Namun hal yang terjadi di hari berikutnya ternyata tidak kalah mengejutkan. Tuban kembali digegerkan oleh peristiwa yang mengerikan. Di pagi hari yang masih agak gelap di sudut kota telah ditemukan sesosok mayat yang ternyata terbunuh dengan menggunakan sebuah keris. Anehnya korban yang sudah berusia lanjut itu terbunuh dengan keris Kyai Layon, senjata pusaka milik keraton Tuban.
"Ada mayat .., ada mayat!" teriak seorang pedagang yang hendak pergi ke pasar. Kontan teman-temannya yang berjalan tidak jauh dari lelaki itu segera mengeributi pula.
Keadaan itu segera terdengar oleh petugas kadipaten, dan tidak lama kemudian seorang perwira jaga disertai beberapa orang prajurit dating dan mengamankan mayat tersebut.
Sungguh merupakan peristiwa yang misterius bagi sebagian besar orang Tuban, meskipun tidak bagi Raden Sunan dan Raden Ngangsar sebab ternyata orang yang terbunuh itu tidak lain adalah Ki Guru Ngangsar.
Tuban sedang berduka dan dicekam ketakutan yang luar biasa, meskipun sebagian masyarakat masih bisa mengucap syukur karena junjungan mereka Raden Sekartanjung ternyata masih bisa diselamatkan.
Setelah dua peristiwa besar itu, kini Sang Adipati mendapatkan perawatan yang sungguh-sungguh di biliknya. Tabib istana yang laki-laki maupun perempuan tak henti-hentinya menjaga dan merawat, di samping para pengawal yang menjaganya dengan sangat ketat pula.
Sedangkan Permaisuri dan Raden Ngangsar secara bergantian menunggui kakaknya pula. Raden Ngangsar terperanjat ketika tiba-tiba ia mendengar kakandanya berbisik, "Masuklah."
Dengan ragu-ragu Raden Ngangsar melangkah masuk. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia kemudian melihat Kakandanya memiringkan kepalanya.
Seleret senyum membayang diwajah yang pucat itu. Kemudian terdengar suaranya parau dikerongkongan, "Kau ada di sini Dinda Ngangsar."
Rasa-rasanya dada Raden Ngangsar bagaikan bergetar. Suara Raden Sekartanjung yang lemah, dalam dan parau itu. bagaikan pertanda yang baru padanya tentang keadaan kakak kandungnya itu.
Perlahan-lahan Raden Ngangsar melangkah mendekati tubuh kakaknya. Sementara di dalam kamar terdapat juga kakak iparnya Nyi Mas Ayu dan seorang wanita setengah tua yang merupakan tabib istana. Sementara si jejaka kecil Pangeran Pemalat masih tetap berdiri diluar. Ia telah dipesan ibundanya untuk berada di dekat pintu kamar saja. "Kecuali kalau ibu panggil karena ayahanda memerlukanmu,"begitu pesan ibunda yang diingat Pangeran kecil ini. Lagipula adik Salampe yang sedang bersama pengasuh mungkin ingin mengajaknya bermain pula.