Penulis adalah penggemar setia angkutan publik. Diantara semua angkutan publik , Commuter line adalah angkutan publik yang paling sering penulis gunakan untuk menempuh perjalanan yang dituju. Penulis sendiri tinggal tak jauh dari stasiun Tigaraksa.
Perjalanan dari dan ke Jakarta selalu menggunakan jasa commuter line, selain murah dalam soal tarif, commuter line adalah moda yang paling cepat menuju Jakarta. Kalau soal kenyamanan , penulis merasakan masih kurang karena jumlah penumpang tak sebanding dengan jumlah gerbong commuter. Tumpukan penumpang yang overload setiap hari . Apalagi jam jam sibuk ketika berangkat dan pulang kerja. Jangankan mendapatkan tempat duduk, bisa masuk kedalam rangkaian kereta dan berdiri dengan nyaman saja sudah sebuah ‘berkah’. Kalau bisa duduk malah menjadi ‘mukjizat’ tersendiri.
Namun begitu harus diakui commuter line masih dalam perkembangan. Ibarat bayi , KCJ terus bertumbuh. Saat ini sedang diberlakukan penambahan jumlah gerbong dari 8 rangkaian menjadi 10 hingga 12 rangkaian. Pembangunan peron di stasiun terus dilakukan.
Tapi sebelumnya penulis ingin bercerita sebuah kisah masakecil penulis naik KRL. Saat itu penulis masih duduk dikelas 6 SD. Penulis dan seorang kawan sangat ingin sekali naik kereta. Tentu sebagai anak usia 12 tahun dan hidup sederhana di lingkungan padat Jakarta ( masa kecil penulis dihabiskan di Kemayoran-Jakarta Pusat) tak memiliki uang untuk sekedar melakukan perjalanan kereta dalam kota. Dalam bayangan penulis tiket naik KRL itu mahal dan pasti tak terjangkau.
Mulailah kami berdua mencari akal untuk bisa naik KRL tanpa bayar. Kawan penulis yang memang tinggal tak jauh dari stasiun Senen punya informasi tentang kereta KRL yang sedang diuji coba. Seingat penulis kereta itu keren sekali, warnanya silver, pintunya bisa menutup secara otomatis. Sudah menggunakan AC . Tempat duduknya juga cukup nyaman bersisian memanjang berwarna biru tua.
Penulis dan seorang teman akhirnya nekat memasuki stasiun Senen (dulu masuk stasiun masih mudah dan gampang diakali) . Kami berdua ketika itu masih bercelana pendek dengan kaos . Mungkin orang orang ketika itu menganggap kami gembel yang sedang plesir. Jadi tak memancing perhatian petugas stasiun. Kami menunggu hingga KRL yang kami incar berhenti , tujuan kami juga tidak jelas yang penting bisa naik KRL.
Didalam KRL kami mengambil posisi dekat pintu. Karena kereta ini masih dalam ujicoba menurut teman penulis tak dikenakan tarif alias gratis. Dengan perasaan senang kami menikmati perjalanan KRL yang nampaknya menuju arah jatinegara . Teman penulis ini nampaknya sudah sering naik kereta sehingga ia bisa mengetahui jalur kereta. Di stasiun Jatinegara kami turun dan berganti KRL yang punya tujuan ke arah Bogor.
Lagi lagi, kami lakukan dengan senyap. Teman penulis ini juga memberitahukan KRL yang kami naiki juga sedang dalam ujicoba alias gratis. Penulis ketika itu percaya saja. Pokoknya naik KRL gratis tanpa bayar. Padahal uang dikantong celana sudah penulis siapkan cukup besar untuk jaga jaga bila harus membeli tiket. Bagaimana penulis bisa membawa uang cukup besar inipun ada ceritanya tersendiri. Lain kali akan penilis ungkapkan lewat tulisan terpisah.
Perjalan kali ini jauh lebih seru. Penulis bisa menyaksikan KRL bergerak sangat lincah, suaranya tidak bising seperti kereta diesel. Apalagi ada AC yang membuat gerbong jadi sejuk. Kami berdua bolak balik menyusuri setiap gerbong. Seingat penulis jumlah penumpang masih sedikit (ketika itu tahun 1987) . Yang naik dan turun juga tak seperti saat ini. Didalam KRL tak ada petugas. Tak ada satpam pengawal kereta.
Singkat cerita tibalah kami berdua ditujuan akhir di stasiun Bogor. KRL nampaknya tak segera kembali . Dan ketika itu jumlah KRL masih sedikit tidak seperti saat ini. Kami akhirnya terdampar di stasiun Bogor. Uniknya kami tak merasa khawatir. Kami malah keluar stasiun dan jalan jalan disekitaran taman topi. Dimana banyak pedagang dengan berbagai macam barang dagangan. Karena masih anak anak, kami sangat menikmati apa saja yang menarik hati. Sambil duduk duduk menunggu KRL yang akan kembali ke Jakarta. Menjelang sore, barulah ada pengumuman KRL menuju stasiun Kota-Jakarta. Kami berdua segera berlari menuju KRL , tentu dengan cara yang tak biasa. Melewati celah yang kami bisa lolos. Penulis sempat bertanya kepada teman ini kenapa kita tak membeli tiket. Jawabanya sama; KRL ini sedang ujicoba jadi tak perlu membeli tiket alias gratis.
Itu cerita masa kecil penulis. Ceritanya tentu berbeda dengan keadaan saat ini. KRL yangsudah berubah menjadi commuter line sudah memiliki jadwal yang lengkap dan dalam rentang waktu yang tak terlalu jauh sudah tersedia kembali commuter ke tujuan yang sama. Selain itu tentu kejadian naik kereta tanpa tiket sulit dilakukan karena sistem masuk (tap in) dan sistem keluar (tap out) akan membuat penumpang gelap berpikir dua kali.
Overload yang Segera harus diatasi