[caption caption="Sumber: Bank Indonesia"][/caption] Di pekan terakhir September kemarin rasanya dag dig dug, was-was, galau atau bahkan ada yang senang dengan Rupiah yang terus melemah dan sempat menembus level Rp14.693/US$ atau level terlemah dalam 17 tahun terakhir. Dibanding dengan beberapa negara peers di Asia Tenggara, Rupiah waktu itu pun menjadi mata uang dengan kinerja terburuk kedua setelah Ringgit Malaysia.
Tapi di awal oktober ini, Rupiah begitu perkasa. Menguat hingga 5,23% dari akhir September dari level Rp14.653/US$ ke level Rp13.412/US$ pada tanggal 9 Oktober dan masuk kedalam kategori best performer dibanding dengan peers. Beberapa diantara kita, pada saat Rupiah anjlok, mungkin bertanya-tanya “kenapa sih Rupiah bisa terus melemah?”. Di saat Rupiah menguat pun ada pertanyaan “ada apa nih Rupiah menguat parah?”. Nah, dalam tulisan ini saya akan coba memberi gambaran mendasar secara detil mengenai kondisi fundamental Rupiah.
Sebenarnya, kondisi kayak gini pun pernah kejadian pada September 2013 tepatnya pada tanggal 19 September 2013 dimana Rupiah menguat hingga 4,21% ke level Rp10.847/US$ dari Rp11.324/US$. Padahal sehari sebelumnya yakni di tanggal 18 September, Rupiah melemah hingga 1,27%. Untuk mengetahui fenomena ini, tentu perlu diketahui dulu konsep dari mana nilai tukar bisa ditentukan.
Nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang negara lain sederhananya ditentukan dari banyak atau tidaknya supply/pasokan dollar di pasar dipadukan dengan banyak atau sedikitnya kebutuhan US dollar yang akhirnya membentuk harga sebagai nilai tukar/kurs. Untuk tau seberapa banyak kebutuhan dollar dibanding dengan supply-nya dapat terlihat dari transaksi-transaksi yang ada antara penduduk Indonesia dengan penduduk asing di negara lain. Transaksi-transaksi tersebut bisa dilihat di Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Jadi penting untuk memahami konsep NPI terlebih dahulu.
Neraca pembayaran merupakan rangkuman lalu lintas uang, barang, & jasa yang ditimbulkan dari transaksi-transaksi yang terjadi antara penduduk Indonesia dengan penduduk negara lain. Secara garis besar NPI dibagi dalam 2 sub neraca besar yakni Neraca Transaksi Berjalan (Current Account), dan Neraca Modal & Keuangan. Neraca transaksi berjalan menggambarkan transaksi-transaksi yang menimbulkan hak dan kewajiban antara penduduk Indonesia dengan penduduk negara lain. Misalnya transaksi ekspor-impor. Kalau ekspor lebih besar dari impor tentu akan menambah pasokan dollar ke Indonesia dan sebaliknya.
Selain transaksi ekspor-impor, dalam neraca transaksi berjalan, ada juga transaksi pendapatan. Transaksi pendapatan ini misalnya imbal hasil yang dibayarkan/didapat penduduk Indonesia berupa misalnya bunga atau dividen ke/dari penduduk negara lain karena investasi lintas negara yang dilakukan, contoh investasi di saham, surat utang, deposito bank, dll. Jadi kalo misalnya utang luar negeri swasta tinggi, maka bunga yang harus dibayarkan perusahaan lokal ke kreditor di luar negeri bisa megurangi pasokan valas. Transaksi pendapatan ada juga yang berupa remitansi, atau kiriman uang valas TKI atau WNI yang bekerja di luar negeri ke Indonesia (kalo ini efeknya menambah pasokan valas), atau sebaliknya kiriman uang ekspatriat ke negara asalnya (sementara ini efeknya bisa mengurangi pasokan valas).
Kemudian ada Neraca Transaksi Modal & Finansial yang menggambarkan investasi asing yang masuk ke Indonesia atau sebaliknya investasi Indonesia ke luar negeri. Investasi bisa dalam bentuk langsung di sektor riil seperti mendirikan perusahaan atau membangun pabrik yang dikenal dengan Foreign Direct Investment (FDI) dan investasi langsung di portofolio seperti investasi yang dilakukan asing di instrumen pasar modal seperti saham dan surat utang/obligasi Indonesia. Lalu gimana sih kondisi Neraca Pembayaran Indonesia?
Gambar diatas merupakan kondisi NPI sejak awal tahun 2010 sampai akhir kuartal II tahun 2015. Kalau dilihat, neraca transaksi berjalan mulai mencatatkan defisit sejak akhir tahun 2011 dan semakin melebar sampai pertengahan 2014. Defisitnya neraca transaksi berjalan karena tekanan pada neraca perdagangan dimana tingginya impor daripada ekspor. Sementara ekspor mulai melemah sejak anjloknya harga komoditas yang dipicu oleh krisis properti di China. Sampai sekarang pun harga komoditas belum pulih karena masih melambatnya ekonomi China. Pelarangan ekspor mineral mentah pada awal-awal tahun 2014 turut menekan neraca transaksi berjalan, maka terlihat defisit semakin melebar hingga pertengahan tahun 2014.
Disisi lain, neraca transaksi finansial selalu mencatatkan surplus. Kalau dilihat lebih detil, neraca transaksi finansial kita lebih didorong oleh transaksi portofolio asing ke pasar saham dan obligasi dengan proporsi investasi portofolio dibanding total nilai neraca finansial mencapai lebih dari 50%. Sebagai informasi, sejak tahun 2010 hingga kuartal II-2015 transaksi investor asing di pasar saham mencatatkan net buy sebesar Rp86,88tn. Di pasar Surat Utang Negara (SUN), bahkan net buy asing pada periode yang sama lebih fantastis lagi yakni mencapai Rp422,52tn dimana investor asing menjadi pemegang SUN mayoritas. Maka, peran investor asing begitu signifikan bagi surplusnya neraca finansial dan bagi penutup defisit neraca transaksi berjalan serta sebagai penyokong cadangan devisa Indonesia.
Kalau dilihat dari grafik, defisit neraca transaksi berjalan menunjukkan perbaikan atau menyempit di tahun 2015, tapi kok Rupiah terus melemah? Karena jika dilihat neraca finansialnya mencatatkan penurunan. Jadi bisa disimpulkan kalau Rupiah kita selama ini memang lebih ditopang oleh arus investasi asing ke portofolio, bukan FDI ataupun ekspor yang lebih bersifat jangka panjang.
Lalu kenapa asing begitu pesatnya masuk ke pasar saham dan obligasi Indonesia? Sebenarnya bukan hanya ke Indonesia tapi ke negara Emerging Markets (EM) lainnya. Salah satu motif utama inflow ke EM yakni searching for high yield (mencari imbal hasil tinggi) investor global ditengah melimpahnya likuiditas global. Melimpahnya likuiditas global didorong oleh program Quantitative Easing (QE) yang dilakukan oleh The Fed (Bank Sentral Amerika) untuk memacu pertumbuhan ekonomi AS paska krisis subprime mortgage tahun 2008.
Di waktu yang sama, The Fed juga menurunkan suku bunga acuannya ke level terendah 0,00%-0,25%. Maka itu, likuiditas global yang melimpah dan suku bunga ultra rendah ditunjang dengan lebih tingginya suku bunga acuan di EM mendorong investor-investor global untuk lebih memarkir dananya di tempat yang memberikan return yang lebih tinggi seperti di pasar saham dan obligasi Indonesia.
Itulah sebabnya Rupiah bisa menjadi melemah tajam dan tiba-tiba menguat signifikan. Derasnya aliran investasi portofolio oleh asing bisa memberikan dampak positif bagi neraca pembayaran Indonesia. Namun, investasi portofolio asing memiliki risiko bagi stabilitas sistem keuangan karena gampang keluar dan masuk tergantung sentimen global apalagi tarik ulur rencana kenaikan suku bunga The Fed sepanjang tahun 2015 dan bahkan tampaknya bisa berlanjut hingga kuartal I 2016.
Tren depresiasi Rupiah sepanjang September 2015 kemarin jelas didorong oleh adanya capital outflow dari pasar saham maupun pasar SUN menjelang rapat Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed pada tanggal 17 dan 18 September 2015. Rapat FOMC digelar rutin untuk menentukan suku bunga acuan The Fed. Karena diprediksi kuat suku bunga acuan akan dinaikan pada rapat FOMC September ini, asing pun mulai antisipasi dengan melepas portofolio saham dan obligasi di negara emerging markets dan memburu aset-aset dalam dollar AS sebelum rapat berlangsung.
Di bulan September, asing mencatatkan net sell sebesar Rp6,99 triliun di pasar saham, asing juga ramai-ramai melepas SUN dengan net sell sebesar Rp2,30 triliun. Nilai aksi jual asing tersebut tentu cukup kuat untuk menggoyang Rupiah. Namun ketika The Fed tidak jadi menaikan suku bunga, asing kembali beruforia dan masuk kembali melalui investasi portofolio di Indonesia yang sempat mengapresiasi Rupiah sesaat.
[caption caption="Sumber: Bloomberg"]
Masuknya dana asing tentu dibarengi dengan rilis paket kebijakan ekonomi I dan II di bulan September. Lalu apakah rilis tersebut turut berkontribusi bagi penguatan Rupiah? Rilis kebijakan tersebut tampaknya memang turut menciptakan sentiment/persepsoi positif di pasar. Apalagi momen rilis paket kebijakan timingnya pas yakni saat batalnya kenaikan suku bunga The Fed, dan saat memburuknya persepsi risiko negara-negara emerging markets yang setara dengan Indonesia, seperti Brazil dengan ketidakstabilan ekonomi dan politiknya, Rusia dengan depresiasi tajam mata uang rubelnya akibat harga minyak dunia yang anjlok, bahkan Malaysia yang tengah dilanda gonjang ganjing politik jelang pemilu. Jadi dengan kondisi itu, jelas investor global Indonesia dipandang memiliki risiko yang lebih rendah dibanding negara EM lain.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Rupiah saat ini sangat dipengaruhi oleh inflow/outflow asing di pasar saham dan obligasi seperti yang tergambar dalam NPI. Maka itu, faktor eksternal jadi paling berpengaruh terhadap pergerakan Rupiah. Makna dari pelemahan bulan September lalu yang diikuti dengan penguatan Rupiah awal Oktober ini yakni kita memang harus terbiasa mencermati kejutan-kejutan di pasar keuangan. Seperti yang diungkapkan oleh Mohamed El-Erian, ekonom Allianz, “higher market volatility is the new norm”. Yang terpenting adalah momen-momen penguatan Rupiah ini jangan sampai membuat lengah. Perlu terus dicermati risiko-risko dalam jangka pendek.
Bayang-bayang pelemahan Rupiah hingga akhir tahun 2015 tentu masih ada apalagi terkait tarik ulur kenaikan suku bunga The Fed masih berlanjut, ditunjang dengan kebutuhan valas yang meningkat di akhir tahun seperti pembayaran bunga utang luar negeri, repatriasi modal korporasi asing, hingga kebutuhan impor jelang natal dan tahun baru. Selain itu, bagaimana realisasi paket kebijakan ekonomi dan rilis data pertumbuhan ekonomi bisa menjadi sentimen yang menekan/mengapresiasi Rupiah tergantung apakah kondisi dan data sesuai ekspektasi atau tidak.
Memang perbaikan fundamental Rupiah diperlukan proses jangka panjang yakni mendorong ekspor barang dengan nilai tambah daripada ekspor berbasis komoditas, dan memacu produksi dalam negeri untuk menekan impor. Sementara untuk jangka pendek, bagaimana mengelola inflow/outflow di pasar saham dan obligasi menjadi kunci stabilitas Rupiah, tapi akan lebih baik jika menahan dana asing yang ada daripada menarik dana asing lagi.
Karena semakin besar inflow asing ke portofolio semakin besar pula risiko pembalikan dana yang bisa mengguncang Rupiah. Maka momen penundaan kenaikan The Fed rate bisa jadi momentum untuk mengelola neraca modal dan finansial Indonesia dan memperbaiki kondisi perekonomian jangka pendek sehingga Indonesia bisa lebih siap menghadapi guncangan selanjutnya.
Sumber data: Bank Indonesia, DJPPR Kemenkeu, IDX, Bloomberg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H