Dua hari pasca kerusuhan 22 Mei di Jakarta Pusat, Tim Hukum Prabowo resmi mengajukan gugatan kecurangan pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal tersebut bertujuan untuk menentang hasil pilpres 2019 yang diumumkan oleh KPU beberapa waktu lalu.Â
Pada pengumuman resmi yang diungkapkan oleh Ketua KPU Arief Budiman, Paslon Jokowi-Ma'ruf Amin, berhasil unggul dengan perolehan 55,5 persen suara, mengalahkan paslon Prabowo-Sandiaga yang memperoleh 45,5 persen suara. Padahal Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pernah mengatakan bahwa sebelumnya tidak ada bukti kecurangan yang sistematis, dan para pengamat independen mengatakan bahwa pemilu berlangsung bebas dan adil.
Pengajuan gugatan inipun tentu akan menimbulkan tanda tanya, apakah upaya tersebut akan berhasil menggulingkan Jokowi-Ma'ruf Amin, sedangkan MK sempat mendapatkan gugatan serupa, namun gugatan tersebut ditolak karena BPN Prabowo -Sandiaga hanya melampirkan salinan 72 berita dari media online.Â
Rencananya, MK akan mengadakan sidang pertama untuk kasus tersebut pada tanggal 14 Juni mendatang, dan memberikan putusan pada 28 Juni 2019, ujar Fajar Laksono selaku Juru Bicara Pengadilan.
Paslon Prabowo-Sandiaga mengatakan, bahwa proses mengajukan gugatan dan upaya hukum merupakan langkah-langkah untuk memastikan bahwa kita mendapatkan hasil pemilu yang bebas dan adil. Pihaknya juga mengatakan, "orang-orang telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, bahwa pemilu 2019 tidak adil". Namun anggapan tersebut ditepis oleh sebuah exit poll yang dilakukan oleh lembaga survei indikator Politik Indonesia pada hari pemilu, survei tersebut menunjukkan bahwa 94 persen pemilh percaya bahwa pemilu telah berlangsung bebas dan adil.
Jika kita kembali menggali berita 2014 silam, Prabowo yang saat itu berpasangan dengan Hatta Rajasa juga kalah dari Jokowi dengan selisih yang lebih tipis dan keberatan dengan hasil tersebut, dirinya juga mengajukan pengaduan ke Mahkamah Konstitusi namun ditolak. Bahkan seruan people power yang sempat digaungkan dalam minggu-minggu terakhir kampanye, sepertinya tak mampu merubah perolehan suara yang sudah ditetapkan oleh KPU RI, dimana secara konsisten Prabowo tetap belum bisa menjabat sebagai Presiden pada tahun 2019.
Gugatan kubu Prabowo-Sandi juga tampaknya akan semakin sulit, hal tersebut merujuk pada deklarasi kemenangan yang dilakukan Prabowo hampir setiap hari, deklarasi kemenangan bahkan klaim angka kemenangan juga terus berubah.Â
Pada malam pemilihan, Prabowo mengklaim telah menerima 55,4 persen suara berdasarkan exit poll dan 52,2 persen berdasarkan penghitungan cepat. Hari berikutnya, klaim ini menjadi 62 persen berdasarkan apa yang disebut hitungan riil. Pada bulan Mei, klaimnya berubah lagi menjadi 54,24 persen.
Sebaliknya, hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survey yg memiliki reputasi baik, memberikan hasil yang konsisten tentang hasil pemilu dalam beberapa jam setelah penutupan pemungutan suara, yang kemudian secara konstan ditampilkan di layar televisi dan situs web berita. Penghitungan tersebut terbukti konsisten dan tak jauh berbeda dengan hasil hitung manual KPU.
Indonesia tentu beruntung memilki serangkaian lembaga survey yang berintegritas, dengan track record dapat menyediakan hasil hitung cepat yang akurat untuk berbagai pemilhan. Bahka ketika ada yang menuduh lembaga survey tersebut memalsukan data, dengan gesit mereka menghadirkan data dan metodologinya secara terbuka dan menantang kubu 02 untuk melakukan hal yang sama.
Selain itu, Kubu Prabowo juga sempat menuduh bahwa KPU kan memanipulasi hasil pemungutan suara, namun tuduhan tersebut seakan tidak berlaku bagi kebanyakan orang Indonesia. Karena kebanyakan orang Indonesia masih mempercayai bahwa KPU merupakan lembaga independen penyelenggaran Pemilu yang kredibel dan jujur.