Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Percayalah, Kemajuan Teknologi Akan Memakan Korban

23 Maret 2016   08:30 Diperbarui: 23 Maret 2016   08:36 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber : www.themalaysianinsider.com"][/caption]

Demo besar besaran pengemudi angkutan darat kemarin , Selasa (22/03/16) di Jakarta memang memasuki klimaks. Aksi ribuan pengemudi angkutan darat yang didominasi supir taksi ini tak ayal membuat suasana kacau.

Aksi demo menjadi tak terkendali karena terjadi dibanyak titik yang sulit diawasi pihak aparat keamanan . Pihak keamanan sendiri nampaknya tak siap dengan aksi massal yang terjadi di ruas ruas jalan ibukota. Hasilnya ribuan pengguna moda darat terlantar, puluhan mobil taksi dirusak, beberapa supir yang tak ikut berdemo kena bogem mentah teman sendiri.

Gesekan horizontal antar pengemudi konvensional dengan pengemudi online hampir saja pecah kalau tak buru buru dilerai. Pelemparan batu juga terjadi di beberapa tempat berdemo. Alhasil, demo yang seharusnya tersampaikan nampaknya gagal total. Simpati masyarakat malah berbalik mengutuk aksi demo kemarin.

Ihwal keberatan pengemudi konvensional berawal dari berkurangnya penghasilan yang didapat. Berkurangnya penumpang menjadi muasal para pengemudi taksi berang . Keberatan atas aplikasi online Uber dan Grab disampaikan kepada kementrian perhubungan dan kementrian komunikasi dan informasi (Kominfo). Kedua instansi pemerintah itu berbeda pendapat.

Hingga saat ini pihak pemerintah masih mengkaji , mendalami dan membahas masalah ini. Jadi sejak demo diawal kemarin, pemerintah belum juga punya kajian. Keputusan yang lamban dari pemerintah inilah yang diduga menjadi penyebab demo semakin masif .

Kehadiran aplikasi transportasi online memang bagian dari perkembangan teknologi, jaringan internet yang semakin mudah, murah dan cepat ditambah perangkat smartphone yang juga semakin mudah dibeli masyarakat menjadi bagian percepatan aplikasi transportasi online diterima dengan baik.

Pengguna, aplikasi online semakin mewabah hampir diseluruh kota besar dan kota menengah di Indonesia. Lapangan pekerjaan semakin terbuka, tak perlu syarat dan ketentuan ngejlimet. Siapa saja asal punya kendaraan dan smartphone lalu mendaftar bisa menjadi pengemudi online.

Uang yang didapat ternyata jauh lebih besar ketimbang bergabung dengan perusahaan transportasi mainstream. Sudah begitu pengguna moda urban darat juga mendapat keuntungan, selain mudah , cepat ternyata jauh lebih murah ketimbang menggunakan transportasi mainstream.

Hubungan sebab akibat ini akhirnya jadi simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Tinggal pengemudi konvensional yang kalah bersaing kehilangan penumpang dan akhirnya uang yang didapat semakin tipis.

Perusahaan transportasi mainstream tak bisa mengejar harga murah moda transportasi online. Inilah pangkalnya. Dengan alasan , UU dan peraturan daerah mengenai tarif batas atas dan bawahlah yang menyebabkan perusahaan transportasi konvensional tak bisa bersaing.

Tudingan miring diarahkan ke pengelola transportasi online, mulai tak mengikuti aturan UU Transportasi, tidak bayar pajak hingga mengambil jatah penumpang pihak lain.

Jadilah masalah ini semakin ruwet karena pihak regulator ternyata tak cepat mengambil sikap dengan membenahi dan merangkul transportasi online yang semakin besar dan masif . Pihak regulator yang lambat menjadi biang kemarahan pengemudi konvensional.

Hukum Alam berlaku

Bila mau mundur kebelakang, kehadiran teknologi memang telah menggilas banyak usaha yang tak mampu berubah. Ingat dulu, usaha warung telekomunikas (wartel) yang mewabah pada awal tahun 90-an sebelum handphone hadir.

Banyak pengusaha kecil dan rumahan yang membuka usaha ini. Hasilnya lumayan. Hampir disetiap pojok jalan selalu saja ada wartel. Baik di ruang publik hingga dikawasan perumahan. Usaha wartel begitu menggoda.

Investasi digelontorkan, puluhan ribu wartel berdiri . Pelanggannya juga antri untuk bisa menghubungi orang lain. Beberapa tahun kemudian , handphone pun muncul. Harganya masih selangit , nomor perdananya juga mahal. Operator juga masih terbatas. Tapi lambat laun seiring waktu handphone semakin murah dan harga nomor perdana semakin murah hasilnya wartel terjungkal. Habis ditinggal pelanggannya yang beralih menggunakan handphone.

Kantor Pos juga mengalami hal serupa. Lalu lintas surat tertulis langsung amblas ketika jaringan internet dan handpone semakin pintar . Orang tak lagi menulis surat menggunakan kertas tapi menggunakan email yang mudah, cepat , akurat dan murah.
Beruntung saja kantor pos bisa mengakali dengan layanan pembayaran online dan paket pengiriman sehingga kantor yang didominasi warna oranye ini masih tetap eksis hingga saat ini.

Selain wartel, koran cetak dan majalah cetak yang jadi korban berikutnya. Kehadiran media online melibas koran cetak yang dinilai lambat dan tidak praktis lagi. Satu per satu koran dan majalah cetak gulung tikar karena semakin sedikit yang beli. Para pemasang iklan juga beralih ke media online yang lebih jauh jangkauannya.

Belum lagi perusahan distributor CD musik yang kehilangan pangsa pasar karena orang lebih memilih mengunduh lagu dari internet atau membeli secara online. Beberapa waktu yang lalu sebuah perusahan distributor CD yang cukup terkenal akhirnya memutuskan menutup usahanya. Tragis.

Masih ingat Nokia dan Blackberry yang kian terpuruk. Nokia malah telah tewas lebih dulu. Apa salah keduanya ? Padahal keduanya hidup didalam dunia teknologi.

Perusahaan jasa travel konvensional juga kini semakin terdesak dengan perusahan travel online yang semakin cepat dan lebih murah.

So, sudah banyak korban bukan ? kemajuan teknologi akan memakan korban. Tinggal , apakah mau berubah dan inovarif mengikuti perubahan atau berdiam sambil protes. Ingat pengguna alias end user akan semakin cerdas dan tak mau lagi membayar lebih mahal.

Semakin canggih, harga kok malah semakin murah. Siapa yang semakin murah semakin diserbu saja ? Coba saja. Karena kita sebenarnya masyarakat liberal yang penting kita untung bukan ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun