Raden Ngangsarpun kemudian duduk disebuah kursi kayu disisi pembaringan Raden Sekartanjung. sementara yang lain berdiri selangkah di belakang Raden Ngangsar.
"Kakanda," tiba-tiba saja Raden Ngangsar berdesis. Ada sesuatu yang terasa menghangati kerongkongannya.
Raden Sekartanjung tersenyum. Katanya, "Bagaimana keadaanmu dinda, apakah kau baik-baik saja?"
Raden Ngangsar mengangguk. Mau tidak mau air mata telah membasahi pipinya. Jawabnya, "Ya kakanda, aku baik-baik saja. Kau harus segera sembuh kakanda, kasihan anak-anak yang masih kecil."
"Jangan menangis Dinda, "kata Raden Sekartanjung lemah, "Kau seorang lelaki. Bukankah Ramanda Balewot mengajarkan pada kita untuk bisa tegar menghadapi segala cobaan?"
"Ya kanda. Ma'afkan adikmu ini, yang tidak bisa menjaga keselamatanmu," jawab Raden Ngangsar sambil menangis.
Raden Sekartanjung menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Lukaku memang parah. Kau berada agak jauh dari tempatku sholat waktu itu. Tetapi segala sesuatu tentang hidup seseorang tergantung sekali kepada Yang Maha Kuasa. Dan aku tidak akan ingkar akan setiap keputusan yang diambil-Nya tentang diriku. Sekarang, besok atau lusa."
"Ah,"desah Raden Ngangsar, "Kita semua di sini tentu akan berusaha banyak untuk menyembuhkan kakanda."
Raden Sekartanjung tersenyum. Katanya, "Aku sangat berterima kasih kepada segala pihak. Kepadamu juga. Dinda permaisuri yang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meringankan penderitaanku. Kepada paman dan bibi tabib. Kepada semuanya yang telah merawat aku dengan sebaik-baiknya selama aku sakit ini."
"Kakanda akan sembuh." potong Raden Ngangsar.
Tetapi Raden Sekartanjung tersenyum pula. Dengan suara tertahan ia berkata, "Jangan seperti kanak-kanak Dinda Ngangsar, seolah-olah kita dapat menahan putaran hidup tentang diri kita masing-masing. Tetapi itu bukan berarti aku tidak mau berusaha. Aku masih tetap minum dan makan semua obatku. Memang segalanya dapat terjadi. Dan aku akan menerima apa saja dengan hati yang lapang."