Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

2. Rusman: Dialog Trah Ranggalawe (a)

10 Juni 2018   02:46 Diperbarui: 6 Juli 2019   08:26 1721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kiprah leluhur Tuban, Ranggalawe

Rajaputra dunungira

Inggih ajjuluk Pangeran Banawa

Apan salksa balane

lwir na kang para mantu

Adipati ing Dmak

Nnggih sangang wu kang bala

Ana ln kang mantu

Annggih Dipati Tuban

Abbala wong wolung wu

Annggih mantu putu ana lyan

(Sumber: Babad Tanah Jawi, Jilid 5 No. 20)

-----------------

"Bummm..!" tiba-tiba seorang lelaki muda menjejakkan kaki di atas tanah sambil mengepalkan tangannya. Menengok ke kanan dan ke kiri dengan mata menyala, seolah-olah mencari sasaran yang tepat untuk menerima hantamannya. 

Tak tahu mengapa lelaki itu berbuat demikian, yang jelas setiap teringat sejarah leluhurnya dadanya segera berkobar. 

Seperti ada daya magis yang membuatnya melonjak, nafsunya untuk menumpas ketidakadilan membumbung tinggi laksana gunung semeru yang menjulang.

Dialah Mas Hario Dalem, Adipati Tuban ke-17 yang kini sedang dalam pelarian. Keluar masuk hutan menjelajah perbukitan dan rawa-rawa di sebelah barat kota Tuban. 

Adipati muda ini sedang berjuang merebut kembali pusat kadipaten, setelah dalam suatu peperangan kota Tuban berhasil dikuasai oleh pasukan Mataram. Ini terjadi di tahun 1620 ( adipatironggolawe.blogspot.com ).

Hari masih sore ketika Mas Hario Dalem ditemani oleh seorang pembantunya, seorang pemuda yang selama ini menjadi tulang punggung pasukannya, namanya Senggara. 

Mereka berbicara di dalam bangunan yang beratap ilalang dan berdinding bambu. Sebuah gubug yang berukuran agak lebih lebar dibandingkan dengan puluhan gubug lain yang mengitarinya.

Di sinilah pasukan Tuban sedang bergelut dengan kesabaran, menunggu saat yang tepat untuk melakukan penyerangan.

Mas Hario Dalem dan pasukannya tengah menjalani hari-hari penantian, berperang melawan ketidakadilan dan berjuang untuk mengambil kembali warisan leluhurnya. 

Dan untuk itu dia sembunyikan sementara laskarnya di sebuah perkampungan barak, jauh di kedalaman hutan jenggala (sekarang di Kecamatan Jenu).

Senggara yang melihat perilaku kasar junjungannya itu segera minta diri. Dia tahu persis kalau sedang begini tandanya Mas Hario Dalem sedang ingin sendiri.

Senggara tidak mau menunggu lama, lebih baik ia segera kembali ke gubugnya sebelum tangan sang adipati menghantam dada atau perutnya.

"Panggil Paman Panitis!" Kata Mas Hario Dalem sebelum Senggara pergi.

"Baik raden."

Tidak lama datang seorang lelaki ke hadapan Mas Hario Dalem. Seorang yang telah agak tua yang pernah menjadi penasehatnya dalam berbagai hal.

Seorang yang tidak saja memiliki pengalaman yang luas melainkan juga seorang yang memiliki daya pengamatan yang jauh.

Orang tua itu berdebar-debar mendengar panggilan Mas Hario Dalem. Telah agak lama junjungannya itu tidak memerlukannya. 

Hampir tidak pernah ia menemui anak muda yang menggemparkan seluruh daerah Mataram itu. Namun kini tiba-tiba Mas Hario Dalem memanggilnya.

"Duduklah paman Panitis."

Orang tua yang bernama Panitis itu duduk di samping Adipati Tuban sambil menganggukkan kepalanya.

"Terima Kasih, ngger."

"Kenapa paman tidak pernah menampakkan diri akhir-akhir ini?"

Panitis mengerutkan alisnya yang hampir memutih. Jawabnya:

"Angger tidak pernah memanggil paman. Dan karena itu paman tidak berani mengganggu angger."

Mas Hario Dalem mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Paman, aku akan memulai sebuah sergapan baru. Apakah paman sependapat?"

Panitis mengerutkan keningnya. Pertanyaan ini agak aneh baginya. Sudah beberapa lama sejak Adipati ini bergerilya, sering melakukan penyerangan tanpa meminta pendapatnya.

Tiba-tiba kini pemimpin yang garang itu bertanya tentang rencananya. Karena itu Panitis menjadi ragu-ragu.

"Bagaimana paman?" desak Mas Hario Dalem. Panitis menarik nafas dalam-dalam.

Dikenangnya ketika pernah putera Pemalat ini menjadi sangat marah karena jawabannya, dan seterusnya hampir tak pernah ia diajak berbincang. 

Sang Hario itu marah ketika ia mencoba memperingatkan bahwa segenap usaha yang akan dilakukan adalah sia-sia.

Tetapi kini orang tua itu menghadapi pertanyaan itu lagi. Pertanyaan yang seperti pernah didengarnya dahulu. 

Karena itu sejenak Panitis menjadi terdiam, mengapa tiba-tiba pangeran ini memanggilnya dan bertanya hal itu lagi?

"Bagaimana paman?"

Panitis menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya: "Raden, pertanyaan itu sangat sulit bagiku."

"Kenapa?" desak Mas Hario Dalem "Bukankah paman memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam olah keprajuritan? Bukankah paman saudara seperguan ramanda Dipati dan bekas pengawal setianya pula? Nah, bagaimanakah pendapat paman?"

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun