Senyum Intan mengembang, jemarinya tak lagi resah memilin rambut panjangnya. Ia selalu gagal menemukan celah untuk membiarkan amarah dari dalam dirinya keluar jika menyangkut Andra. Tidak saat ia berkali kali melihat Andra chatting dengan mantan kekasihnya, tidak saat Andra lupa hari ulang tahunnya, tidak saat Andra menolak diperkenalkan pada teman temannya.
Dan kali ini, tidak ada satupun rengekan rajuk meski dua setengah jam Intan menunggunya.
“Maaf, ada pekerjaan yang belum selesai”
Andra menatap deretan menu
Intan tak enak hati, menanyakan dengan suara rendah
“Ya ampun, maaf ya ngajak ketemu hari ini. Harusnya bilang biar bisa bertemu lain kali.”
Andra mencentang segelas kopi dan napolitan
“Gapapa, jadi kenapa dengan SMS semalam?”
***
Pikiran Intan kembali pada pesan singkat semalam. Tentang ia yang menggugat cinta Andra. Sejak bersiap di rumah sebelum bertemu di café itu, Intan sudah menyiapkan setumpuk argumen. Tentang seberapa besar cinta dan pengorbanan yang sudah ia punya. Pembenaran dalam diri Intan menyebut pengorbanan itu bukan hal sepele, ia memang berkorban terlalu banyak untuk pria itu. Semuanya bermula saat ia mengenal dan jatuh cinta kepada Andra melalui kawannya.