Konflik yang dibangun juga apa yang terjadi ditengah masyarakat , bukan konflik antah berantah seperti rebutan warisan , harta kekayaan , jabatan  dan konflik percintaan segitiga hingga segi tak beraturan.
Sayangnya , sinetron PPT hanya hadir ketika bulan Ramadhan saja menjelang waktu Sahur . Padahal  isi cerita PPT tak berkaitan samasekali  dengan bulan puasa. Sehingga sinetron ini seharusnya bisa tayang di luar bulan puasa. Mungkin momen bulan puasa dianggap tepat untuk menonton sinetron religi.
Selain sinetron PPT, sebenarnya beberapa tahun silam ada sinetron Si Dul Anak Sekolahan (SDAS) garapan Rano Karno. Uniknya juga Rano Karno saat ini menjabat sebagai Gubernur Banten. Sinetron yang berasal dari ide cerita film di era tahun 70-an ini mengangkat keberadaan suku Betawi dengan segala keunikannya. Dimana ada nilai sosial dan budaya yang begitu kental ditengan perubahan strata sosial yang terjadi di Jakarta.
Sinetron SDAS bukan saja menghibur tapi punya muatan yang baik. Nilai kemanusian menjadi tema cerita. Sebuah potret keseharian sebuah keluarga Betawi yang menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat. Keluarga ini menjadi role model  karena telah menjadikan pendidikan tinggi sebagai salah satu cita citanya. Kekentalan budaya Betawi dan hiruk pikuk perubahan zaman  membuat sinetron ini memberikan  sentilan yang cukup menohok. Bagaimana masalah tanah yang beralih fungsi menjadi alasan tergesernya masyarakat Betawi ke pinggiran kota Jakarta. Belum lagi kisah oplet tua yang semakin tak populer oleh moda transportasi modern lainnya.
Sejatinya , banyak tema cerita yang layak diangkat menjadi tema sinetron. Kehidupan keseharian, kisah sosial budaya yang terjadi di masyarakat urban juga cukup menantang untuk disajikan sebagai tema cerita. Sinetron yang saat ini tayang hanya berkutat pada dunia absurd. Kalau tidak tentang harta kekayaan atau kisah percintaan yang terlalu mudah ditebak.
Sinetron Sebagai Tayangan Paling Mudah Diserap
Kalau dilihat lebih dalam, tayangan sinetron memiliki kans untuk menjadi tontonan yang menarik dan juga bermutu. Sinetron memiliki ruang yang cukup mudah dijangkau penontonnya. Tak perlu membayar tiket, tak perlu pergi ke gedung bioskop, hanya butuh sebuah perangkat televisi.
Sinetron memang lekat dengan kalangan menengah ke bawah. Walau tak menutup kemungkinan juga disukai kalangan menengah atas. Â Sinetron memiliki jam tayang dan episode yang panjang. Dengan begitu sinetron bisa juga mengambil tema sejarah yang membutuhkan epidode yang panjang. Coba, bayangkan bila kisah Kartini diangkat menjadi sinetron sejarah yang menarik . Berbagai liku kehidupan Kartini akan mudah diserap dan dimengerti para wanita Indonesia.
Sayangnya, hanya sedikit  rumah produksi yang mau mengangkat tema tema idealis, tema sejarah, tema pergerakan nasional. Sinetron mungkin masih berpatron sebagai tayangan hiburan yang tak perlu memiliki muatan yang dalam dan idealis. Karena mungkin pula, rumah produksi tak yakin sinetronnya akan dibeli pihak televisi bila tak memenuhi selera si pembayar iklan. Sinetron memang perlu biaya pembuatan, perlu keuntungan untuk meneruskan laju operasional perusahaan.
Tapi juga bukan menjadi pembenaran bila rumah produksi akhirnya hanya menjadi penghasil sinetron asal jadi dengan tema yang penting laku dijual. Tanpa memperhatikan kepentingan pendidikan karakter para penontonnya. Apa yang akan diambil dari sinetron yang isinya hanya menebarkan kebencian , amarah dan sumpah serapah.
Disinilah kejeniusan rumah produksi diperlukan untuk memadukan antara hiburan dan tayangan berkualitas . Agar kelak , masyarakat Indonesia bisa menjadikan tayangan sinetron sebagai bahan perubahan diri, tayangan yang memberikan pencerahan . Bukan hanya hiburan sekelebat yang malah akan membentuk masyarakat permisive, masyarakat materialis dan masyarakat bebal yang hanya tahu perselingkuhan adalah selingan kehidupan yang boleh dicoba dalam kehidupan rumah tangga.