Di waktu yang sama, The Fed juga menurunkan suku bunga acuannya ke level terendah 0,00%-0,25%. Maka itu, likuiditas global yang melimpah dan suku bunga ultra rendah ditunjang dengan lebih tingginya suku bunga acuan di EM mendorong investor-investor global untuk lebih memarkir dananya di tempat yang memberikan return yang lebih tinggi seperti di pasar saham dan obligasi Indonesia.
Itulah sebabnya Rupiah bisa menjadi melemah tajam dan tiba-tiba menguat signifikan. Derasnya aliran investasi portofolio oleh asing bisa memberikan dampak positif bagi neraca pembayaran Indonesia. Namun, investasi portofolio asing memiliki risiko bagi stabilitas sistem keuangan karena gampang keluar dan masuk tergantung sentimen global apalagi tarik ulur rencana kenaikan suku bunga The Fed sepanjang tahun 2015 dan bahkan tampaknya bisa berlanjut hingga kuartal I 2016.
Tren depresiasi Rupiah sepanjang September 2015 kemarin jelas didorong oleh adanya capital outflow dari pasar saham maupun pasar SUN menjelang rapat Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed pada tanggal 17 dan 18 September 2015. Rapat FOMC digelar rutin untuk menentukan suku bunga acuan The Fed. Karena diprediksi kuat suku bunga acuan akan dinaikan pada rapat FOMC September ini, asing pun mulai antisipasi dengan melepas portofolio saham dan obligasi di negara emerging markets dan memburu aset-aset dalam dollar AS sebelum rapat berlangsung.
Di bulan September, asing mencatatkan net sell sebesar Rp6,99 triliun di pasar saham, asing juga ramai-ramai melepas SUN dengan net sell sebesar Rp2,30 triliun. Nilai aksi jual asing tersebut tentu cukup kuat untuk menggoyang Rupiah. Namun ketika The Fed tidak jadi menaikan suku bunga, asing kembali beruforia dan masuk kembali melalui investasi portofolio di Indonesia yang sempat mengapresiasi Rupiah sesaat.
[caption caption="Sumber: Bloomberg"]
Masuknya dana asing tentu dibarengi dengan rilis paket kebijakan ekonomi I dan II di bulan September. Lalu apakah rilis tersebut turut berkontribusi bagi penguatan Rupiah? Rilis kebijakan tersebut tampaknya memang turut menciptakan sentiment/persepsoi positif di pasar. Apalagi momen rilis paket kebijakan timingnya pas yakni saat batalnya kenaikan suku bunga The Fed, dan saat memburuknya persepsi risiko negara-negara emerging markets yang setara dengan Indonesia, seperti Brazil dengan ketidakstabilan ekonomi dan politiknya, Rusia dengan depresiasi tajam mata uang rubelnya akibat harga minyak dunia yang anjlok, bahkan Malaysia yang tengah dilanda gonjang ganjing politik jelang pemilu. Jadi dengan kondisi itu, jelas investor global Indonesia dipandang memiliki risiko yang lebih rendah dibanding negara EM lain.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Rupiah saat ini sangat dipengaruhi oleh inflow/outflow asing di pasar saham dan obligasi seperti yang tergambar dalam NPI. Maka itu, faktor eksternal jadi paling berpengaruh terhadap pergerakan Rupiah. Makna dari pelemahan bulan September lalu yang diikuti dengan penguatan Rupiah awal Oktober ini yakni kita memang harus terbiasa mencermati kejutan-kejutan di pasar keuangan. Seperti yang diungkapkan oleh Mohamed El-Erian, ekonom Allianz, “higher market volatility is the new norm”. Yang terpenting adalah momen-momen penguatan Rupiah ini jangan sampai membuat lengah. Perlu terus dicermati risiko-risko dalam jangka pendek.
Bayang-bayang pelemahan Rupiah hingga akhir tahun 2015 tentu masih ada apalagi terkait tarik ulur kenaikan suku bunga The Fed masih berlanjut, ditunjang dengan kebutuhan valas yang meningkat di akhir tahun seperti pembayaran bunga utang luar negeri, repatriasi modal korporasi asing, hingga kebutuhan impor jelang natal dan tahun baru. Selain itu, bagaimana realisasi paket kebijakan ekonomi dan rilis data pertumbuhan ekonomi bisa menjadi sentimen yang menekan/mengapresiasi Rupiah tergantung apakah kondisi dan data sesuai ekspektasi atau tidak.
Memang perbaikan fundamental Rupiah diperlukan proses jangka panjang yakni mendorong ekspor barang dengan nilai tambah daripada ekspor berbasis komoditas, dan memacu produksi dalam negeri untuk menekan impor. Sementara untuk jangka pendek, bagaimana mengelola inflow/outflow di pasar saham dan obligasi menjadi kunci stabilitas Rupiah, tapi akan lebih baik jika menahan dana asing yang ada daripada menarik dana asing lagi.
Karena semakin besar inflow asing ke portofolio semakin besar pula risiko pembalikan dana yang bisa mengguncang Rupiah. Maka momen penundaan kenaikan The Fed rate bisa jadi momentum untuk mengelola neraca modal dan finansial Indonesia dan memperbaiki kondisi perekonomian jangka pendek sehingga Indonesia bisa lebih siap menghadapi guncangan selanjutnya.
Sumber data: Bank Indonesia, DJPPR Kemenkeu, IDX, Bloomberg