Bangsa Batak termasuk suku pengembara atau perantau. Tentu saja banyak juga suku (bangsa) yang lebih dikenal sebagai suku (bangsa) perantau semisal Padang dan Cina. Di mana ada tampak matahari, katanya, di situ ada bangsa Cina. Maka tak heran, seperti di kota kecil Siborong-borong saja, tak sulit menemukan orang Padang atau saudara sebangsa keturunan Tionghoa. Namun, tampaknya di era ini, hampir semua suku (bangsa) sudah menjadi pengembara karena terlebih demikian canggihnya teknologi informasi dan komunikasi. Semuanya serba dekat. Hampir saja sekat ruang dan waktu seolah tertembus. Dan bahkan bumi pun tak lagi dianggap bulat. Tapi datar, seolah kembali ke konsep kuno.
Menariknya, ketika saya mengutak-atik kamus elektronik yang tersimpan di note-book, saya menemukan ini: “batak n Sas petualang; pengembara; membatak v 1 bertualang; melanglang; mengembara; 2 merampok; menyamun; pembatak n perampok; penyarnun.“ [i] (ditorehkan “penyarnun”. Barangkali maksudnya “penyamun”). Alangkah terkejutnya saya, bahwa “batak” secara semantic tidak hanya berarti sebagai petualang atau pengembara. Tetapi juga perampok atau penyamun!
Saya jadi teringat pendapat teman -- entah dari literature atau dapat darimana teman saya ini dapat -- bahwa memang, dulunya “batak” memang ungkapan untuk sesuatu yang buruk, yaitu penyamun. Segeralah saya agak merasa inferior. Banyak orang Batak mendapat reputasi yang buruk. Mulai dari watak keras, gaya ber(bahasa) sarkastis, sampai beberapa orang yang terjerat kasus menjarah dan merampok uang rakyat. Korupsi. Tentulah, para kompasianer dan pembaca langsung mengungkap beberapa atau sejumlah nama. (Bisa diungkap dengan berbisik. Timbul di benak atau bahkan berteriak! hehehe…). Namun, segeralah saya teringat, akan orang-orang Batak yang bahkan terkenal dengan integritasnya. T. B. Simatupang, putra Batak yang saya kagumi. Ada sederetan orang Batak yang juga tokoh nasional atau negarawan mulai dari zaman sebelum dan sesudah kemerdekaan. Tapi, tampak-nya, belum ada tokoh sekaliber dan seber-dedikasi T. B. Simatupang saat ini.
Merantau
Sudah sejak lama, merantau dipandang sebagai kebiasaan pemuda (juga pemudi) yang telah dewasa. Mereka akan meninggalkan kampung halaman, pergi jauh ke pulau atau benua seberang, untuk mengadu nasib atau penghidupan yang lebih menjanjikan. Atau bisa juga sekedar berpetulang, mencari pengalaman dengan melawat negeri lain yang dianggap menarik.
Biasanya, kalau seorang pemuda akan merantau, akan diberangkatkan dengan acara keluarga sebagai doa pemberangkatan. Bila perlu, dibuat acara makan bersama dengan mengundang kerabat dekat yang juga tetangga. Orang tua biasanya akan memberi nasihat yang disebut dengan “poda”. “Poda” inilah yang menjadi “podang”, dalam bahasa Indonesia, “pedang”. Iya, nasihat itu menjadi perbekalan dan senjata bagi calon perantau.
Tentulah tidak ketinggalan para seniman. Mereka menuangkan poda ke dalam lagu. Poda yang sekaligus menjadi podang dibalut dengan karya seni. Nada dan kata dirangkai menjadi untaian suatu lagu yang akan tertoreh di hati para pendengarnya. Barangkali akan abadi.
Demikianlah ada suatu lagu berjudul “Poda”. Dan maafkanlah saya, karena tidak tahu penciptanya siapa. Saya paling suka lagu ini dengan aransemen Viky Sianipar dengan penyanyinya Edo Kondologit, penyanyi berdarah Papua. (Dan sekarang pun, Pak Edo sedang bersenandung lirih ketika artikel ini kuketik. Begitu menjiwa roh lagu-nya). Namun bukanlah lagunya yang akan saya gemakan. Tapi liriknya saja yang akan saya gubah dalam bentuk sajak. Barangkali tak akan sebagus harapan penciptanya. Dan memang demikianlah adanya. Kita tak bisa membuat yang terbaik di mata semua orang. Terbaik berdasarkan ukuran baku, secara universal. Tapi kita bisa membuat yang terbaik dari dalam diri kita. Tak ada kesempurnaan yang bisa kita perbuat. Yang ada hanya rencana (dan usaha yang mengarah ke) kesempurnaan.
Poda
Angur do goarmi anakhon hu/ Songon bunga bungai, na hussusi /Molo marparange na denggan do ho/ Diluat na dao i. Jala ikkon ingot do ho/ Tangiang i do parhite-hitean i/ Di ngolu mi, o tondiku
Unang sai mian jat ni roha i/ di bagasan rohami/ Ai ido mulani sikkam mabarbar/ Da hasian. Ikkon serep ma ho/ Jala pantun maradophon natua-tua/ Ai ido arta na ummarga i, Di ngolumi.
Ai damang do sijujung baringin/ di au, Amang-mon/ Jala ho na ma silehon dalan/ di anggi ibotomi
Ipe ingot maho amang/ Di hata podakhi/ Asa taruli ho di luat Sihadaoani
Molo dung sahat ho tu tano parjalangan mi/ marbarita ho amang/Asa tung pos rohani damang nang dainangmon/ Ditano hatubuan mi[ii]
Dan beginilah sajaknya:
Harumlah namamu, Ananda, laksana semerbak bunga-bungaan
jikalau, berlaku bajik dirimu, di tempah nun jauh di mata.
Ingatlah selalu, doa yang jadi penuntun
Dalam hidupmu, Oh, jiwaku
*
Janganlah ada genangan cela,
Walau sedikit dalam benak-mu
Itu ‘kan jadi awal kehancuran
Ananda kekasih hati-ku
*
Haruslah rendah hati, hormat kepada yang lebih tua,
Sayang kepada yang muda,
Si rendah hati si pemilik bumi, Si hormat si lanjut usia,
Kasih dan tulus-ikhlas yang terbesar
Itulah kebajikan, itulah harta terbesar
*
Ananda-lah yang menjunjung mulia
Atas nama Ayahanda,
Ananda-lah yang jadi teladan
Akan Adinda-mu yang kau-sayang
*
Ingatlah akan doa dan nasihat, jaya-lah di negeri yang Ananda lihat
*
Jikalau telah tiba di negeri yang Ananda lawat, segeralah kirim kabar-mu,
Pun tentram batin Ayah-bundamu, di bumi kelahiran-mu.
.
Ironi dan Akhir …
*
Entah mengapa, setelah saya selesaikan sajak-nya, serasa tua-rentalah diri ini. Berumur setengah abad dengan si-sulung yang minta berpetualang, abroad. Padahal masih seperempat abad. Dan lajang pula. Dan tentulah tak selayaknya memberi nasihat. Saya ‘kan hanya menulis? (hehehe…). Lagian saya tinggal di kampung kok. Tinggal sama orang tua. (Dan bapak saya baru saja ingatkan biar bobo. Bobo? Oh menggelikan, :lol: ).Tidak sedang merantau. But, when the day has come, bisa jadi.
*
Demikianlah, sajak ini saya persembahkan kepada para (calon) perantau di seluruh penjuru negeri. Yang kere atau tajir, yang kurus atau tambun, pengajar, pelajar atau perlu diajar. (hampir saja ku-ketik kurang ajar. Nampak saya terkesan kurang ajar sekali ini). Dan tentu-nya, teristimewa buat para kompasianer perantau!
*
Catatan: Yth. Admin, Saya memang sengaja melayangkan artikel ini di kolom social budaya. Bukan fiksi. Terima kasih!
.
With Love and Honour!
:-)
Di suatu tempat, dingin dan berbukit. RES; 18/09/2012.
[i] Kamus Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008
[ii] Terjemahan bebas:
Nasihat
Akan harumlah nama-mu anakhu/ seperti bunga-bungaan, yang wangi/ kalau berlaku baik diri-mu/ di tempat (daerah) yang jauh itu. Dan harus ingatlah dirimu/ doa itu yang jadi jembatan/ pada kehidupanmu, oh jiwaku.
Jangan biarkan pikiran yang kurang baik/ di dalam hati-mu/ Itu yang akan menjadi sumber bencana/ kekasihku. Haruslah rendah hati/ dan hormat kepada orang tua/ itulah yang paling berharga, dalam hidupmu.
Anandalah yang pembawa nama baik/ terhadap aku, Ayah-mu ini/ Dan kamu-lah yang memberikan jalan/ untuk adik (laki-laki) dan saudari-mu.
Dan ingatlah, Ananda/ Atas kata, nasihat-ku/ Supaya berhasil di tempat (daerah) yang jauh itu.
Kalau kamu sudah sampai di tanah rantau itu/ kirim berita, Ananda/Biar tenang Ayahanda dan Ibunda-mu/ di tempat kelahiranmu ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H