi kasus pungli di sekolah - sekolah, diantaranya ketika siswa lulus sekolah ada pihak sekolah meminta biaya untuk upah menulis ijazah. Ada pula ketika sebuah SMP Negeri, Kepala sekolahnya saat melegalisir ijazah siswa yang lulus meminta uang Rp 10 ribu setiap siswa. Jadi pungli itu bisa saja dilakukan pihak sekolah dengan berbagai - bagai modus. Namun banyak yang tidak terungkap karena tidak ada yang melaporkan ke pihak yang berwajib.Â
Inilah kenyataan bahwa guru kita dalam lingkaran pungli. Selain itu pihak sekolah khususnya sekolah negeri yang mendapat subsidi dan anggaran lainnya dari pemerintah untuk berhati - hati memungut sumbangan kepada orang tua siswa. Pemerintah sudah menyediakan dana BOS, untuk operasional sekolah namun masih ada kasus guru yang terjerat hukum karena penyelewengan dana itu.
Diperingatan hari guru ini, seperti yang saya ungkapkan tadi hendaknya jadi bahan renungan. Jangan sampai guru yang mengajarkan ilmu kepada para siswa, namun juga dapat menjadi teladan sehingga bisa ditiru. Saya rasa, dalam kondisi ini sebaiknya dalam menarik sumbangan untuk berhati - hati. Saya punya solusi, yang paling aman yakni agar sekolah dalam menarik sumbangan pendidikan agar tidak terjerat permasalahan hukum, buat saja kotak sumbangan pendidikan di sekolah yang bisa diisi orang tua maupun siswa dengan sukarela. Seperti halnya masjid ada kota amal, yang setiap menjelang sholat Jumat diumumkan pertanggungjawaban penerimaan dan penggunaan dana sumbangan jemaah.
Saya merasakan, sejak dimulainya Pilkada secara langsung tahun 2007 di daerah saya Bangka Belitung para calon Kepala Daerah selalu menyampaikan salah satu janjinya menggeratiskan pendidikan dari SD hingga SMA. Tapi kenyataannya anak saya di SD saja tetap saja bayar, tidak ada SPP tapi ada iuran komite. Tetap saja sekolah tidak gratis. Janji itu terbukti bohong.
Semoga saja sekolah dan guru kita tidak terjerat permasalahan hukum hanya karena pungli, walau Rp 1000 saja. Jangan paksakan program di sekolah bila tidak ada dana. Jangan pula paksakan siswa dalam penarikan sumbangan dengan jumlah tertentu, karena masih banyak keluarga yang tidak mampu (miskin). Selamat Hari Guru Nasional.
Salam dari pulau Bangka.
Rustian Al Ansori
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H