Pada tahun 1921 Hatta nekat pergi ke negeri Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Dengan uang terbatas Hatta menumpang kapal Uap Tambora milik Rotterdamese Lloyd menuju kota Rotterdam. Sesampainya di negeri asing yang jaraknya lebih dari 8.000 mil dari tempat asalnya di Bukit tinggi dimulailah petualangan hidupnya . Hatta mendaftarkan diri di sebuah sekolah tinggi ekonomi bergengsi Rotterdamse Handelshogesshool .
Sebagai mahasiswa dari negeri jajahan dengan uang yang sangat terbatas. Hatta memang mengajukan beasiswa untuk meringankan biaya hidupnya di Belanda. Walau begitu minatnya pada buku semakin menyala saja, adalah toko buku De Westerboekhandel tempat Hatta biasa membeli buku. Menyadari pelanggannya berasal dari negeri ketiga yang sedang dijajah pemilik toko berbaik hati untuk Hatta boleh mengangsur. Jadilah setiap bulan Hatta mengangsur buku buku yang ia beli. Ketika Hatta kembali ke tanah air pada tahun 1932 setelah menyelesaikan kuliahnya ada 16 peti berisi buku yang juga turut dibawa pulang.
Pun ketika Hatta harus bolak balik dipenjara . Hatta pertama kali dipenjara selama lima setengah bulan di negeri Belanda karena dianggap membahayakan dan menentang pemerintah kolonial Belanda. Hatta ketika itu menjadi Ketua Indonesische Vereeniging yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Sebuah organisasi yang semakin berani menentang Belanda.
Didalam penjara maupun di tempat pembuangan Hatta selalu membawa buku bukunya . Jumlahnya berpeti peti. Setiap hari bukulah yang menjadi teman dalam mengisi kesunyian dan keterpencilan. Hatta juga mengisi waktunya dengan menulis. Sebuah kebiasaan yang jarang dilakukan oleh pejabat zaman sekarang. Jangankan menulis kegiatan membaca juga jarang dilakukan.
Hatta salah satu tokoh Indonesia yang punya kepedulian terhadap pendidikan dan dunia literasi . Di zamannya dimana segalanya masih sulit dan terbatas Hatta tetap teguh untuk menulis dan membaca. Ketika di buang ke pulau Bandanaira Maluku, Hatta dan Sutan Syahril mengadakan pendidikan kepada anak anak Banda dan salah satu muridnya yang kemudian diangkat sebagai anak angkat bernama Des Alwi.
Apa yang ditulis Hatta juga bukan tulisan sembarangan. Artikel maupun buku yang pernah ditulis Hatta punya bobot kualitas yang baik. Ketika masih sebagai mahasiswa Hatta menuliskan sebuah artikel berjudul “Indonesia di tengah tengah Revolusi Asia”, Tulisan kritis ini mendapat serangan dari pers Belanda dan menuduh Hatta sebagai orang yang menyebarkan sikap revolusioner yang berbahaya.
Hatta juga menulis sebuah brosur kecil “Demokrasi kita” yang isinya mengkritik Presiden Soekarno karena sikapnya yang menuju politik terpimpin yang cenderung otoriter. Kritikan ini dibuat Hatta ketika keduanya sudah tak lagi sejalan dan Hatta lebih memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden pada tahun 1956.
Bagi Hatta tulisan adalah salurannya menyampaikan pikiran, menyampaikan gagasan. Melalui tulisan Hatta seperti menyampaikan segala curahan pikirannya . Sayang Hatta tak lagi didengar ketika zaman Soekarno dan tak lagi diperdulikan ketika zaman Soeharto. Hatta bahkan sempat dilarang menjadi dosen di UGM dan Sekolah Staf Komando AD .
Tulisan “Demokrasi Kita” dibredel termasuk media masa yang menerbitkannya. Buya Hamka yang ketika itu menjadi pemimpin redaksii Panji Masyarakat juga ikut dibui karena ikut menerbitkan tulisan “Demokrasi kita”. Termasuk harian Pikiran Rakyat yang juga kena imbas dibredel pemerintah orde lama.
Hatta Berbeda gaya dengan SoeKarno
Dwitunggal Soekarno-Hatta memang punya kharisma dan peran besar bagi kemerdekaan Indonesia. Keduanya adalah aktor utama dalam peristiwa di Jalan Pegangsaan Timur padi pagi hari tanggal 17 Agustus 1945. Pembacaan naskah proklamasi itu menjadi tonggak kemerdakaan Indonesia.