Serangkaian gelaran Ijtima' ulama yang dilaksanakan yang diprakarsai oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPFU), Persaudaraan Alumni 212 dan Front Pembela Islam (FPI) serta di dukung oleh tokoh-tokoh nasional serta banyak ulama dari seluruh Indonesia sejak awal digelar menyikapi banyaknya masalah yang dihadapi bangsa ini khususnya umat islam.
Ijtima ulama yang pertama, menekankan ada 4 masalah terbesar yang dihadapi umat islam Indonesia yakni bidang politik, ekonomi, dakwah dan kelembagaan. Dalam bidang politik hasil ijtima' menghasilkan rekomendasi calon pemimpin nasional yakni kriteria pemimpin dan pejabat publik yang didukung umat islam, program-programnya yang ditawarkan berdampak baik untuk kemaslahatan  ke umat islam dan merekomendasikan dukungan calon presiden pilihan ulama, karena momentumnya berdekatan dengan pilpres 2019.
Tidak bisa dipungkiri peran ulama selama ini terkadang hanya dijadikan sebagai endorsement oleh penguasa dan tidak diberikan peran langsung yang besar dan menjadi rujukan pemerintah dalam mengambil keputusan.Â
Sebab ulama adalah sosok yang sangat berperan besar sejak kemerdekaan bangsa Indonesia hingga kini. Akibat ulama tidak dijadikan rujukan dalam mengambil keputusan penting untuk masyarakat maka banyak kebijakan yang berpihak pada para kapitalis dan merugikan masyarakat. Kemudian hasil ijtima' dalam bidang ekonomi merekomendasikan komite pengurusan ekonomi umat islam seperti koperasi syariah 212.Â
Dalam bidang kelembagaan dan dakwah direkomendasikan agar umat islam terbebas dari buta aksara Al-quran dan serta meningkatkan pembinaan generasi muda agar lebih taat pada ajarannya.
Sedangkan ijtima' ulama kedua lebih pada, menghasilkan tindak lanjut pilihan politik ulama menjelang pilpres yakni penandatangan kesepakatan 17 poin pakta integritas dengan Prabowo-Sandi sebagai calon presiden hasil ijtima'.Â
Ijtima' ulama  ketiga, menyikapi hasil pemilu yang dinilai banyak terjadi kecurangan dan kejahatan bersifat terstruktur, sistematis dan masif dalam proses penyelenggaraan pemilu 2019.
Menarik  menganalisa hasil  Ijtima' Ulama yang ke empat, yang dilaksanakan di Hotel Lorin Sentul (5/8/2019). Para ulama berkumpul tanpa melibatkan tokoh politik dan menghasilkan empat poin pertimbangan yang menjadi dasar delapan putusan hasil Ijtima Ulama.Â
Salah satu poin yang menurut saya adalah gebrakan dengan mengeluarkan putusan memperjuangkan negara bersyariah dan khilafah adalah ajaran islam. Sebuah kesepakatan yang membuat kaum nasionalis sekuler bergolak dan menolak mentah-mentah.Â
Apalagi berbicara masalah khilafah masih dijadikan momok yang menakutkan oleh sebagian orang yang belum paham dan dianggap sebagai ancaman dinegara Indonesia.
Hasil putusannya menurut saya merupakan arah baru perjuangan politik islam atau lebih tepatnya para ulama bersepakat untuk kembali memperjuangkan syariat islam sebagai landasan bernegara. Sebenarnya hal itu bukan hal yang baru.Â
Sebab awal pembentukan dasar hukum negara Indonesia memang sudah menjadi perdebatan apakah dasar negara Indonesia berlandaskan syariah atau tidak. Hal ini mengingatkan kita bagaimana usaha Ulama memperjuangakan The Djakarta Charter atau piagam Jakarta yakni pada sila pertama, ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya.Â
Namun beberapa kalangan memprotes kalimat ini dan menolak negara berlandaskan agama tetapi menjadi negara bangsa. Akhirnya disepakati sila pertama "Ketuhanan yang Maha Esa".
Bung Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) "Pada waktu itu kami menginsyafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan menggantikannya dengan berbunyi "ketuhanan yang maha esa". Hal-hal yang mengenai syariat Islam yang berhubungan dengan kepentingan Umat Islam menurut hatta dapat diajukan kembali kepada DPR dan diatur dalam bentuk undang-undang".
Saya membayangkan semangat Piagam Jakarta menjadi spirit dalam Ijtima' Ulama IV dengan kembali memperjuangkan landasan syariah dalam bernegara. Bahwa memperjuangkannya tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku di Indonesia, apalagi sampai dicap sebagai kelompok yang radikalis.
Memang sebagian tokoh nasional masih memandang sebelah mata dari hasil Ijtima' Ulama dan berpendapat bahwa mereka adalah kumpulan ulama sakit hati karena jagoannya kalah dalam pilpres namun sebenarnya Ijtima' Ulama tidak bisa dipandang remeh karena dibelakangnya ada umat Islam dari alumni 212 yang mendukung.Â
Mengutip pendapat Rocky Gerung "gerakan 212 bukan permainan politik Prabowo, tidak memperoleh legitimasi di Monas, gerakan 212 merupakan teks sosial bangsa ini yang jauh hari sebelum dasar negera ini ada mereka perjuangkan yang disebut Piagam Jakarta".
Menarik mengikuti perkembangan dinamika bangsa ini. Apalagi setelah digulirkan lagi wacana perjuangan NKRI bersyariah tentu akan menjadi prokontra di masyarakat. Diterima atau tidaknya konsep ini pasti bermuara di masyarakat dan perjuangan ulama harus sesuai dengan koridor hukum yang ada di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H