"Namun semuanya berubah saat negara api menyerang," adalah kutipan akrab bagi yang suka nonton animasi Avatar: The Last Airbender. Saya pikir tidak ada yang keberatan jika narasinya diganti dengan "Namun semuanya berubah saat corona menyerang." Kehidupan kita yang terlampau seru dengan aktivitas kumpul-kumpul, konser, dan berdampingan erat tanpa sekat, kini semakin suram setelah pandemi Covid-19 menyerang. Bahkan sejauh ini keadaan semakin meresahkan. Sampai saya berpikir keadaan sekarang akan cocok dengan narasi "Namun semuanya 'ambiyar' saat 'corona' menyerang." Narasi ini lebih dekat untuk menggambarkan kondisi hidup kita di lingkaran situasi Covid-19 yang terlampau buruk, belum mampu terselesaikan.Â
Dengan situasi sekarang di mana munculnya berbagai istilah lockdown, PSBB, PSBB Transisi, PPKM- Mikro-Darurat-Level 3-4 (bukan mie kober), dan P-P-P-... lainnya yang akan datang menjadikan kita semakin ambiyar, 'kacau', 'tidak konsentrasi' dalam berbagai aktivitas. Apalagi ditambah dengan sederet kelakuan politisi dan pejabat negara di tengah-tengah pandemi. Ambiyar.
Â
Penanganan Covid yang tidak jelas mendorong masyarakat terjebak dalam kekacauan. Pemerintah yang kalang kabut mengurus pandemi, masyarakat pun ikut kepusingan. Pemerintah terlalu sering mengambil langkah yang tidak akurat dan bikin puyeng tujuh keliling dalam menangani pandemi Covid-19. Ibrahim Almuttaqi Kepala Departemen Kajian ASEAN di Habibie Center mengemukan bahwa pemerintah Indonesia terlalu 'enjoy' dan memberikan "Prioritas yang Salah" Sehingga mengalami kekacauan  respons terhadap COVID-19 di Indonesia.
Â
Dalam situasi penyekatan berbagai kegiatan, terutama aktivitas bekerja memberikan kegelisahan tersendiri bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Di satu sisi, rakyat dibatasi kegiatan mata pencariannya, sehingga penghasilan berkurang, apalagi yang hanya mengandalkan penghasilan harian. Di sisi lain, rakyat didahapkan realitas yang begitu menyedihkan, tanpa ada pemasukan yang jelas mereka harus tetap berusaha bertahan hidup. Walaupun pemerintah telah berdalih mengeluarkan bantuan melalui penyaluran Bantuan Sosial (BANSOS) untuk masyarakat, yakni lewat Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sosial Tunai (BST), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa. Namun, kita sudah menyaksikan sendiri bagaimana "Bansos Corona" dikorupsi dan menjadi kasus yang menjerat Mensos sampai dengan Kepala Daerah.
Â
Presiden dan DPR yang seharusnya menjadi harapan terakhir masyarakat, malah menampakkan perilaku acuh-abai, mereka bersekongkol kebut jadi RUU Ciptaker yang masih dianggap bermasalah, ketimbang memusatkan perhatian untuk memecahkan permasalahan Wabah Corona. "Meskipun lewat dari tenggat Jokowi, para wakil rakyat di Senayan tetap bisa menyelesaikan pembahasan RUU Ciptaker yang mencangkup 11 klaster dalam waktu sekitar 8 bulan. DPR bersama pemerintah berhasil menuntaskan RUU tersebut di tengah pandemi Covid-19" (cnnindonesia, 06 Oktober 2020). Padahal seiring dengan pengesahan itu, di luar sana telah banyak korban yang berjatuhan akibat pandemi.
Â
Perilaku wakil rakyat membuat kita geleng-geleng kepala. Di tengah kondisi pandemi, bukannya aspirasi rakyat yang digaungkan malah urusan perut dan kepuasaan sendiri yang digenjot. "Saat rakyat mengusung konsep warga bantu warga, anggota DPR justru minta fasilitas isoman yang dinilai mewah. Empatinya dipertanyakan" (video berita kompas.id, 6 Agustus 2021). Benar-benar memperlihatkan mereka hanya ingin menghabiskan anggaran untuk euforia pribadi, visi misi 'foya-foya' kalo bahasa kekiniannya.
Â