Dalam beberapa tahun terakhir, mobil listrik (EV atau Electric Vehicle) telah memasuki tren global. Dengan janji untuk mengurangi emisi karbon, mobil listrik mendapatkan perhatian besar dari pemerintah dan industri otomotif.
IEA (International Energy Agency) mencatat penjualan mobil listrik global mencapai angka 14 juta pada tahun 2023, dengan mobil listrik mencakupi 18% dari pembelian mobil baru. Di Indonesia, pasar mobil listrik juga terus berkembang. Dengan kehadiran merek-merek seperti Hyundai, Wuling, dan BYD yang mulai meraih pasar domestik. Pemerintah juga telah mendorong penggunaan mobil listrik melalui insentif pajak dan kebijakan bebas ganjil-genap.
Namun di balik optimisme tersebut, muncul sejumlah pertanyaan mengenai ketepatan penggunaan mobil listrik. Terutama dalam topik menjaga lingkungan.
Penambangan di Balik Baterai
Baterai merupakan komponen inti yang mendefinisikan mobil listrik. Penggunaan baterai dipromosikan sebagai langkah untuk mengurangi emisi karbon. Baterai mobil listrik umumnya terbuat dari litium, kobalt, dan nikel. Namun, pembuatan baterai mobil listrik tidak terlepas dari berbagai tantangan lingkungan dan sosial, terutama terkait penambangan bahan baku utamanya, yaitu litium, kobalt, dan nikel.Â
Proses penambangan bahan-bahan ini memiliki dampak yang signifikan, baik pada ekosistem maupun pada masyarakat lokal di sekitar lokasi tambang. Penambangan litium, membutuhkan air dalam jumlah besar, mencapai hingga 500.000 galon per ton litium yang diproduksi.Â
Aktivitas ini dapat menyebabkan penurunan drastis sumber daya air di daerah-daerah seperti Bolivia, Chile, dan Argentina, wilayah yang dikenal sebagai "Segitiga Litium." Selain itu, penambangan kobalt dan nikel sering dilakukan di area dengan keragaman hayati tinggi, seperti hutan tropis di Afrika, yang rawan terhadap deforestasi dan degradasi lingkungan.
Kesulitan Pengelolaan
Baterai mobil listrik umumnya dapat bertahan selama 10-20 tahun. Setelah masa pakainya berakhir, limbah baterai menjadi hal yang sulit dikelola. Bahan-bahan seperti litium, kobalt, dan nikel berpotensi mencemari lingkungan. Namun, proses daur ulang baterai pad saat ini masih terbatas, dan hanya sebagian kecil dari bahan yang ada di dalam baterai yang dapat dipulihkan. Biaya dan energi yang diperlukan untuk mendaur ulang baterai menjadi tantangan sendiri.
Hanya sebagian baterai dapat didaur ulang, sisanya dibuang dan ditinggalkan. Negara-negara seperti Republik Demokratik Kongo menjadi pusat pembuangan limbah elektronik. Dampaknya, terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang luas.