Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akuilah Ayah, Aku Ini Anakmu...

13 September 2016   04:34 Diperbarui: 13 September 2016   04:43 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hidup ini aneh bagiku. Ya, aneh sekali. Sebagai seorang manusia aku adalah mahluk yang dilahirkan. Lahir dari rahim seorang wanita , yang aku sebut sebagai ibu. Secara teori genetik, aku juga memiliki seorang lelaki yang pantas aku sebut sebagai ayah.

Ayah dan Ibu menjadi dua orang tuaku. Keduanya tercatat dalam satu ikatan resmi pernikahan. Dilakukan atas dasar cinta, dicatat didepan hukum agama dan hukum negara. Disaksikan para saksi yang tak boleh berbohong. Lalu dirayakan dalam pesta pernikahan. Itu yang aku tahu.

Aku dilahirkan setahun setelah janji pernikahan. Lahir dalam sebuah keluarga yang terhormat. Kedua orang tuaku , pribadi yang hebat. Teladan bagiku sebagai seorang  anak. Keduanya, adalah contoh kehidupanku yang abadi. Sekolah abadi itu ada didalam rumahku. Gurunya, kedua orangtuaku.

Namun, badai itu datang. Menggoyang  pondasi rumah bahagia yang dibangun kedua orang tuaku. Aku masih kanak kanak ketika itu. Tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang aku tahu, bermain bersama ayah dan ibu adalah kebahagianku.

Rumah yang damai itu seketika berubah menjadi medan perang yang tak jelas dimana titik sengketanya. Ayah dan Ibu tak akur lagi. Keduanya sering berteriak memekakan telingaku. Saling tuduh, saling merendahkan, saling benci. Aku hanya meratap , sedih. Dimana rumah surga itu berada? Yang katanya ada didalam rumah. Yang aku lihat, rumahku seperti neraka gelap yang membuatkan tersiksa.

Aku kanak kanak ketika itu. Tak tahu apa yang terjadi. Ayah dan Ibu tak lagi bisa berdamai. Keduanya tak lagi bisa mempertahankan janji suci yang dulu mereka banggakan. Ayah dan Ibu memutuskan perpisahan. Mengambil jalannya masing masing.

Aku ada dipersimpangan jalan. Ayah dan Ibu punya jalan yang aku tak suka. Kemana aku harus memilih ? Ayah atau Ibu ?.

Genetika yang Absurd

Perpisahan itu perih. Aku pastikan itu terjadi padaku. Aku meringis dalam diam. Sebagai anak kecil yang harus ditinggal pergi salah satu orang yang dicintai. Aku sungguh merana. Diam sendiri mencoba bertahan dengan sisa kebahagian sebagai anak kecil yang suka bermain.

Kesedihanku bertambah, ketika aku dinyatakan bukan anak sah. Ibu dan ayah tak sepakat aku anak dari buah cinta mereka. Lalu aku ini anak siapa ? Aku ini lahir dari sperma siapa ? aku ini lahir dari hubungan apa ? aku marah. Tapi apa yang bisa kuperbuat ?

Hukum yang jadi sandaranku. Aku lahir dari sepasang  mahluk Tuhan. Tercatat dalam bukti pernikahan yang sah. Tercatat dalam surat kelahiran yang sah. Hukum berbicara seperti itu.

Aku tak mau tahu. Ada perselingkuhan. Ada pembagian ranjang. Ada orang ketiga diantara kedua orangtuaku. Alangkah naif , keturunanku saja tak jelas. Siapa ayah biologisku saja semua saling tunjuk. Semua memberi sangkalan. Menolak .

Saat ini aku bukan anak kecil. Aku adalah ayah dari seorang anak. Aku telah dewasa.  Aku punya kehidupan sendiri. Aku mapan.

Aku tak mau tahu siapa sebenarnya ayah biologisku. Yang aku tahu, lelaki yang tertera didalam surat resmi kelahiranku adalah seorang pria  yang layak aku sebut sebagai : AYAH.

Aku tak ingin berpolemik. Apa yang terjadi diantara kedua orangtuaku puluhan tahun yang lalu. Aku tak tahu. Aku hanya menjawab apa yang” disuratkan” kepadaku lewat sebuah status media sosial. Aku meradang. Aku gelisah. Ketika, lelaki itu secara nyata menuliskan :  Ia hanya punya anak dari pernikahan keduanya. Ia tak mengakui bahwa dalam pernikahan pertamanya ada seorang anak, yang itu adalah diriku.  Aku yang lahir dari sebuah ikatan pernikahan resmi.

Ini aib. Ya, aku sebenarnya malu. Apalagi bila banyak orang harus tahu. Aku juga tak ingin mengganggu kehidupan lelakiyang kini hidup mapan. Lelaki  yang aku ingin panggil ayah. Tapi, alangkah sulitnya itu. Aku hanya menerima tuduhan, aku hanya menerima pengakuan bahwa aku bukan anak biologisnya.

DNA yang Harus Dibuktikan

Pertentangan ini akhirnya menjadi terbuka . Banyak pihak yang ingin tahu dan ingin menilai nilai, mengorek ngorek, meng-investigasi, mewawancarai, mencari tahu apa yang terjadi. Aku jadi malu. Ini aib, ini aib keluargaku. Yang seharusnya tersimpan rapat, terkunci dan bukan tontonan orang banyak.

Tapi, aku butuh kebenaran. Aku butuh pengakuan. Aku butuh kejelasan. Mungkin pahit. Mungkin akan mencoreng wajahku, wajah ibuku, wajah ayahku, wajah keluarga besarku. Aku tak lagi berdaya untuk menolak itu. Semua sudah berjalan, mengalir deras menuju hilir.

Tantangan pembuktian itu bernama tes DNA. Mencari tahu genetik yang aku punya. Apakah didalam sel sel yang ada ditubuhku sama dengan susunan sel  lelaki yang ingin aku panggil ayah ?.   Karena laki laki itu ragu, tak yakin bila aku adalah anaknya.

Aku mengiyakan. Aku menyetujuinya. Biarlah test DNA menjadi hakim yang adil. Hakim yang akan memutuskan, apakah aku benar anak biologis atau anak dari laki laki lain ?

Walau sejatinya, permasalahan genetik ini harusnya sudah terurai ketika aku lahir ke dunia. Seharusnya laki laki itu menyelesaikannya ketika pernyataan itu muncul. Bahwa anak yang lahir dari istrinya yang sah itu diragukan dari dirinya. Bukankah ini sebenarnya permasalah dua manusia dewasa yang ketika itu bertikai. Dan, kini aku harus menanggungnya.

Aku yang harus mencari tahu. Aku yang harus membongkarnya. Padahal, aku hanya ingin sebuah pengakuan.

Dan bilapun ternyata terbukti aku bukan anak biologismu : Aku sebenarnya masih anakmu juga karena aku lahir dari pasangan yang sah.

 Dari lubukku yang paling dalam , Akuilah Ayah, aku ini anakmu...itu saja, tak lebih dan tak kurang.

(Cerita ini fiktif, kalau ada kesesuaian cerita itu  hanya kebetulan saja. Namanya juga Cerpen, ini  imajinasi sang penulis)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun