Sepuluh menit aku menunggu, tak ada tanda kedua temanku kembali. Lima belas menit kemudian keduanya kembali dengan wajah berbeda. Ada luapan kemarahan diantara keduanya. Nampaknya ada perselisihan yang terjadi . Aku tersenyum kecil didalam hati.
Keduanya kembali duduk. Diam tanpa ada percakapan. Aku mengambil inisiatif mengisi percakapan. Salah seorang temanku, mantan kekasihku dalam gerakan perlahan mengambil gelas kopi. Dua kali teguk diminumnya kopi Latte yang telah aku laburi serbuk putih. Lima detik kemudian tubuhnya rebah. Menggayut kebelakang . Dari mulutnya keluar cairan, matanya mendelik seperti hendak keluar. Napasnya tercekat.
Sementara temanku yang lain terlihat kaget dan berusaha membantu kekasihnya. Teriakannya menyadarkan seluruh Coffe Shop akan keadaan darurat. Aku menepi , mengamati dengan seksama reaksi serbuk putih yang mematikan.
Sementara mata kamera tepat diatas kepalaku terus merekam kejadian yang semakin ramai dan gaduh. Pelayan , pengunjung hingga dua polisi yang kebetulan sedang berada didalam coffe shop mengerubungi temanku yang terkapar.
Aku berdiri mematung. Mengamati dengan perasahaan puas. Hari penghukuman itu berlangsung sudah. Aku berjalan perlahan , menghindari pandangan sepasang mata yang terus tertuju kepadaku. Aku menyelinap keluar Coffe Shop dengan perlahan. Sepasang mata itu mengikutiku , aku berbalik dan melihat seorang anak kecil ada dibelakangku.
“Kau membunuh Ibuku, kau pembunuh , kau pelaku yang menaburi racun di gelas kopi ibuku...” tunjuk anak kecil itu kearahku.
Aku tercekat kaget. Aku lupa ingatan. “Bukan aku pelakunya. Bukan aku...”. Dengan wajah yang kubuat setenang mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H