Coffee Shop memang tempat mangkal paling asik sejak zaman romawi kuno . Sejak masih bernama warung kopi alias warkop dipinggir pinggir kampung . Perannya mempersatukan para penggila kopi tak lagi terbantahkan. Lihat saja puluhan orang rela merogoh koceknya untuk bisa duduk dalam lingkaran kecil bersama keluarga,teman atau koleganya. Menghabiskan waktu berjam jam.
Menyeruput kopi bagiku bukan hal sembarangan. Ini bagian dari ritual hidup. Sejak zaman kakekku yang pernah jadi ‘kaki tangan’ penjajah Belanda, menikmati kopi adalah bagian dari kemerdekaan hidup sesaat . Lepas dari pengaruh para opsir Belanda yang kadung lupa budaya minum teh disore hari.
Uap kopi mirip terpaan surga dunia. Menusuk ujung hidung lalu meresap melewati celah sempit menuju pusat syaraf . Berproses dalam hitungan sepersekian detik. Simpul syaraf akan mengerti bahwa uap kopi simbol keseimbangan kegilaan para pekerja urban sepertiku.
Delapan jam dibawah tekanan bahkan emosi yang tak menentu, uap kopi sepersekian detik meluruhkan penat kerja yang menarik kewarasanku.
Aku duduk memesan tiga kopi. Dua temanku masih dalam berjalanan. Dalam pesan whatsap , kedua temanku terjebak kemacaten kota. Akhir pekan menuju libur panjang. Ke-latahan-lah yang membuat jalan jalan kota sering menumpuk tak beraturan. Semuanya ingin lekas pulang ke rumah. Berebut ingin sampai dirumah masing masing.
Pelayan Coffee Shop sudah mengantarkan tiga jenis kopi berbeda. Dalam tiga gaya berbeda. Cappucino , Expresso dan Latte. Tiga jenis kopi asal negeri mafioso. Bukan aku tak cinta kopi Indonesia. Kopi gayo, kopi lampung , kopi bali tak tersedia di Coffee Shop ini. Ini bisnis bung, permintaan konsumen urban cuma butuh style.
Sebenarnya aku ingin memesan Ice Coffe Vietnam. Tapi aku urungkan karena menurut petugas coffe shop, Ice Coffee Vietnam tak lagi available. Dihapus dari daftar menu. Ketika alasannya aku tanya, pelayanan hanya tersenyum penuh misteri.
4 Detik Menentukan
Sambil menunggu dua temanku datang, aku membuka plastik kecil yang aku selipkan didalam kaos kakiku. Membukanya pelan pelan, Dalam gerakan slow motion yang sangat hati-hati. Jangan sampai gerakanku ini tertangkap mata kamera yang digantung tiga meter tepat diatas kepalaku.
Aku menaburi dua kopi temanku dengan serbuk putih. Lalu mengaduknya menggunakan pipet yang aku punya. Cairan kopi dan serbuk putih bercampur sempurna. Uap kopi akan mengelabui rasa . Aku yakin dua temanku akan terkecoh dan akan tetap menghabiskan kopi yang sudah aku pesan.
Setelah beres, tinggal menunggu dua temanku ini datang. Satu orang adalah mantan kekasihku, satu lagi adalah orang yang sukses merebut kekasihku jadi kekasihnya. Aku kira alasanku mengajaknya bertemu adalah pas.
Dua orang teman yang punya “hutang” dan harus mereka lunasi sore ini. Aku memang dendam. Dan itu wajar bukan ? Menelikung dan berkhianat ada balasannya. Sore ini adalah saat penghukuman. Aku tak main main. Aku sangat serius. Setelah seminggu mencari bubuk putih yang paling efisien dan tepat untukmengirimkan dua orang yang aku benci ini ke neraka yang paling dalam.
Adalah laboratorium fakultas yang paling pas aku datangi. Menawari uang ratusan ribu kepada oknum degil yang punya akses membawa keluar 100 gram bubuk putih yang aku butuhkan.
Dosis ini aku rasa cukup mengirimkan dua makhluk yang aku benci ini . Dua teman yang aku kenal sejak dua tahun lalu ketika belajar di negeri singa.
Hanya dua kemungkinan yang akan terjadi sore ini. Dua temanku berhasil lolos dan meneruskan hidup atau aku yang akan kalah dan harus berurusan dengan petugas keamanan negeri ini. Aku tak punya plan B. Walau aku yakin apa yang sudah aku siapkan selama seminggu ini akan berjalan seperti rencana.
Tiga Menit yang Melenakan
Sambil menunggu, pelayanan Coffee Shop sudah dua kali menawariku cake yang mereka miliki. Aku tak berminat sama sekali. Cake yang mereka tawari hanya akan memperlama rencanaku saja. Minum kopi sambil menikmati cake. Alangkah mewahnya penghukuman sore ini.
Setelah hampir satu jam menunggu , dua temanku datang dengan senyum mengembang. Aku menerima pelukan hangat keduanya. Lalu menanyakan kabar keduanya. Say hello dengan perasaan yang jengah. Aku hanya berharap , keduanya segera duduk lalu meminum kopi yang telah aku pesan.
Tiga menit kami berbicara penuh keakraban. Seakan tak ada dosa keduanya kepadaku. Aku ingin sekali membacakan daftar dosa dihadapan keduanya. Menampar pipi keduanya dengan kekuatan penuh. Hingga merah padam atau membiru sekalian, aku tak peduli.
Selama tiga menit, aku terus mengobrol. Hangat dan penuh keakraban. Inilah momen yang harus dibaca dan direkan mata kamera diatas langir langit yang tepat mengarah ke mejaku.
Aku menyela agar dua temanku meminum kopi yang telah aku pesan. Meminta dengan gaya paling elegan. Meminta keduanya menghabiskan kopi sesegera mungkin agar rencanaku berhasil dan sukses. Aku juga ingin cepat pulang kerumah.
Namun, keduanya tak mau menyentuh gelas. Mereka malah memesan tiga cake sekaligus. Keduanya juga memesan satu menu utama yang aku benci. Mie ramen dalam porsi besar.
Aku jadi gelisah. Rencanaku terlalu lama. Dua temanku masih terus mengajakku berbicara. Mengingatkanku tentang masa kuliah. Masa indah dalam kebersamaan. Ah, kenangan indah itu berkelebatan lagi. Perih itu semakin aku rasakan. Luka itu menganga lagi.
Sial...
Dua temanku menyingkirkan dua gelas kopi yang sudah aku pesan. Perasaannku tak lagi sama dengan tiga menit sebelumnya. Aku dirayapi kegagalan. Hari penghukuman terancam batal sore ini.
Lima Detik yang Menghancurkan Rencanaku
Entah malaikat mana yang ikut turut campur . Dua kopi yang aku pesan benar benar diacuhkan. Kedua temanku seperti mampu membaca petaka yang akan aku buat. Keduanya memesan dua minuman pengganti. Minuman bersoda dalam botol ukuran sedang. Jelas sudah rencanaku gagal.
Keduanya lalu asik membicarakan rencana pernikahan mereka sebulan lagi. Menunjukkan gedung yang telah mereka pesan. Memamerkan baju pernikahan yang telah mereka beli dan yang paling menyakitkan, kedua bercerita tentang benih yang sudah mereka tanam dua bulan yang lalu. Mantan kekasihku telah hamil. Ini pengkhianatan yang paling aku benci. Aku yang tak pernah berbuat lebih , aku yang menjaga kesuciannya agar ia tetap menjadi suci hingga janji pernikahan diucapkan.
Aku marah, dendamku memuncak. Keduanya harus dihukum. Namun , ketika melihat gelas kopi yang aku pesan disingkarkan , aku tak tahan lagi. Aku hampir saja putus asa.
Aku harus tetap kuat. Aku tak boleh menyerah. Rencanaku harus tetap berjalan. Aku menarik nafas dalam dalam lalu mengatur kembali rencana yang harus aku lakukan.
Perlahan tapi pasti dua gelas kopi yang aku pesan kembali aku geser di depan kedua temanku. Berharap keduanya tetap meminum kopi khusus yang telah aku laburi serbuk putih. Aku akan menunggu, sepuluh menit , setengah jam bahkan satu jam pun akan aku lakukan. Aku akan bersabar menunggu mangsaku masuk dalam perangkap.
Satu Jam yang Mengakhiri
Percakapan aku dan dua temanku terus berjalan. Setengah jam telah berlalu. Tak ada lagi keraguan, hari penghukuman harus terlaksana. Sore ini . Tak ada pengunduran waktu. Aku kembali menunggu lagi ketika dua temanku meminta izin ke tolilet.
Sepuluh menit aku menunggu, tak ada tanda kedua temanku kembali. Lima belas menit kemudian keduanya kembali dengan wajah berbeda. Ada luapan kemarahan diantara keduanya. Nampaknya ada perselisihan yang terjadi . Aku tersenyum kecil didalam hati.
Keduanya kembali duduk. Diam tanpa ada percakapan. Aku mengambil inisiatif mengisi percakapan. Salah seorang temanku, mantan kekasihku dalam gerakan perlahan mengambil gelas kopi. Dua kali teguk diminumnya kopi Latte yang telah aku laburi serbuk putih. Lima detik kemudian tubuhnya rebah. Menggayut kebelakang . Dari mulutnya keluar cairan, matanya mendelik seperti hendak keluar. Napasnya tercekat.
Sementara temanku yang lain terlihat kaget dan berusaha membantu kekasihnya. Teriakannya menyadarkan seluruh Coffe Shop akan keadaan darurat. Aku menepi , mengamati dengan seksama reaksi serbuk putih yang mematikan.
Sementara mata kamera tepat diatas kepalaku terus merekam kejadian yang semakin ramai dan gaduh. Pelayan , pengunjung hingga dua polisi yang kebetulan sedang berada didalam coffe shop mengerubungi temanku yang terkapar.
Aku berdiri mematung. Mengamati dengan perasahaan puas. Hari penghukuman itu berlangsung sudah. Aku berjalan perlahan , menghindari pandangan sepasang mata yang terus tertuju kepadaku. Aku menyelinap keluar Coffe Shop dengan perlahan. Sepasang mata itu mengikutiku , aku berbalik dan melihat seorang anak kecil ada dibelakangku.
“Kau membunuh Ibuku, kau pembunuh , kau pelaku yang menaburi racun di gelas kopi ibuku...” tunjuk anak kecil itu kearahku.
Aku tercekat kaget. Aku lupa ingatan. “Bukan aku pelakunya. Bukan aku...”. Dengan wajah yang kubuat setenang mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H