Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rusman: Wayang, Mendung di Keraton Mandaraka (2)

1 November 2018   12:43 Diperbarui: 22 Mei 2019   13:53 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terimalah aji Candrabirawa ngger !

Malam itu suasana di sekitar pertapaan Argobelah semakin larut. Sejak senja tiba tadi sang Begawan Bagaspati memasuki sanggar pamujan. 

Di sudut yang telah terbiasa ia tempati itu pandita yang berwujudkan raseksa itu duduk bersila. 

Kedua tangannya bersedekap, matanya telah terpejam dan sudah sejak tadi pula raga sang begawan bagaikan tanpa penghuni, kosong.

Sukmanya seolah menggembara mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Di saat itulah tiba-tiba hal yang tidak terduga sama sekali terjadi. 

Perjalanan sukma Bagaspati terhenti oleh seorang buta bajang yang berdiri didepan dengan tangan terentang.

Wujud fisik dari aji candrabirawa yang konon merupakan jelmaan dari selongsong kulit hyang Anantaboga  itu menangis sejadi-jadinya. 

Sedulur seribu itu tak mau lepas dari raga orang yang dikaguminya, yaitu sang Bagaspati.

Mewakili dulur sewu, buta bajang yang mukanya mengerikan ini tak mau ditinggalkan pemiliknya.

Selama ini mereka telah merasa damai dan berlindung di tubuh orang yang suka bertirakat ini.

"Aku emoh bapak... tidak mau kau tinggal pergi.. aku ikut bapak !"

"Ojo kaya bocah cilik Birawaa.. jangan seperti anak kecil..."

"Tidak bapaak.. jangan pergi dari kami bapaak..!"

"Sudah waktunya aku harus pisah denganmu, hai Birawaaa!"

"Aduh bapak... terus ikut siapa aku..?"

Buto bajang yang bisa berubah semakin banyak jumlahnya itu tak kuasa menahan tangisnya. Suaranya meraung-raung memenuhi ruang pamujan.

"Hai Birawa.. kau dan saudara-saudaramu aku ikutkan menantuku si Narasoma."

"Emoh bapak.. aku tak mau dengan satriya yang sombong itu."

"Birawaaa.., kalau kau setia pada Bagaspati ikutilah perintahku. Aku titipkan pada kalian putriku si Pujowati yang sekarang telah menjadi istri si Narasoma." 

Berkata begitu begawan yang hatinya lembut itu tak kuasa menitikkan air mata. 

Teringat olehnya bahwa anak itu sudah ditinggalkan ibunya sejak masih kecil.

Ibunya, Dewi Darmastuti yang seorang bidadari itu harus mengikuti takdir kembali ke kahayangan setelah melahirkannya.

Selama puluhan tahun pula dirinya sebagai ayah telah mengasuhnya dengan penuh kasih sayang. Bahkan tidak jarang  si gadis kelewat agak manja. 

Siang malam aku telah meminta pada Yang Maha Kuasa agar kelak putri semata wayangku ini diberikan kebahagiaan. 

Dan kini ketika takdir mempertemukannya dengan sang pujaan hati, ooh rasanya matipun aku sudah sangat rela.

"Heee.. Birawaa..! Apa kau masih percaya pada buapakmu Bagaspati ini hee..?"

"Yaa bapak.. aku percaya sekali bapak."

"Kalau begitu untuk terakhir kalinya aku perintahkan, hai Birawaa.. jangan membantah. Ikutlah pada menantuku dan jaganen si genduk Pujowati"

"Bapaaak...! Candrabirawa menjerit saat di matanya tak nampak lagi orang yang sangat dikasihinya itu. 

Bersambung ke link berikut:

https://www.kompasiana.com/rusrusman522/5bdb9312aeebe1282d2b6b93/wayang-mendung-di-keraton-mandaraka-3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun