Dulu ketika saya kecil, Kakek saya baru saja pensiun dari kedinasan Kepolisian. Karena baru melepaskan jabatan terakhirnya di dinas kepolisian. Tanda tanda kedinasannya masih sangat melekat di rumah kakek yang biasa saya panggil Datuk sesuai panggilan daerah lokal kami di pesisir barat lampung. Baju baju seragamnya yang gagah itu masih terpajang di kamarnya yang cukup sederhana tapi cukup luas untuk ukuran sebuah kamar tidur zaman sekarang.
Jabatan terakhir datuk saya adalah kepala sektor kepolisian untuk wilayah pesisir tengah. Saya masih ingat diajak mengunjungi bekas kantornya (markas) nya yang juga sangat sederhana. Sebuah bangunan permanen dengan halaman yang sangat luas. Terpikir oleh saya lapangan ini sengaja dibuat luas untuk latihan dan upacara anggota polisi . Dibelakang Kantor terdapat beberapa rumah petak yang dihuni oleh beberapa anggota kepolisian. kemungkinan sebagai mess bagi anggota yang belum memiliki rumah sendiri.
Datuk saya walau tidak lagi berdinas namun masih sering dikunjungi oleh mantan anak buahnya. Sekedar bersilaturahin atau sengaja mampir untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Kebetulan sebelum pensiun , datuk saya berinsiatif membuka warung sembako. Karena menurut datuk saya uang pensiunan sebagai polisi tidaklah terlalu besar. Selain juga datuk saya tipe seorang pekerja keras yang tak ingin menjadi beban anak dan cucunya kelak ketika ia tua.
Datuk saya seorang pencerita ulung. Ia sangat senang bercerita ketika ia sedang berdinas sebagai polisi. Walau saya yakin ada bagian bagian cerita yang sudah di dramatisasi tapi tetap saja cerita datuk enak didengar. Cerita bagaimana ia sedang menghadapi kasus pencurian hewan ternak berantai yang meresahkan wilayahnya. Menurut cerita datuk, ia sengaja membuat jebakan alias umpan agar si pencuri bisa diungkap. Umpan itu seekor kambing yang sengaja diikat disebuah tempat yang agak sepi . Beberapa anggota disuruhnya menyamar  agak jauh dari jebakan tersebut namun tetap bisa memantau . Uniknya kambing jebakan itu raib tanpa disadari anggota yang sudah menyamar. Datuk saya tentu marah kepada bawahannya karena teledor dalam tugas. Menjelang sore datuk saya memeriksa salah satu rumah yang paling dekat dengan jebakan . Dengan ilmu introgasinya , si pemilik rumahnya akhirnya mengaku dialah yang mencuri kambing jebakan tersebut. Kambing tersebut sudah di sembelih dan dimasak di dapurnya.
Dan setelah itu kasus pencurian hewan ternak tak ada lagi. Sebenarnya menurut cerita datuk saya , ia sudah lama mencurigai sipemilik rumah itu sebagai pelaku pencurian hewan ternak.
Banyak sekali cerita datuk saya tentang tugas kepolisiannya. Ia sangat bangga menjadi anggota bhayangkara , pengawal keamanan dan ketertiban masyarakat. Datuk saya adalah orang yang sangat senang blusukan dalam tugasnya. Maka tak heran ia sangat mengenal dan dikenal masyarakatnya. Walau jalan ketika itu sangat sulit . Berbatu batu terjal dan sangat menyiksa . Datuk saya kadang harus menaiki gerobak yang ditarik seekor sapi. Atau malah berjalan kaki untuk mengecek keamanan dipelosok daerah.
Walau menjabat sebagai seorang kapolsek. Datuk saya tidaklah kaya. Ia benar benar hidup dari gaji dan tunjangan yang ia punya. Ia juga tak mencoba mencari cari cara tidak halal seperti memeras atau memaksakan kekuasaannya sebagai penegak hukum. Bukan karena tak ada kesempatan tapi karena sebagai seorang polisi tak pantas bila seorang polisi melanggar aturan dan hukum begitu datuk saya sering berujar.
Lebih karena rasa malu dan tak pantas bila seorang polisi menjadi biang koruptor. Atau menjadi pelindung penjahat karana berharap mendapatkan uang dan keuntungan pribadi. Datuk saya seorang polisi yang sederhana namun tegas dan keras bila ada penyalahgunaan kekuasaan. Di dalam keluarga besar kami pun sikap tegas itu menurun kepada anak anaknya, termasuk ibu saya sebagai putri keduanya.
Menjadi Kapolsek tidaklah membuat datuk dan keluarga ibu saya menjadi sombong. Malah sebagai anggota polisi, hidup berpindah pindah mengikuti perintah tugas yang diberikan. Ibu saya sering berkisah bagaimana hidup mereka sering kali kekurangan. Dengan lima anak, Datuk saya berusaha memberikan pendidikan yang layak walau dengan gaji terbatas.
Datuk saya juga berusaha menyiapkan masa depan bukan untuk anak anaknya saja tapi untuk para cucu cucunya kelak. Maka setiap salah seorang cucunya mendapatkan jatah sebidang tanah yang kelak akan dimiliki secara penuh ketika cucunya dewasa. Saya ketika itu diajak melihat sebidang tanah yang dihadiahkan kepada saya . Sungguh Datuk saya seorang visioner yang mampu melihat masa depan. Ia juga mempunyai prediksi bahwa kehidupan polisi akan sejahtera kelak. Namun ia juga miris akan banyak juga polisi yang berperilaku menyimpang.
Kelak dikemudian haripun jabatan kepala kepolisian akan menjadi rebutan dan kursi panas. Begitu prediksi datuk saya. Dan prediksi itu kini benar benar terbukti. Negara ini kisruh karena jabatan Kapolri.
Bila saja pihak kepolisian mau bersikap jernih dalam kasus BG dan Presiden mampu membaca arah kisruh ini dan cepat tanggap dan tegas maka masalah KPK-Polri cepat bisa diatasi. Tapi ternyata jabatan Presiden bukan jabatan yang digdaya lagi. Banyak kepentingan politis yang mengungkung . Presiden terbelenggu oleh kekuatan politik yang dulu mendukung dan ikut serta membiayai proses pencalonan, kampenya hingga proses pemenangannya. Jadi sulit sekali untuk Presiden bisa mengambil langkah cepat dan tepat.
Kita butuh kepolisan yang kuat, profesional, bersih dan mengayomi masyarakat. Bukan alat politik apa lagi dipakai sebagai alat gebuk kepada pihak lain. Sebagai orang yang pernah mempunyai seorang datuk polisi . Saya yakin masih ada polisi baik dan jujur yang bisa dijadikan pimpinan . Ayo Presiden ...dimana nurani kepemimpinanmu. Cepat ambil tindakan, cepat putuskan...demi tegaknya hukum yang beradab, adil dan tidak saling 'mematikan'.
Salam kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H