Mohon tunggu...
Rusnani Anwar
Rusnani Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - Communication Strategist

TV - Radio Broadcaster. Menggemari musik, buku dan kamu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Repetisi

22 Januari 2014   15:13 Diperbarui: 26 November 2015   14:48 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Intan memilin ujung rambutnya. Jemarinya resah, sore itu ia tengah menunggu Andra, kekasihnya. Dua jam berlalu dan segelas cappucino di depannya telah tandas. Cuaca mendung mempercepat intensitas jemarinya memilin rambut sambil sesekali menatap ke arah jam.

Pikirannya melayang pada pesan terakhir lelaki yang telah bersamanya nyaris dua tahun itu.

Saat Intan bertanya besaran cinta yang Andra miliki kepadanya.

Entah kenapa Ndra, mungkin ini hanya kuatir biasa tapi rasanya seperti berat sebelah.

Andra membalas sejurus kemudian

Kita berada dalam hubungan ini cukup lama. Kenapa kamu harus kuatir, buktinya kita masih bersama. Apanya yang berat sebelah?

Intan, dengan sisa lelah paska seharian menanti kabar lelaki itu mengirimkan pesan yang tidak dibalas oleh Andra.

Aku tau bahwa setiap cinta memang selalu berat sebelah. Akan ada yang lebih cinta, lebih sayang, lebih peduli. Ini bukan masalah dan aku tak ingin berhitung sebab cinta yang tulus tidak bekerja seperti itu. Hanya saja, agak kesulitan menemukan titik agar apa yang berat sebelah ini tidak berjalan dengan timpang.

Kuatir perempuan itu bukan tanpa alasan. Sekurangnya empat bulan terakhir Andra mulai menjauh. Tidak sekalipun kabar tentangnya melayang pada Intan meski berkali kali Intan mengingatkan agar senantiasa berkabar. Frekuensi pertemuan menjadi hal langka, dimulai dari dua hari sekali, seminggu sekali, beberapa pekan sekali hingga hari ini, sebulan penuh mereka tak bertemu.

Intan dengan setumpuk rindu yang jauh lebih banyak dari yang Andra punya, mengajaknya bertemu sore itu di café kesukaan mereka.

Senja datang membawa aroma hujan. Gerimis turun mengguyur aspal yang seharian diterpa panas. Andra datang dengan tergegas.

Senyum Intan mengembang, jemarinya tak lagi resah memilin rambut panjangnya. Ia selalu gagal menemukan celah untuk membiarkan amarah dari dalam dirinya keluar jika menyangkut Andra. Tidak saat ia berkali kali melihat Andra chatting dengan mantan kekasihnya, tidak saat Andra lupa hari ulang tahunnya, tidak saat Andra menolak diperkenalkan pada teman temannya.

Dan kali ini, tidak ada satupun rengekan rajuk meski dua setengah jam Intan menunggunya.

“Maaf, ada pekerjaan yang belum selesai”

Andra menatap deretan menu

Intan tak enak hati, menanyakan dengan suara rendah

“Ya ampun, maaf ya ngajak ketemu hari ini. Harusnya bilang biar bisa bertemu lain kali.”

Andra mencentang segelas kopi dan napolitan

“Gapapa, jadi kenapa dengan SMS semalam?”

 

***

Pikiran Intan kembali pada pesan singkat semalam. Tentang ia yang menggugat cinta Andra. Sejak bersiap di rumah sebelum bertemu di café itu, Intan sudah menyiapkan setumpuk argumen. Tentang seberapa besar cinta dan pengorbanan yang sudah ia punya. Pembenaran dalam diri Intan menyebut pengorbanan itu bukan hal sepele, ia memang berkorban terlalu banyak untuk pria itu. Semuanya bermula saat ia mengenal dan jatuh cinta kepada Andra melalui kawannya.

“Cewe yang dia suka yang gimana sih?”

Intan bertanya pada Roni

“Ntar, gue punya foto mantannya”

“Lah, lu kok bisa bisanya nyimpen foto mantan orang” Intan tertawa

“Yeee kan sama sama temenan di chatting” Roni berkilah sambil menunjukkan foto perempuan semampai dengan rambut panjang, memegang vinyl album Abbey Road milik The Beatles.

Intan tak bisa menutupi kekagumannya

“Cantik banget ya”

Intan lantas tak mampu menahan untuk membandingkan perempuan dalam foto dengan dirinya sendiri. Ia tidak pendek, namun tidak semampai seperti perempuan itu. Rambutnya sebahu dan selalu diikat karena pekerjaan Intan membuatnya banyak bergerak. Kesukaannya pada musik tak sampai pada The Beatles, band yang asing bagi telinganya.

Pengorbanan Intan dimulai pada bulan bulan selepasnya. Ia memaksa untuk selalu mengenakan high heels agar sekurangnya membuat diinya terlihat semampai. Memanjangkan rambut sebahunya meski merepotkan dirinya sendiri. Bermalam malam menghapal lagu lagu The Beatles dan memenuhi setiap jabaran Roni atas mantan Andra.

Hingga akhirnya ia dan Andra menjadi dekat dan lelaki itu menyatakan cinta padanya, dua tahun lalu.

***

“Ga pesen makan?”

Suara Andra membuyarkan lamunan Intan

“Oh, udah tadi. Spagettinya enak?”

“Enak kok. Mau?” Andra menggulung beberapa helaian spagetti dan menjulurkannya ke arah Intan.

Intan menggeleng, berat badannya naik beberapa kilo sebulan belakangan, semakin menyusahkannya kala mengenakan high heels.

“Jadi kenapa..” nada suara Andra berubah kala meletakkan garpu berisi helaian spagetti yang batal dikunyahnya.

Meluncurlah semua yang telah disimpan Intan sejak pertama ia mengenal Andra. Soal semua pengorbanannya, hal hal yang dilakukannya hingga detil terkecil demi menarik dan membuat Andra jatuh cinta.

Diceritakannya pula soal perempuan semampai berambut panjang yang cantik luar biasa serta upaya keras Intan untuk bisa seperti perempuan itu, menjadi perempuan yang telah membuat Andra jatuh cinta.

Lelaki didepannya tertegun.

Apa yang dikatakan Intan menjawab semua pertanyaannya selama ini. Intan yang selalu berjalan dengan limbung lantaran memaksakan diri mengenakan high heels. Yang selalu serba salah menggelung rambut panjangnya kala bekerja, yang tak pernah berhenti memuji kecantikan mantan pacarnya.

Intan masih berbicara saat Andra menemukan dirinya sendiri yang mengakui telah kehilangan rasa pada perempuan di depannya. Yang ia suka dari Intan adalah kemampuan perempuan itu untuk berbicara soal cinta yang tulus. Intan tidak pernah mengeluh meski pekerjaan Andra menyedot seluruh kesempatan untuk mereka bertemu. Tak pernah sekalipun Intan melakukan klaim atas pengorbanan yang ia lakukan namun hari ini, Andra dihadapkan pada perasaan yang ia sendiri sulit jabarkan. Perasaan tak nyaman sudah membuat Intan berkorban terlalu banyak, dan menagih balasan untuk sesuatu yang tak pernah dimintanya untuk lakukan.

Andra menghela nafas kala Intan bertanya sudah semirip apa ia dan mantan kekasihnya.

“Iya. Kamu dan dia memang sama. Kalian berdua sudah memberiku luka”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun