Mohon tunggu...
Rusdy Malik Karim
Rusdy Malik Karim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha

#NgopiBiarSehat

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pejabat dan Politisi 'Ambiyar', Rakyat Pun Ikut 'Ambiyar'

28 Februari 2022   16:08 Diperbarui: 15 Maret 2022   13:22 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak mau kalah akan visi misi 'foya-foya' ala pejabat senayan, para petinggi partai di Indonesia juga menunjukkan secara tidak langsung bahwa mereka tidak memihak pada urusan rakyat. Ketika orang-orang jatuh bangun menghadapi Covid-19, beberapa petinggi partai malah sibuk masang baliho. "Sejumlah baliho hingga papan iklan atau billboard bergambar para politisi mulai terpampang di sejumlah sudut jalanan di berbagai wilayah di Indonesia. Mulai dari Puan Maharani, Airlangga Hartarto hingga Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terpampang dalam baliho-baliho untuk kepentingan Pilpres 2024" (suara.com, 05 Agustus 2021). Kita sama-sama melihat politisi dan pejabat partai telah kehilangan etika kemanusiaannya dalam bernegara. Kenapa mereka tidak menggunakan anggaran baliho untuk membantu korban Covid-19, orang yang dirumahkan atau kena PHK; yang tidak lagi punya pengahasilan akibat PPKM; anak-anak yang menjadi yatim karena kehilangan orang tua akibat covid; dan atau rumah sakit yang kekurangan oksigen. Masyarakat sedang sibuk memerangi corona, pejabat dan politisi justru sibuk perang elektabilitas untuk kepentingan kekuasaan 2024.

 

Mencengangkan lagi ketika kita mendengar "pesawat kepresidenan" ingin dicat ulang, memakan biaya sampai menyentuh angka miliar. Dengan alasan untuk menyambut perayaan kemerdekaan, padahal di lain sisi Pemerintah Indonesia belum mampu dan lamban "memerdekakan" diri dari persoalan pandemi. Apakah mereka tidak bisa memahami krisis yang sedang berlangsung? sehingga melupakan urgensi yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. Anggaran negara yang seharusnya bisa dipake untuk membantu rakyat dalam kondisi sulit, malah digunakan untuk hal yang tidak substansial.

 

Presiden sebagai pemimpin tertinggi yang seharusnya memiliki sikap tegas dengan solusi untuk persoalan pandemi, tidak mampu menunjukkan "sense of crisis". Pandemi telah menguji kualitas pemerintah dan elit. Kualitas mereka tak jauh dari persoalan menggemukkan perut sendiri. Rakyat tetap menjadi korban untuk setiap permasalahan. Kesenjangan akan semakin lebar "Yang kaya makin kaya, yang miskin semakin miskin" dan ketimpangan kian memburuk "Elit makin melilit, rakyat semakin melarat."

 

Sebuah organisasi internasional Oxfarm mengeluarkan laporan berjudul The Inequality Virus yang memuat tentang kesenjangan yang semakin melebar paska pandemi Covid-19. Bagi orang terkaya akan mudah mengembalikan kondisi ekonomimya yang anjlok akibat pandemi. Sedangkan bagi kaum miskin akan sulit dan membutuhkan waktu yang lama dalam memulihkan kondisi ekonominya. Saya pikir kondisi seperti itu terjadi pula di Indonesia, jika kita melihat realita yang ada. Laporan Keadaan Ketenagakerjaan Indoesia Februari 2021 dari Badan Pusat Statistik, Terdapat 19,10 juta orang (9,30 persen penduduk usia kerja) yang terdampak Covid-19. Terdiri dari pengangguran karena Covid-19 (1,62 juta orang), Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena Covid-19 (0,65 juta orang), sementara tidak bekerja karena Covid-19 (1,11 juta orang), dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19 (15,72 juta orang). Lebih lanjut Menteri Ketenagakerjaan Idah Fauziyah menyebut, angka pengangguran naik dampak pandemi covid-19. Padahal pada awal 2020 jumlah pengangguran sudah turun yakni 6,68 juta pada Februari 2020. Namun, ketika pandemi covid-19 melanda Indonesia, jumlah pengangguran langsung naik menjadi 9,77 juta (katadata.co.id, 10 Februari 2021).

 

Ketimpangan dan kesenjangan yang kita rasakan tidak mampu dipulihkan dengan janji-janji manis politisi dan kata-kata mutiara motivator. Bahkan tidak menutup kemungkinan  kelompok rentan akan melarat seterusnya. Berbeda dengan pekerja formal yang masih memiliki penghasilan, para pekerja informal rentan kehilangan pekerjaan. Dalam jurnal New Normal: Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Akibat Covid-19  yang diterbitkan Gajah Mada University Press, Cornelis Lay mengungkapkan new normal melahirkan diskriminasi antarsesama kelas bawah yang mengokupasi ruang berbeda dan mengandalkan kehidupan dari sektor yang berbeda. Ia memperkirakan akibat dari itu adalah frekuensi gejolak-gejolak sosial perkotaan akan semakin sering, dengan skala semakin membesar, dan akan melahirkan persoalan baru keamanan. Kondisi ini membutuhkan kebijakan yang tepat dan serius, bukan hanya untuk sesaat. Namun sial(an), seperti pada penyampaian sebelumnya, kita menyaksikan sendiri para pemangku kebijakan sudah terlalu sibuk dengan vis misi 'foya-foya'-nya. Menyajikan perilaku picik dan gaduh. Tampak hanya ambisius kekuasaan, ketimbang persoalan kemanusiaan.

 

Perilaku kekuasaan dan segenap jajaranya sangat terlihat 'ambiyar' dalam segala tindakannya. Masyarakat yang sudah stres karena corona malah tambah stres lagi oleh perilaku mereka. Pemerintah yang 'ambiyar' dan kalang kabut menghadapi pandemi, sementara masyarakat pun ikut 'ambiyar' merasakan dampak langsung dari krisis. Jika begini terus adanya, kita akan mengalami stres berkepanjangan. Masyarakat sudah muak dengan segala perilaku politisi dan tete bengeknya. Seakan tete bengek ini harus kita terima dengan lapang dada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun