Ketika Raden Patah meminta ayahanda Raja Majapahit untuk berkenan datang ke Demak dengan cara mengutus dua pembantunya yaitu Ki Wira dan Ki Pinunjul, maka Sang Brawijaya itu tidak berkenan datang. Namun sebagai bukti bahwa sang Raja merestui berdirinya Kesultanan Demak beliau menitipkan bumbung kecil agar disampaikan kepada putranya.Â
Sayang sekali saat kedua utusan itu beristirahat benda tersebut berhasil dicuri oleh seorang wanita cantik di hutan Gembul di daerah Montong Tuban. Ki Wira dan Ki Pinunjul agaknya tidak mampu mengimbangi kemampuan lari sang pencuri sehingga kehilangan jejaknya. Karena lelahnya Ki Pinunjul tertidur dan bermimpi didatangi lelaki yang berpakaian hitam-hitam yang memberikan petunjuk agar Pinunjul datang ke suatu tempat.
Rembulan kian merambat ke tengah ketika Ki Pinunjul mengakhiri sholatnya. Seperti biasa pemuda itupun meneruskan dengan membaca do'a (dzikir). Tapi pendengarannya yang tajam mendengar suara yang mencurigakan. Awalnya pemuda ini kurang menghiraukan, siapa tahu hanya suara dedaunan yang  tertiup angin, pikirnya. Tetapi semakin lama suara itu menjadi kian jelas.Â
Seusai melakukan dzikir pemuda itu lantas mencari tempat dari mana asal-usul suara tadi. Dia sengaja melangkah dengan sangat hati-hati, agar tidak menimbulkan suara.
"Aih !" Hampir saja lelaki itu terpeleset ketika kaki kirinya menginjak lahan yang kosong. Untunglah pemuda ini cukup gesit untuk meloncat ke belakang. Setelah diamati ternyata sebuah sumur liar yang sangat dalam hampir saja menelan dirinya.
Terasa meremang bulu kuduk Ki Pinunjul ketika dengan jelas dia mendengar suara cekikikan seorang wanita dari dalam sumur liar itu.
"Kau tak boleh pulang kakang, tinggalah bersama aku di sini", kata wanita itu sesudah tertawa keras. Yang dipanggil kakang tidak menyahut, namun Ki Pinunjul yakin bahwa di dalam goa atau sumur itu ada juga seorang lelaki yang menjadi kekasih wanita itu. Lantas siapakah sebenarnya kedua orang ini ?
"Kaulah yang selama ini selalu aku tunggu kakang", lanjut wanita itu lagi "peluklah aku erat-erat".
Suara itu berhenti. Tapi sekejab kemudian tertawanya malah terdengar lebih keras.
"Hi.....hi....hi...., oh kakang, pokoknya kau harus menjadi suamiku. Kau tidak aku ijinkan keluar dari goa ini. Bambu kuning yang ada di tanganku inilah yang menjadi taruhannya".
Betapa kagetnya Ki Pinunjul  ketika perempuan itu menyebut bambu kuning. Kalau demikian, mungkinkah .... oh, astafirullah haladzin ... Kenapa harus begini kakang Wiro.