Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Anggap Remeh Perlawanan Petani

6 Maret 2016   07:18 Diperbarui: 6 Maret 2016   08:08 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Lahan pertanian yang kerap menjadi masalah serius | Foto : Rushan Novaly "][/caption]Jauh sebelum Indonesia merdeka dimana perjuangan melawan Belanda masih bersifat kedaerahan dan hanya bersifat insidental. Diakhir abad 18, Belanda benar-benar menikmati kekayaan dari suburnya tanah nusantara. Ketidakadilan dan pemerasan terhadap petani membuat terjadinya konflik kekerasan antara petani dan tuan tanah. Pertanian adalah alat mengeruk kekayaan nusantara.

Berbagai metode pertanian mulai dikembangkan di nusantara, terutama di Pulau Jawa. Perkebunan dalam skala luas mulai dibangun. Tebu, Kopi, Teh , Karet, Padi dan Gandum mulai ditanam. Hingga abad ke-19 pertanian yang dikembangan Belanda mulai menggunakan tata air mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan ketika itu.

Walau hasil pertanian sangat menguntungkan para tuan tanah, petani yang bekerja diladang ladang atau perkebunan Belanda tetap saja tak mendapatkan hasil yang wajar. Petani hanyalah pekerja kasar yang tak pernah dipandang sebelah mata oleh para pemilik tanah. Nasib petani sungguh memprihatinkan, kemiskinan akut begitu melekat.

Tanah-tanah yang direbut secara licik oleh pihak Belanda lalu dilelang pada tuan tanah, atau dijual kepada para tauke ketika pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels berkuasa antara tahun 1808 hingga 1811. Tanah partikelir atau disebut landerijen inilah yang menjadi sumber masalah. Pihak pemerintah Belanda memang sengaja membagi bagikan tanah pertanian kepada pihak yang bersekutu dengan harapan Belanda tetap mengusai para petani.

Tanah partikelir banyak tersebar di Pulau Jawa terutama disekitaran Jakarta, Bekasi, Bogor dan Tangerang. Para tuan tanah seenaknya saja menerapkan peraturan kepada petani penggarap yang mayoritas adalah kaum pribumi.

Penerapan contingenenten (pajak) untuk hasil tani sangat mencekik leher. Setengah lebih dari hasil tani menjadi bagian Tuan Tanah. Sisanya juga masih dikenakan pajak untuk kepentingan Belanda. Tak ada yang membela petani. Simpati malah datang dari beberapa orang yang biasa disebut jawara, jagoan kampung.

Dengan keahlian beladiri, kemampuan kanuragan para jawara ini berani menentang ketidakadilan tuan tanah. Apalagi bila sang tokoh perlawanan pandai membangkitkan semangat . Petani yang notabene korban kezaliman sangat menaruh harapan terhadap orang orang yang mau bersimpati dan membantu mereka.

Biasanya para jawara ini membentuk kelompok. Jumlahnya bisa puluhan hingga ratusan orang. Para petani aktif menjadi pengikutnya. Bila pernah mendengar si Pitung jagoan dari Rawabelong yang berani melawan para kompeni Belanda seperti itulah para jawara melawan tuan tanah.

Kisah si Pitung menjadi lambang perlawanan petani terhadap tuan tanah yang semena mena merampas dan mencekik petani dengan pajak yang tinggi. Si Pitung yang memiliki kesaktian yang anti senjata tajam dan anti peluru itu digambarkan membuat repot pihak polisi Belanda (schout). Penangkapan si Pitung menjadi hal yang merepotkan pihak Belanda, berbagai cara licik digunakan, disediakanlah sayembara berhadiah bagi siapa saja yang bisa menangkap si Pitung. Itu hanya salah satu perlawanan jawara, menurut cerita masih banyak kisah yang serupa walau tidak se-terkenal kisah si Pitung.

Pemberontakan Petani di Bekasi

Ketidakadilan para tuan tanah akhirnya benar-benar membuat petani kehilangan kesabaran. Sikap semena-mena dan perampasan yang dilakukan tuan tanah dengan menggunakan tenaga mandor dan centeng akhirnya membuat petani melakukan perlawanan.

Benturan kecil diladang antara petani dengan mandor biasanya kerap terjadi. Mandor yang biasanya juga seorang pribumi berlagak sombong dan merasa memiliki kuasa, jadi seenaknya berlaku kasar terhadap petani dan juga anggota keluarganya yang lain.

Apalagi bila si petani memiliki istri atau anak wanita yang cantik, mandor yang mata keranjang kerap berbuat tak sononoh. Kejadian seperti ini biasanya akan membuat petani sakit hati lalu melakukan tindakan balasan. Maka sering terdengar ketika itu seorang mandor ditemukan tewas di ladang atau perkebunan oleh seorang petani . Tindakan ini akan memancing pihak kepolisian turun tangan dan menangkap si petani yang melakukan pembunuhan. Kejadian ini hanya bersifat kasus dan belum menjadi perlawanan massal para petani.

Pada tahun 1869, seorang tokoh bernama Rama yang merasa terpanggil melawan tuan tanah. Rama yang memiliki “kesaktian “karena senang berziarah dan tirakat ini mengubah namanya menjadi Pangeran Alibasa. Dipercaya punya kemampuan, banyak  petani berharap agar Pangeran Alibasa bisa mengeluarkan mereka dari cengkraman para tuan tanah dan kaki tangannya.

Pertemuan rahasia akhirnya mulai diadakan. Tujuan yang ingin dicapai adalah membebaskan tanah antara sungai Citarum dan dan sungai Cisadane yang diyakini milik para petani dan bukan milik tuan tanah apalagi milik Belanda. Pangeran Alibasa yang tinggal di Ratujaya Depok ini mulai mengorganisir para pengikutnya.

Hal hal mistis memang masih menjadi bagian penting ketika itu ( mungkin sebagian masih hingga saat ini) , perlawanan melawan tuan tanah ini tak terlepas juga dari hal mistis. Seperti penggunaan kesaktian kebal senjata tajam atau kebal terhadap peluru Belanda. Maka tirakat adalah salah satu jalan yang ditempuh.

Termasuk penggunaan jimat kesaktian dan keselamatan banyak digunakan. Mengenai hal ini , Pangeran Alibasa memang sangat fanatik. Disamping rumahnya ada sebuah makam keramat yang membuat para pengikutnya semakin yakin akan “kesaktian” yang dimiliki Pangeran  Alibasa.

Momen pernikahan adik ipar Pangeran Alibasa yang dilakukan pada bulan Maret 1869 menjadi corong bagi lelaki yang berasal dari Cirebon ini mengumumkan perang melawan para tuan tanah dan Belanda. Sontak saja malam itu para undangan kaget akan pernyataan perang tersebut. Tentu hal ini menjadi pedang bermata dua. Sebagian undangan mendukung tapi ada juga sebagian kecil yang tidak setuju dan malah melaporkan kepihak kepolisian Belanda.

Dua minggu setelah pengumuman , Pangeran Alibasa sudah memilih tanggal 20 bulan haji atau sekitar tanggal 3 April 1869 sebagai hari H bagi penyerangan terhadap Belanda. Persiapan lalu dimatangkan. Pada awalnya penyerangan akan merebut wilayah Tambun, Depok, Bogor hingga Batavia. Pangeran Alibasa juga meramalkan akan adanya gerhana bulan sehingga mata orang Belanda tak dapat melihat ketika terjadi penyerangan.

Petani yang merasa menjadi pihak berkepentingan menjadi bagian terbanyak dalam kelompok penyerangan. Sayangnya, rencana penyerangan sudah tercium pihak kepolisian Belanda sehingga penjagaan keamanan menjadi berlipat lipat dan ketat dibeberapa wilayah yang dianggap rawan.

Melihat hal itu, Pangeran Alibasa dan pengikutnya tak gentar apalagi membatalkan niat penyerangan. Hanya saja, penyerangan hanya berfokus ke daerah Tambun. Pilihan ini berdasarkan perhitungan kekuatan yang dimiliki dan wilayah yang paling cocok diserang.

Pertahanan Belanda memang sangat kuat diwilayah Batavia, Depok dan Bogor sementara wilayah Tambun lebih mudah dan lemah dari penjagaan polisi Belanda.

Penyerangan ke daerah Tambun membuat Belanda murka. Asisten residen, seorang dokter dan tujuh orang pengawal lainnya tewas akibat serangat Pangeran Alibasa dan pengikutnya. Serangan ini langsung dibalas oleh serangan balik dan pencarian besar besaran terhadap Pangeran Alibasa dan pengikutnya yang sudah berpencar .

Serangan ke daerah Tambun dinyatakan sebagai upaya pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Pelukis Raden Saleh yang tinggal di Cikini juga disangkut pautkan. Mengenai hal ini pengadilan Belanda akhirnya tidak menemukan bukti keterlibatan Raden Saleh .

Setelah kejadian pemberontakan Tambun, pihak kepolisian Belanda benar benar mencari pelaku penyerangan. Pada 17 Juni 1869, Pangerang Alibasa dan 302 pengikutnya tertangkap. Setelah dilakukan introgasi 243 dinyatakan tidak bersalah karena dipaksa ikut menyerang Tambun ,sisanya ditahan dengan tuduhan makar.

Pangeran Alibasa sendiri tewas didalam penjara dua hari sebelum persidangan dimulai. Dua orang dihukum mati dan 19 orang dikenakan hukuman kerja paksa selama 15 tahun. Walau tak berhasil, tak ayal Belanda menjadi sadar akan keberanian petani yang mau melakukan penyerangan. Sejak itu ada perubahan tatacara dan perlakuan terhadap petani.

Apalagi angin perubahan dinegeri Belanda mulai mempengaruhi Parlemen Belanda. Sikap kekerasan dan tindakan sewenang wenang pemerintah koloniah Hindia Belanda mendapat kritikan dan tentangan lewat parlemen.

Kelompok hak azasi manusia yang mulai tumbuh di akhir abad 19 di negeri Belanda mulai lantang bersuara untuk memperhatikan perlakukan terhadap negeri jajahan . Maka mulai tumbuhlah politik etis atau politik balas budi.

Sayangnya, politik etis yang diberlakukan pada akhir abad 19 dan awal abad ke 20 hanya menguntungkan pihak Belanda dan orang orang yang dekat dengan pemerintahan kolonial. Sekolah yang didirikan untuk anak petani di perkebunan tak berjalan mulus karena kualitasnya jauh dibawah sekolah yang dibangun untuk orang orang Belanda dan IndoBelanda lainnya. Maka ada sebutan sekolah angko loro untuk para pribumi kebanyakan yang tak punya pangkat kedudukan atau uang berlimpah.

Keadaan Petani Saat Ini

Pada zaman merdeka seperti saat ini ketika pemerintahan telah berubah dan seratus persen dilakukan oleh bangsa sendiri. Menjadi pertanyaan besar apakah petani Indonesia sudah sepenuhnya merasakan kesejahteraan dari tanah tanah yang dimiliki sendiri ?

Tanah tanah yang akan menghasilkan produk pertanian yang berkualitas tanpa tekanan dari pajak yang menjerat leher . Petani yang sudah menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Sayangnya, ternyata masih ada petani gurem, petani tanpa memiliki tanah yang hanya bergantung terhadap tanah pihak lain.

Masalah tanah adalah hal yang sensitif bagi dunia pertanian. Perkembangan ideologi komunis juga menjadi menarik dan disukai petani karena isu kepemilikan tanah. Peristiwa Bandar Betsi, di Sumatra Utara yang meminta korban tewas seorang polisi menjelang pecahnya pemberontakan G 30 September juga diawali masalah kepemilikan tanah.

Petani memang memerlukan tanah sebagai lahan bertani. Kasus perebutan dan sengketa tanah antar petani dan perusahaan perkebunan swasta juga kadang masih terdengar hingga saat ini. Peristiwa Lampung yang terjadi beberapa tahun silam juga karena sengketa tanah pertanian.

Di Kabupaten Tangerang sendiri, lahan pertanian sudah banyak beralih kepemilikan. Petani sudah banyak yang tak memiliki tanah dan hanya menjadi petani penggarap dengan upah harian. Tentu jangan berharap sejahtera dari petani penggarap, bisa bertahan hidup dan memenuhi kehidupan sehari hari saja sudah sebuah prestasi.

Penyempitan lahan pertanian adalah hal serius di Pulau Jawa. Terutama di wilayah penyangga ibukota Jakarta seperti Tangerang, Depok , Bekasi dan Bogor. Pertumbuhan wilayah hunian dan wilayah industri begitu cepat. Alih fungsi lahan pertanian harus disikapi dengan bijak. Tata kelola ruang harus dibuat dengan pertimbangan yang profesional.

Jangan sampai ada kekecewaan dan timbul masalah karena petani harus tetap dapat bekerja memproduksi hasil tani demi keamanan pangan nasional. Jangan sampai sebagai negara yang katanya negara agraris malah sibuk mengimpor berbagai jenis bahan makanan dari negara lain.

Ingat, MEA sudah berlaku. Jangan sampai petani dari Thailand atau RRC yang membuka pertanian dan perkebunan di negara ini. Lalu kejadian dua abad yang lalu kembali terulang. Petani yang tidak memiliki tanah dan hanya sebagai penggarap dari tanah tuan tanah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun